SDGs
dan Pembangunan
Setyo Budiantoro ; Peneliti Senior Perkumpulan Prakarsa;
Anggota Dewan Pengawas Bina Swadaya
|
KOMPAS,
02 April
2018
Dalam sejarah, belum
pernah ada kesepakatan global yang begitu ambisius seperti Sustainable
Development Goals (SDGs): merengkuh tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan
sekaligus. Indonesia patut bangga
menjadi salah satu inisiator dan kini role model, karena leadership presiden
yang memimpin sendiri pelaksanaan SDGs secara inklusif. Namun, sudahkah
Indonesia mengoptimalkan SDGs dalam transformasi pembangunan?
Indonesia berhasil
mengarusutamakan SDGs dalam perencanaan pembangunan, dengan ditcantumkannya
sebagian besar target SDGs dalam dokumen pembangunan. Namun, SDGs juga
mentransformasikan cara pandang dan metode baru. Target ambisius SDGs tidak
mungkin hanya dicapai pemerintah, perlu sinergi dengan organisasi masyarakat
sipil, media, bisnis, filantropi dan perguruan tinggi. Lebih dari itu, budaya
dan perilaku masyarakat perlu ditransformasikan menjadi sustainable
behaviour.
Transformasi
pemerintah
SDGs mengejawantahkan
perspektif baru pembangunan multidimensi. Artinya, untuk menyelesaikan satu
persoalan diperlukan kontribusi berbagai sektor. Bukan hanya tipikal
Indonesia, cara pandang sempit dan egosektoral antar lembaga pemerintah
menyebabkan inefisiensi, inefektivitas, overlapping, dan pemborosan anggaran
luar biasa.
Sebagai contoh, mengatasi
kematian ibu melahirkan. Persoalan ini membutuhkan peran bukan hanya sektor
kesehatan, infratruktur jalan buruk ke fasilitas kesehatan juga bisa
menyebabkan kematian ibu. Ketersediaan dan kualitas listrik buruk, membuat
penanganan kesehatan tak memadai. Ini berarti, koordinasi bukan hanya lintas
kementerian teknis namun juga lintas kementerian koordinator.
Salah satu “keindahan”
SDGs adalah mendobrak kebekuan egosektoralisme (silos), mendorong kerjasama,
kesalingterkaitan (interconectedness) dan mengunci melalui indikator terukur.
Indonesia kini memiliki 319 indikator SDGs. Untuk mencapai satu target
indikator SDGs, rencana aksi pelaksanaan sektor terkait harus dimasukkan,
dimonitor dan dievaluasi ketat.
Indonesia kini memiliki
regulasi sinkronisasi perencanaan dan anggaran. Regulasi itu diwujudkan
dengan peranti lunak yang memonitor pelaksanaan program, kegiatan, dan
keuangan. Melalui tagging kegiatan SDGs, aplikasi ini memonitor kinerja yang
sudah hijau atau masih kuning dan merah.
Akan tetapi aplikasi hanya perangkat, jauh lebih penting mengubah pola
pikir dan pelaksanaan.
Transformasi
bisnis
Bisnis jelas tidak mungkin
sukses di lingkungan dan masyarakat gagal, sehingga sektor bisnis
berkepentingan SDGs tercapai. Salah satu instrumen yang disusun PBB untuk
navigasi sektor bisnis adalah “Kompas SDGs” (SDGs Compass). Instrumen ini
memandu integrasi arah dan strategi bisnis dengan SDGs.
Peluang bisnis SDGs sangat
besar. Hanya terkait di sektor pangan dan pertanian, atau fokus utama Tujuan
(Goal) 2 dan menjalankan circular economy, potensi bisnisnya lebih dari 2,3
triliun dolar per tahun. Sekitar 80 juta kesempatan kerja akan tercipta
(AlphaBeta, 2016).
Indonesia cukup maju dalam
mengarahkan bisnis agar berkelanjutan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan
memiliki roadmap dan regulasi keuangan berkelanjutan, berisi tahapan sektor
bisnis terintegrasi SDGs. Awal 2019, bank besar dan bank asing wajib memiliki
rencana aksi dan sustainability report. Tahun selanjutnya, wajib untuk bank
lebih kecil, semua lembaga keuangan, emiten dan perusahaan publik. Indonesia
jadi negara pertama Asia yang menjual green bonds.
Sektor bisnis
berkontribusi melalui program corporate sosial responsibility (CSR) senilai
Rp 12,5 triliun per tahun. Lebih dari itu, beberapa perusahaan bahkan telah
mengintegrasikan sustainable behaviour dalam aktivitas intinya. Sebuah grup
perusahaan otomotif telah mengefisiensikan energi setara Rp 408 miliar
(sekitar 1.549 terajoule) dan menurunkan emisi 125 ribu ton karbon dioksida.
Beberapa perusahaan makanan menambahkan zat gizi mikro untuk mengatasi
“kelaparan mikronutrien”.
Transformasi
keagamaan
Sektor filantropi atau
kedermawanan berkembang. Menurut World Giving Index 2017, Indonesia adalah
negara kedua paling dermawan dunia. Dana sosial keagamaan berpotensi besar.
Hanya dari zakat saja diperkirakan
potensinya Rp 213 triliun per tahun, namun baru tergalang kurang dari 2
persen. Filantropi jenis lain juga berkembang pesat. Kini makin jamak berdiri
family philantropy foundation bahkan crowd funding untuk program sosial,
ekonomi dan lingkungan.
Filantropi agama
bertransformasi pada tujuan lebih luas. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas)
kini menjadikan SDGs menjadi panduan kegiatan, serta mendirikan laboratorium
Islamic Innovative Financing for SDGs bekerjasama dengan United Nations for
Development Program (UNDP). Di tingkat global, nilai aset Islamic Finance
mencapai 2 triliun dollar AS.
Organisasi perhimpunan
gereja Kristen sedunia (WCC), dimana Persekutuan Gereja Gereja Indonesia
(PGI) menjadi anggota, juga menyepakati SDGs sebagai panduan programnya.
Pimpinan umat Katolik sedunia, Paus Francis, dalam Sidang PBB mendukung
adopsi SDGs (dan Paris Declaration) sebagai harapan baru mengatasi
ketimpangan dan perubahan iklim.
Perguruan tinggi seperti
Universitas Padjajaran, Universitas Bengkulu dan Universitas Jember membentuk
SDGs Center sebagai katalisator, pemberdaya, think tank dan “klinik SDGs” di
wilayahnya. Melalui SDGs, perguruan tinggi didorong berkontribusi secara riil
memecahkan persoalan masyarakat.
Jaringan lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dengan fokus SDGs telah terbentuk. Bagi banyak LSM, terlibat
dalam rencana aksi pelaksanaan SDGs secara inklusif bersama pemerintah,
bisnis, filantropi dan perguruan tinggi adalah pengalaman baru. Program dan
kegiatan LSM jadi makin direkognisi.
Kerjasama inklusif
pemangku kepentingan untuk tujuan bersama akan menjadi jembatan berbagi
pengalaman, inovasi dan dukungan sumber daya. Dalam konteks sektor non profit
sebagai the doers untuk SDGs, mekanisme inovatif kerjasama dari pemerintah,
bisnis dan filantropi perlu terus dikembangkan.
Cape Town kini akan
menjadi kota pertama dunia yang kehabisan air. Bila tak teratasi, aliran air bersih
berhenti total Juli tahun ini. Tak seperti dibayangkan, 70 persen permukaan
Bumi diselimuti air, namun hanya 3 persen layak minum. Tahun 2014, 500 kota
besar dunia masuk kategori water stress (kebutuhan air melebihi persediaan).
Jakarta kini masuk peringkat 5 dari 11 kota paling rawan krisis air.
Sebagai kota pesisir
Jakarta rawan kenaikan permukaan air laut. Kondisi makin buruk karena
warganya ramai-ramai menyedot air tanah, sehingga cadangan kantung air tanah
mengempis. Celakanya, kantung air tak terisi karena kota penuh aspal dan
“tanaman beton”.
Transformasi
perilaku
SDGs penting dilaksanakan,
namun jauh lebih substansial perubahan perilaku masyarakat menuju sustainable
behaviour. Dalam konteks ini, peran dari media sangat strategis. Mengutip
istilah Chomsky dalam arti positif, media mampu “merekayasa kesadaran”
(manufacturing consent) publik sehingga mempengaruhi nilai-nilai baru.
Tahun 2030 penduduk
Indonesia sekitar 300 juta jiwa, penduduk dunia 8,5 miliar manusia. Bayi,
anak, dan orang dewasa hingga usia 40-an saat ini akan mengalami tahun 2050,
tahun di mana ada 10 miliar manusia di Bumi. Bagaimana miliaran manusia itu
memenuhi kebutuhan esensial seperti air, energi dan pangan? Bila masih
berperilaku seperti sekarang, krisis pasti terjadi dan konflik merajalela.
SDGs mendorong pemenuhan
kebutuhan pembangunan masa kini tanpa mengorbankan generasi masa depan. Dalam
konteks Indonesia, berdasarkan Perpres, pelaksanaan SDGs jadi tugas kepala
Bappenas. Bagaimana Bappenas melibatkan semua pihak dan mentransformasikan
SDGs menjadi “gerakan bersama” yang mengejawantah dalam sustainable culture,
jelas menjadi tanggung jawab semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar