Kemitraan
Model Arsitektur Ekonomi Rakyat
Subiakto Tjakrawerdaja ; Pengamat Ekonomi
|
KOMPAS,
02 April
2018
Artikel di Harian Kompas
(20/3/2018) berjudul “Model Kemitraan
dan Kesejahteraan Petani” yang ditulis Prof Bagong Suyanto, Guru Besar
Universitas Airlangga Surabaya menarik untuk dicermati dan ditanggapi.
Ia mengutip hasil Jakarta Food Security Summit 2018 yang
diselenggarakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang
merekomendasikan bahwa kemitraan merupakan salah satu tawaran untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran petani. Sayangnya, kemitraan yang digagas Kadin
untuk menolong petani tidak jalan.
Prof Bagong, dalam artikel
tersebut menggambarkan soal dilema yang dihadapi petani. Petani di satu sisi
menghadapi situasi mempertahankan kualitas hasil panen mempunyai konsekuensi
biaya produksi naik. Akan tetapi, jika mereka mengurangi biaya produksi
kualitas hasil panen akan menurun, yang berimbas pada harga jual yang ikut
turun.
Ia pun berpendapat bahwa
“kemitraan” amat penting bagi petani untuk menjaga dan memastikan
keseimbangan antara permintaan dan kebutuhan pasar. Namun dalam kaitan ini,
petani memiliki posisi tawar yang lemah dalam konteks kemitraan ala Kadin
tersebut akibat ketergantungan mereka kepada mitra kerjanya, selain itu belum
tentu pula ada jaminan perlakuan adil.
Secara obyektif, petani
Indonesia saat ini memang masih berada dalam kondisi miskin, aset terbatas
dan tidak terlindungi dalam sistem persaingan global. Untuk menjawab
persoalan ini, memang diperlukan “kemitraan”. Masalahnya, kemitraan semacam apa yang perlu
dikembangkan agar dapat menyelesaikan problem kemiskinan serta meningkatkan
daya saing petani dan produk pertanian Indonesia?
Arsitektur
ekonomi rakyat
Mengatasi kemiskinan
petani dan meningkatkan daya saing komoditas pertanian di era persaingan
global saat ini adalah sebuah keniscayaan. Hal ini bukan sekadar capaian yang
hendak diwujudkan dalam setiap proses pembangunan nasional, melainkan
perintah dari konstitusi.
Ayat (2) Pasal 33 UUD 1945
yang mesti dijalankan siapa pun yang memegang kekuasaan di negeri ini
menyebutkan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”.
Sektor pertanian dalam
arti luas (tanaman pangan, perikanan, perkebunan dan peternakan) merupakan
tumpuan hidup petani, sumber lapangan kerja sekitar 60 persen penduduk dan
memasok kebutuhan penyediaan pangan rakyat Indonesia yang berjumlah 250
juta. Hal ini berarti sektor pertanian
merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak. Oleh karena itu negara mau tidak mau mesti menguasainya.
Apa parameter penguasaan
negara yang terkait dalam masalah itu?
Parameter yang sesuai dengan hal ini ialah memosisikan peran Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan Koperasi sebagai bentuk perwujudan dari amanat
ayat (2) pasal 33 UUD 1945. Melalui model arsitektur ekonomi rakyat (AER)
berbasis koperasi, BUMN dan Koperasi berperan mengatur dan mengendalikan
pasar komoditas hasil pertanian dari
hulu sampai hilir. Setelah pasar
dikuasai BUMN dan Koperasi, maka swasta tetap berada dalam konteks pasar
pangan yang berkeadilan dan diberi
peluang untuk berkiprah.
Dalam konteks AER
berbasiskan koperasi inilah “kemitraan setara” dibangun dalam institusi pasar
yang berkeadilan, dengan prinsip keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Model kemitraan semacam inilah yang diharapkan dapat mengatasi dilema yang
dihadapi petani saat ini. Dampaknya, problem kemiskinan dan daya saing produk
pertanian bakal terangkat dan mampu bersaing di pasar global.
Bagaimana model kemitraan
setara dalam AER yang berbasiskan koperasi untuk mewujudkan hal itu? Pertama,
petani didorong untuk membentuk dan membangun koperasi. Melalui Koperasi,
petani diharapkan dapat menerapkan produksi pertanian yang didukung sistem
manajemen dengan model informasi teknologi (IT). Penerapan IT dalam sistem
manajemen koperasi ini penting untuk mendukung aspek pelayanan keuangan,
sarana produksi, penanaman dan proses lepas panen. Dengan pengembangan
koperasi petani semacam ini menjadikan seluruh petani dapat bekerja secara
lebih efisien dan mempunyai keunggulan daya saing.
Kedua, membangun kemitraan
setara antara Koperasi, BUMN, serta Swasta, dalam institusi pasar yang
berkeadilan. Dalam model kemitraan ini Koperasi bermitra dengan BUMN untuk
meningkatkan daya saingnya. Koperasi bermitra dengan PT Pusri, PT Sang Hyang
Sri untuk menjamin harga dan pasar sarana produksi pertanian seperti bibit,
pupuk dan obat-obatan. Bank Rakyat Indonesia (BRI) bermitra dengan Koperasi
sebagai lembaga keuangan yang berperan menyediakan kredit usaha dan modal
kerja bagi petani yang berbunga rendah sehingga mampu melindungi petani dari
jeratan rentenir/tengkulak.
Selanjutnya, Bulog
bermitra dengan Koperasi menjamin harga dan pasar hasil lepas panen petani.
Dengan demikian Koperasi yang bermitra dengan BUMN tersebut dapat menjamin
input dan output petani secara efektif dan efisien dalam persaingan global.
Dengan prinsip efisiensi tersebut petani dapat menjual produk pertanian yang
berkualitas, dengan harga berdaya
saing dan menguntungkan.
Model kemitraan semacam
ini secara empiris telah dipraktikkan pada masa pemerintahan Orde Baru, khususnya
dalam pertanian tanaman pangan beras. Hasilnya membuktikan bahwa Indonesia
mampu berswasembada beras pada tahun 1985 dan memperoleh penghargaan dari
Organisasi Pangan Dunia (Food Agriculture Organizaion). Model kemitraan ini
pada hakikatnya adalah bentuk perwujudan dari pola tata peran dari pelaku
ekonomi (PTPPE) dalam konteks pembangunan pertanian, dan pangan di Indonesia.
Model kemitraan ini mencerminkan bentuk implementasi Sistem Ekonomi Pancasila
(SEP) pada tataran aksi.
Menerapkan model AER berbasiskan
koperasi dalam kemitraan setara melalui institusi pasar yang berkeadilan
untuk membangun pertanian yang maju,
berdaya saing dan berkelanjutan serta membebaskan petani dari kemiskinan
merupakan suatu keniscayaan. Hal ini
penting agar petani tidak terjebak dalam dilema yang tak berkesudahan, yang
menyebabkan mereka tetap dalam kondisi
miskin dan rendah daya saingnya. Oleh
karena itu, hemat penulis “model kemitraan” yang diajukan dalam artikel ini
menjadi jawaban atas problem petani yang sesuai Ayat (2) Pasal 33 UUD 1945,
sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran petani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar