Moderasi Beragama akan menjadi salah satu program prioritas pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2025. Hal ini dirasakan penting karena kehidupan sosial keagamaan kita yang kian diwarnai oleh menguatnya politik identitas yang memecah belah, intoleransi, melemahnya ideologi bangsa dan semacamnya. 

Berbagai elemen masyarakat terpapar radikalisme yang merusak. Bukan hanya masyarakat biasa, kalangan aparatur sipil negara (ASN) juga banyak yang terinfeksi virus radikalisme. Bahkan, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, ada 3 persen anggota TNI yang terpapar radikalisme (19/6/2019). Jika TNI sebagai banteng negara saja terpapar, kita dengan jelas bisa membayangkan bagaimana kuatnya arus radikalisme ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sudah berani bersuara keras kepada jajarannya agar tidak menjadi pemimpin yang eksklusif, menyuarakan kebencian, serta menjadi benalu bagi negara dan masyarakat (17/6/2019). Beberapa kementerian juga memiliki keresahan yang sama, bahkan ada suasana kebingungan bagaimana menangani pegawai yang mulai terindikasi paham radikal.
Riset dan survei yang dilakukan berbagai lembaga, baik dari kalangan kampus maupun LSM, sudah cukup memberi data bahwa radikalisme dan intoleransi terus merangsek dalam kehidupan sosial kita. Sendi-sendi kehidupan berbangsa pun terus digoyahkan.
Survei selama 13 tahun (2005-2018) yang dilakukan lembaga LSI Denny JA yang mengukur dukungan masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara juga menunjukkan angka yang terus menurun. Jika pada 2005 pendukung Pancasila sebesar 85,2 persen, tahun 2018 dukungan itu tinggal 75,3 persen.
Hal ini berarti sebagian masyarakat kita yang mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara terus menebal dari waktu ke waktu. Jika Pancasila dimaknai sebagai perekat bangsa, data ini juga mengindikasikan semakin mencairnya rekatan itu.
Pilar moderasi beragama
Pilar moderasi beragama bisa dipetakan dalam tiga pilar penting yang saling terkait. Pertama, moderasi pemikiran (fikrah) keagamaan. Dalam konteks Islam di Indonesia, moderasi pemikiran, antara lain, dibentuk melalui sejarah proses islamisasi yang kemudian membentuk genealogi intelektual.
Terlepas dari perdebatan teoretis akademis mengenai kapan, dari mana, bagaimana, dan oleh siapa proses islamisasi di Indonesia dilakukan, islamisasi di Indonesia memberi landasan berpikir, baik pada aspek teologi, fikih, maupun akhlak/tasawuf sebagai implementasi paham ahlussunnah waljamaah.
Pemikiran keagamaan yang moderat, antara lain, ditandai dengan kemampuan untuk memadukan antara teks dan konteks, yaitu pemikiran keagamaan yang tidak semata-mata bertumpu pada kebenaran teks-teks keagamaan dan memaksakan penundukan realitas dan konteks baru pada kebenaran teks, tetapi mampu mendialogkan keduanya secara dinamis. Dengan kata lain, moderasi pemikiran keislaman ini berada dalam posisi tidak tekstual, tetapi pada saat yang sama tidak terjebak pada cara berpikir yang terlalu bebas dan mengabaikan rambu-rambu.
Genealogi intelektual ulama Nusantara sangat jelas mewariskan tradisi intelektual yang moderat ini. Hal ini terumuskan dalam paham ahlussunnah waljamaah—sebagaimana dikembangkan dalam tradisi berpikir Nahdlatul Ulama (NU), yaitu dalam bidang fikih menganut salah satu mazhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah); dalam akidah mengikuti Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi; dalam bidang tasawuf mengikuti Al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Tokoh-tokoh itu merupakan ulama otoritatif yang pendapat-pendapatnya menjadi landasan berpikir dan bersikap.
Proses penyebaran Islam yang damai  membentuk karakter masyarakat yang tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), dan tasamuh (toleran). Karakter tersebut akhirnya membentuk cara berpikir dan bertindak yang lebih mengedepankan harmoni dan tidak ekstrem dalam merespons berbagai perkembangan sosial.
Persoalan-persoalan pelik kebangsaan bisa diselesaikan tanpa pertumpahan darah. Masyarakat Indonesia tidak suka dengan sikap ekstrem (tatharruf) yang biasanya sulit bernegosiasi dalam menyelesaikan persoalan. Karakter ekstrem hanya mengenal ”kalah” dan ”menang”. Sementara moderasi akan lebih mengedepankan win-win solution, semua merasa menang. Sikap demikian terekam dalam kearifan masyarakat Jawa sebagai menang tanpo ngasorake, menang tanpa merendahkan yang lain.
Pilar kedua adalah gerakan (harakah) yang didasarkan pada semangat dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar yang dilandasi prinsip melakukan perbaikan-perbaikan, tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang baik. Gerakan dakwah dalam proses islamisasi di Indonesia dilakukan dengan mengedepankan kasih sayang (bil hikmah wal mau’idhatil hasanah), tidak dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Mengajak pada kebaikan (al-amru bil ma’ruf) harus dilakukan dengan cara yang baik, demikian juga dengan mencegah kemungkaran (an-nahyu ’anil munkar) harus dilakukan dengan cara yang mendatangkan kemungkaran baru (bighairil munkar). Inilah prinsip dakwah yang mendasari perkembangan Islam di Indonesia yang hingga kini dipeluk oleh 87,3 persen masyarakat Indonesia.
Pilar ketiga adalah tradisi dan praktik keberagamaan (al-amaliah al-diniyah), yang membuka ruang terjadinya dialog secara kreatif antara Islam dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Meskipun praktik-praktik keberagamaan memerlukan legitimasi dari sumber-sumber primer Islam, Al Quran dan Hadis, Islam di Indonesia tidak serta-merta melarang tradisi dan amaliah Islam yang bertumpu penghormatan pada tradisi masyarakat.
Tradisi atau budaya yang di dalam usul fikih disebut dengan al-’urf atau al-‘Ãdat tidak begitu saja diberangus, tetapi dirawat sepanjang tidak menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Praktik keagamaan demikian inilah yang kemudian menjadi tradisi keberagamaan masyarakat Indonesia.
Implementasi moderasi beragama
Paling tidak ada tiga kerangka implementasi moderasi beragama di Indonesia. Pertama, moderasi yang terkait dengan komitmen bernegara. Komitmen bernegara merupakan indikator yang sangat penting untuk melihat sejauh mana kesetiaan pada konsensus dasar kebangsaan terutama terkait dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, sikapnya terhadap tantangan ideologi yang berlawanan dengan Pancasila.
Sebagai bagian dari komitmen bernegara adalah penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi dan regulasi di bawahnya. Jika seseorang kehilangan komitmen pada kesepakatan-kesepakatan berbangsa, bisa diduga orang tersebut kehilangan watak moderatnya.
Kedua, penguatan toleransi, baik toleransi sosial, politik, maupun keagamaan. Toleransi merupakan sikap untuk memberikan ruang dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, menyampaikan pendapat, meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang kita yakini. Dengan demikian, toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan kelembutan dalam menerima perbedaan.
Agree in disagreement  (setuju dalam perbedaan) disertai dengan sikap respect (hormat), penerimaan (acceptance) orang yang berbeda sebagai bagian dari diri kita, serta kemampuan berpikir positif dan percaya (positive thinking and trustworthy) terhadap orang yang berbeda adalah nilai-nilai penting yang ada dalam toleransi.
Sebagai sebuah sikap dalam menghadapi perbedaan, toleransi menjadi fondasi terpenting dalam demokrasi. Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan ketika seseorang mampu menahan pendapatnya dan kemudian menerima pendapat orang lain. Karena itu, kematangan demokrasi sebuah bangsa antara lain bisa diukur dari sejauh mana toleransi bangsa itu.
Semakin tinggi toleransinya terhadap perbedaan, bangsa itu cenderung semakin demokratis, demikian juga sebaliknya. Aspek toleransi sebenarnya tidak hanya terkait dengan keyakinan agama, tetapi bisa terkait dengan perbedaan ras, jenis kelamin, perbedaan orientasi seksual, suku, budaya dan sebagainya.
Ketiga, anti-radikalisme. Radikalisme di sini dipahami sebagai suatu ideologi dan paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ekstrem. Inti dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan.
Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis serta bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku. Radikalisme sering dikaitkan dengan terorisme karena kelompok radikal dapat melakukan cara apa pun agar keinginannya tercapai, termasuk meneror pihak yang tidak sepaham dengan mereka.

Radikalisme bisa muncul karena persepsi ketidakadilan dan keterancaman yang dialami seseorang atau sekelompok orang. Persepsi ketidakadilan dan perasaan terancam memang tidak serta-merta melahirkan radikalisme, tetapi jika dikelola secara ideologis dengan memunculkan kebencian terhadap kelompok yang dianggap sebagai pembuat ketidakadilan dan pihak-pihak yang mengancam identitasnya.
Ketidakadilan mempunyai dimensi yang luar, seperti ketidakadilan sosial, ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik, dan sebagainya.
Xenofobia dan juga islamofobia muncul dari suasana tersebut. Ketidakadilan dan perasaan terancam bisa muncul bersama-sama, tetapi juga bisa terpisah. Persepsi ketidakadilan dan perasaan terancam tersebut bisa memunculkan dukungan pada radikalisme, bahkan terorisme, meskipun belum tentu orang itu bersedia melakukan tindakan radikal dan teror.
Kebijakan moderasi beragama yang akan dilakukan pemerintah—setidaknya—harus terimplementasi pada tiga persoalan ini. Jika melakukan moderasi, tetapi tidak ada dampak terhadap komitmen bernegara, penguatan toleransi, dan anti-radikalisme, maka akan dengan mudah dikatakan moderasi yang dilakukan telah gagal. ***