Pintar
Sekaligus Bahagia
Dimas Aryo Wijanarko ; Pemerhati Pendidikan
|
MEDIA
INDONESIA, 02 April 2018
BERSEKOLAH hampir selalu
dipandang sebagai upaya untuk mencari ilmu dan memastikan masa depan yang
lebih baik. Sering kita mendengar ungkapan 'bersekolahlah setinggi-tingginya
supaya dirimu menjadi pintar dan dihargai orang' atau 'dengan bersekolah,
kamu akan mendapatkan pekerjaan yang layak dan bisa menjamin hidupmu di masa
depan', dan banyak ungkapan sejenis lainnya.
Bersekolah, karenanya,
menjadi salah satu upaya yang dianggap mampu untuk meningkatkan derajat atau
status mereka yang melakukannya, sekaligus menjadi keharusan bagi mereka yang
ingin mengubah dan memperbaiki nasib.
Dalam prosesnya,
bersekolah lebih sering menjadi ajang pembuktian kemampuan kognitif seseorang
atas orang lain. Akibatnya, banyak kita lihat sekolah yang terobsesi dengan
pencapaian-pencapaian akademis semata. Membiasakan mereka yang bersekolah
dengan skema persaingan yang ketat, disiplin yang kaku, dan pemujaan terhadap
kemampuan (terutama) akademik muridnya.
Pencapaian di luar bidang
akademik tidak dianggap sepenting keberhasilan di bidang itu. Untuk
mencapainya, serangkaian upaya--dan juga pengorbanan--harus dilakukan.
Penambahan jam pelajaran, les tambahan, sistem pemeringkatan--yang dinyatakan
secara terbuka atau tidak, kelas khusus bagi mereka yang dianggap lebih
pandai, program akselerasi, dan lainnya.
Bersekolah kemudian
menjadi soal bagaimana menaklukkan para pesaing dengan mengasah kemampuan
berpikir mereka secara keras dan terus-menerus. Tuntutan semacam itu
menjadikan proses bersekolah juga menjadi penuh tekanan dan beban.
Lalu bagaimana dengan
kebahagiaan? Bukankah bersekolah semestinya juga menjadi sebuah proses yang
membahagiakan dan membebaskan justru karena bersekolah adalah cara meraih
harapan di masa depan?
Mungkinkah bersekolah tidak hanya membuat seseorang
memiliki kemampuan otak yang cemerlang atau pintar, tetapi juga tanpa
kehilangan kebahagiaannya?
Empat aspek
well-being
Daniel Gilbert, psikolog
Harvard University dalam bukunya, Stumbling on Happiness (2009), menyatakan
bahwa kebahagiaan adalah perasaan positif yang beriringan dengan perasaan
keseluruhan bahwa hidup seseorang sungguh berarti atau bermakna. Lebih
lanjut, berdasar riset yang dilakukannya, Gilbert menunjukkan terdapat
korelasi yang erat antara kebahagiaan dan kesuksesan dalam pekerjaan.
Pegawai yang lebih
bahagia--menurut Gilbert--mampu menunjukkan performa kerja yang lebih baik
jika dibandingkan dengan mereka yang kurang bahagia. Mereka juga mampu
memberikan hasil kerja lebih baik dan lebih bisa memberikan bantuan bagi
rekan kerja. Lalu bagaimana korelasi antara kebahagiaan dan pencapaian dalam
dunia pendidikan?
Dalam sebuah artikel
menarik yang ditulis Lauren Schiller dan Christina Hinton berjudul "It's
True: Happier Students Get Higher Grades", disebutkan, riset yang
dilakukan Research School International bekerja sama dengan St Andrew's
Espicopal School dan The Center for Transformative Teaching & Learning
menemukan terdapat korelasi yang signifikan antara kebahagiaan dan kesuksesan
pencapaian akademik.
Korelasi itu sangat
dipengaruhi secara fundamental oleh kualitas hubungan yang dimiliki murid
dengan komunitas sekolah, terutama sejawat dan guru mereka. Murid yang merasa
didukung sejawat mereka, mendapatkan umpan balik yang membangun dari guru dan
merasa menjadi bagian dari sejawat mereka, merasa dapat menikmati keberadaan
mereka di sekolah dan memudahkan mereka untuk mencapai prestasi akademik.
Data menarik lain
berkaitan dengan 'pintar sekaligus bahagia' di sekolah, ditunjukkan laporan
Programme for International Students Assessment (PISA) 2015 Results (Volume
III) Student Well Being yang diterbitkan 19 April 2017. Dalam laporan itu
dinyatakan setidaknya terdapat empat aspek yang memengaruhi murid bisa
'pintar sekaligus bahagia' di sekolah (laporan PISA menggunakan istilah
well-being--mengacu pada fungsi-fungsi dan kapasitas psikologis, kognitif,
sosial dan fisik yang dibutuhkan murid untuk hidup bahagia dan bermakna).
Aspek-aspek yang perlu
diperhatikan, pertama, aspek psikologis. Berkaitan dengan tingkat kepuasan
murid atas kehidupan mereka di sekolah, kemampuan mereka mengenali tujuan
mereka bersekolah, kesadaran diri dan ketiadaan persoalan-persoalan emosi
yang menghalangi mereka berkembang di sekolah.
Membangun lingkungan
sekolah yang memungkinkan proses dialog yang sejajar, aman, dan terbuka bisa
dilakukan dapat membantu murid merasa diterima dan memberi peluang mereka
menyadari potensi diri mereka sehingga memudahkan mereka menemukan tujuan
bersekolah. Dalam konteks ini, keberadaan guru dan sejawat yang
mendukung/supportive menjadi kebutuhan yang wajib dimiliki sekolah.
Dukungan orangtua juga
menjadi faktor penting dalam aspek psikologis ini. Orangtua yang terlibat
aktif dengan berbagai dinamika sekolah--melalui pertemuan rutin yang
dilembagakan--dan memberi perhatian besar pada anak-anak mereka akan memberi
kontribusi positif bagi terciptanya dukungan psikologis yang kuat bagi para
murid.
Kedua, aspek fisik yang
berkaitan kemampuan murid untuk beradaptasi dengan gaya hidup yang sehat dan
kondisi kesehatan murid secara umum. Berbagai kebijakan sekolah yang
berorientasi pada lingkungan yang hijau, sehat, dan bersih, akan mendorong
menurunnya gangguan terhadap proses belajar yang berasal dari ketidaknyamanan
lingkungan fisik sekolah.
Ketiga, aspek kognitif
adalah kemampuan murid mengaplikasikan pengetahuan yang mereka dapat dalam
sebuah pemecahan masalah. Proses belajar di sekolah tidak lagi disajikan kaku
dan menggunakan sumber yang terbatas. Proses belajar yang terjadi harus
disajikan lebih fleksibel, proses 'berbagi' daripada 'memberi' pengetahuan
dan dilakukan melalui serangkaian praksis nyata yang bersentuhan langsung
dengan upaya penyelesaian masalah.
Praktik belajar dari
lingkungan sekitar sekolah (pasar, bank, pertokoan atau instansi/lembaga
tertentu), mendatangkan guru tamu yang merupakan pelaku langsung topik yang
dipelajari, dan lainnya ialah cara yang bisa dikembangkan.
Yang terakhir, aspek
sosial dengan relasi atau hubungan murid dengan keluarga, sejawat, dan guru
mereka termasuk perasaan atau penilaian mereka terhadap kehidupan sosial
mereka. Praktik kunjungan berkala ke rumah orangtua/wali siswa, program literasi
media sosial, atau dialog dengan basis kelas yang dilakukan untuk saling
mendengar keluhan, komentar, maupun usulan setiap murid adalah beberapa
kegiatan yang bisa dilakukan sekolah untuk penguatan aspek sosial.
Dengan mengelola keempat
aspek di atas secara serius, sekolah bisa menjadi tempat yang bukan saja
memberi peluang menjadi lebih 'pintar', melainkan juga menumbuhkan harapan
bagi mereka yang belajar agar tidak pernah lupa untuk berbahagia. Pintar
sekaligus bahagia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar