Kegagalan
Konstruksi
Chaidir Anwar Makarim ; Guru Besar Geoteknik Universitas Tarumanagara
|
KOMPAS,
02 April
2018
Robert T Ratay, guru besar
ilmu rekayasa sipil sub-bidang struktur, ahli forensik, fellow Perkumpulan
Insinyur Sipil Amerika (ASCE) memberi santapan berpikir mengenai kegagalan
suatu struktur bangunan, yang bisa dipakai untuk melihat sejumlah kasus yang
terjadi dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia belakangan ini.
Berikut pernyataannya: “Kegagalan struktur bukanlah semata-mata
suatu kecelakaan, ataupun kehendak Tuhan. Hal ini terjadi karena kesalahan
manusia yang berasal dari: kekeliruan cara pandang, sembrono, tidak tahu,
atau serakah. Seiring dengan meningkatnya kemajuan perencanaan dan metodologi
konstruksi, kegagalan struktur pun meningkat. Menghemat di awal dalam
perencanaan dan biaya konstruksi, sering kali menjadi bumerang yang kemudian
akhirnya menimbulkan biaya-biaya perbaikan dan litigasi yang jauh lebih
besar”.
Dalam bukunya Forensic
Structural Engineering Handbook (2000), beliau membicarakan kasus-kasus di AS
sebagai negara yang baik penelitian maupun peraturan bangunan dan perkara
konstruksinya jadi acuan banyak negara, termasuk negara berkembang seperti
Indonesia.
Suatu kegagalan struktur
tak perlu katastropik sifatnya. Bisa saja sesuatu yang tak sesuai dengan
perencanaan atau fungsi yang diharapkan, contohnya rubuhnya balkon/selasar
gedung bursa yang hingga kini tak jelas proses dan kabarnya. Menurut Ratay,
kegagalan konstruksi dan bangunan bercirikan sebagai perbedaan yang tak dapat
diterima antara apa yang diinginkan dengan apa yang dihasilkan.
Pertanyaannya: seberapa
sering kegagalan konstruksi atau bangunan terjadi di Indonesia? Jawabnya:
sering, dan hampir pasti akan meningkat! Yang diberitakan akhir-akhir ini
antara lain: girder Tol Becakayu yang roboh, ambruknya crane pada Proyek
Pembangunan Empat Jalur Kereta Manggarai–Jatinegara, jatuhnya girder pada
beberapa proyek overpass jalan tol, jatuhnya besi proyek rusunawa di Pasar
Rumput, longsornya underpass Bandara Soekarno-Hatta, kecelakaan pada
pembangunan proyek LRT Jakarta, ambruknya rumah sakit di Surabaya, dan
kecelakaan di gedung Bursa Efek Indonesia Jakarta, memperlihatkan hanya
sebagian kecil saja dari fenomena tadi.
Gaduh pekerjaan konstruksi
terlihat pada data sengketa konstruksi yang menduduki sekitar 30 persen dari
seluruh kasus sengketa yang diselesaikan oleh Badan Arbitrase Nasional
Indonesia. Apakah “unnecessary extra-cost” (biaya yang tak perlu) seperti ini
diketahui oleh pucuk pimpinan pemerintahan atau Presiden RI? Jawabannya
hampir pasti tidak. Klaim atau “perbaikan-perbaikan” yang akhirnya dilakukan
ditaksir berkisar 10-40 persen dari nilai awal proyek.
Seperti diketahui, tipikal
di dalam kontrak konstruksi hampir selalu didapatkan klausul penyelesaian
sengketa yang kira – kira bunyinya sebagai berikut: “Dalam hal terjadinya
perselisihan berkaitan dengan Perjanjian ini, maka kedua belah pihak sepakat
untuk menyelesaikan perselisihan tersebut secara musyawarah. Apabila
penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai di antara kedua belah pihak,
maka PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat menyelesaikannya di Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau di Pengadilan Negeri (kota/negara
tertentu)”.
Mengapa perspektif
berpikir seperti ini penting? Karena, sebagai contoh, suatu proyek
infrastruktur yang akhirnya akan menjadi milik pemerintah terbebani biaya
“perbaikan” yang tak seharusnya. Lihatlah antara lain “perbaikan” jalur
Pantura setiap mendekati Idul Fitri yang belakangan melonjak sejak dua tahun
lalu lebih dari Rp 1 triliun. Bagi Indonesia yang sedang menggalakkan program
infrastruktur besar-besaran, bila tak hati-hati, akan kontraproduktif
terhadap apa yang semula akan dituju. Berikut beberapa penyebab utama.
Pendidikan:
kurang berhasil
Pendidikan dasar,
menengah, dan pendidikan tinggi di Indonesia boleh dikatakan kurang berhasil.
Ingat pendidikan bukanlah pengajaran. Tak usah dibandingkan dengan
negara-negara asal mula di mana pendidikan universitas dicanangkan, di ASEAN
saja pun kita tertinggal. Gampangnya, di tahun 1950-an, banyak kerabat kita,
terutama dari Sumatera Barat, yang diminta mengajar di Malaysia, di mana saat
itu tingkat pendidikan mereka belum sebaik di Indonesia.
Keadaan kini berubah.
Sejak 15 tahun lalu PTN/PTS di Indonesia mengirimkan dosen-dosennya untuk
mengambil pendidikan doktor di Malaysia serta NUS dan Nanyang di Singapura,
AIT di Thailand, dan beberapa perguruan tinggi besar di Filipina, Taiwan,
Jepang, Hongkong, China, yang umumnya berada di ranking 50 besar dunia.
Indonesia hanya menduduki ranking 300 ke atas.
Sudah lebih dari 70 tahun
Indonesia merdeka, di mana letak kegagalan ini?
Pertama, berawal mula di
SD, karakter sebagai landasan cara berpikir dan cara kerja yang baik tak
hadir kuat di sini. Ini berlanjut hingga perguruan tinggi (PT). Di Indonesia
yang diutamakan pengajaran bukan pendidikan. Di negaranya sendiri pun
pendidikan nasional bukan menjadi pilihan pertama. Indikasi ini terlihat
misalnya dari tumbuhnya sekolah TK, SD dan sekolah menengah internasional
atau PT yang mengikuti kurikulum internasional, tumbuh pesat di kota-kota
besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan seterusnya. Baru-baru ini bahkan
pemerintah berpikir untuk memberi izin berdirinya PT asing di Indonesia.
Kesimpulan sementara: anak Indonesia yang baik! Bukan pendidikan Indonesia
yang memang kurang baik.
Profesionalisme:
tak jelas artinya
Pemerintah mungkin tak
sadar, seolah menghukum para insinyur kita dengan tidak mudahnya mengeluarkan
sertifikat keahlian bagi sarjana teknik yang ingin bekerja. Sertifikat ini
diatur oleh lebih dari satu institusi, bahkan hal yang tak pernah terjadi di
dunia, yaitu institusi pendidikan turut mengatur sertifikasi keahlian. Tak
heran bila sertifikat kerja tenaga ahli di Indonesia karut-marut, bukan hanya
prosedur namun biaya yang harus dikeluarkan. Menarik juga melihat seorang
ahli di Indonesia memiliki sertifikat yang multilinier sifatnya yang tak
lazim terjadi di negara lain, yaitu memiliki beberapa sertifikat keahlian
yang berbeda.
Seolah kita tak tahu apa
makna kata “ahli”. Puluhan sertifikat palsu beredar marak yang karena satu
dan lain hal terjadi karena “cacatnya” UU yang mengatur hal ini. Ada lebih
dari satu UU yang mengatur sertifikat keahlian profesi yaitu UU Insinyur No
11 Tahun 2014, UU Konstruksi No 18 Tahun 1999. Hal yang menyedihkan adalah
perlakuan berbeda yang kita kenakan pada ahli konstruksi bangsa sendiri
dibandingkan ahli konstruksi bangsa asing yang bekerja di Indonesia, yang
notabene jauh lebih mudah untuk mendapatkan sertifikat keahlian di negara
masing-masing.
Pada pokoknya, apa yang
terjadi dan kita lakukan di Indonesia secara resmi jauh berbeda dari apa yang
dilakukan oleh negara dan asosiasi profesi terkait di negara lain, misalnya
di AS, seorang ahli teknik sipil cukup mengambil sertifikat EIT (Engineer In
Training) setelah 1-2 tahun tamat bachelor (Ir) dan mengikuti ujian, di mana
yang bersangkutan hanya menyelesaikan pendidikan sarjana teknik sipil, dengan
total SKS (satuan kredit semester) hanya 83 persen dari total SKS di
Indonesia.
Selanjutnya, PE
(Professional Engineer) bisa diambil setelah empat tahun praktik. PE adalah
sertifikat keahlian tertinggi yang dipegang seorang ahli teknik sipil di
pendidikan. Di Indonesia, ada SKA (sertifikat keahlian tenaga ahli
konstruksi) muda, madya, utama, dan SKA insinyur, di mana Kementerian
Pendidikan pun ikut mengatur “keahlian” untuk bekerja dengan UU-nya turut
membaur— di samping Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) dan
asosiasi profesi.
Penghargaan:
rendah
Pada umumnya, pendapatan
awal sarjana teknik sipil di Indonesia berada di bawah atau sedikit di atas
UMR. Ini tak lazim, apalagi bila dibandingkan pendapatan yang diberikan di
negara lain, seperti Malaysia sekitar empat kali, atau Singapura enam kali
lipat lebih besar. Menghargai rendah seseorang bukan hanya berdampak pada
penerimaan pendapatan orang itu, namun juga kepada penilaian yang
bersangkutan terhadap dirinya.
Sebagai catatan dari
pengamatan kasar standar gaji orang Indonesia yang bekerja di Indonesia untuk
jurusan yang sama, namun mengecap pendidikan di luar Indonesia ada dalam
kisaran 6-12 kali lebih besar dari mereka yang berpendidikan 100 persen di
Indonesia. Hal ini tak berlebihan untuk dikemukakan, dan menteri yang
bersangkutan pun tahu dan telah menyatakan akan menaikkan pendapatan
Insinyur. Apa benar? Ada kesan langkah ini terlambat dan tetap tak cukup,
sekalipun hal ini terjadi bukan kesalahan semata seseorang atau departemen
tertentu.
Persatuan Insinyur
Indonesia (PII) dan Menteri PUPR pernah menyatakan bahwa suplai insinyur di
Indonesia masih jauh dari kebutuhan yang diperlukan. Pernyataan ini keliru!
Mereka ada di Indonesia namun bekerja di bidang lain, seperti: perbankan,
bisnis manajemen, wirausaha, dan seterusnya, di mana kesejahteraan hidupnya
lebih dihargai.
Gagal
paham?
Istilah anak muda kita
“gagal paham” adalah bilamana seseorang tak juga paham. Sebab dan akibat
sesuatu yang dimaksud di sini adalah cara berpikir dalam memahami suatu hal
dalam perspektif yang strategis, yaitu apa yang dilakukan saat sekarang, yang
kelak punya implikasi ke depan, baik itu hal yang baik maupun yang kurang
baik. Salah satu yang menonjol adalah proyek seolah harus dikerjakan semurah
mungkin, dan secepat mungkin, sesuai syarat untuk bisa bekerja atau
mendapatkan proyek tersebut.
Konsekuensi logis dari
melaksanakan pekerjaan semacam ini adalah kriteria detail dan aturan terkait
tak perlu seluruhnya diikuti, yang penting proyek berhasil didapatkan dan
keinginan pemilik proyek dipenuhi. Akibatnya, standar peraturan baik itu
nasional maupun internasional, maupun konsekuensi hukum terkait baik itu UU
maupun tuntutan pidana dan perdata diabaikan atau tak dipikirkan. Tak heran
bila sengketa konstruksi di ranah arbitrase di Indonesia menduduki porsi
terbesar.
Yang mengkhawatirkan di
sini bukan hanya hukuman atau tuntutan yang diterima oleh pemain konstruksi,
namun kerugian negara yang dengan mudah dapat kita taksir triliunan rupiah
akibat kegagalan konstruksi/bangunan. Seorang ahli geoteknik akan dengan
mudah menerangkan bagaimana kayanya masalah geologi dan geoteknik tanah di
Indonesia, baik itu berupa bahaya gempa/sesar yang tersebar luas, maupun
jenis tanah tertentu yang selama ini merugikan konstruksi infrastruktur di
Indonesia, antara lain tanah lunak—amat lunak, tanah ekspansif, clayshale,
ataupun tanah dispersif, di mana masalah ini tidak terlepas dari alam gunung
berapi atau ciri area “ring of fire” (cincin api) yang hadir kuat di
Indonesia.
Untuk semuanya itu,
kiranya tak berlebihan bila ada pendapat yang sudah mulai terbukti, yang
meramalkan kegagalan konstruksi atau bangunan di Indonesia akan terus
meningkat tajam seirama gencarnya pembangunan infrastruktur di darat, apalagi
di laut. Ancaman kerugian negara akan tumbuh amat besar dan reputasi praktik
konstruksi yang kurang baik di Indonesia akan jadi ancaman cukup serius.
Keterpaparan Indonesia dengan modal asing tak bisa dihindari – sama seperti
akan meningkat proyek-proyek infrastruktur buatan asing, klaim dan penalti
akibat kecerobohan “ahli” konstruksi kita oleh ahli-ahli asing ini, di darat
dan di laut juga akan meningkat tajam.
Saya teringat ketika
memahami bahwa tanah amat lunak yang bergerak lateral melalui galian parit suatu
bangunan tinggi di wilayah Jakarta Utara adalah air yang kental, di mana
viskositas (teori viscous flow) menggantikan teori tentang geoteknik mengenai
tanah lunak. Saya paham soal ini saat seorang profesor Australia menceritakan
robohnya bangunan di Jakarta Utara itu tahun 1997 pada suatu konferensi
internasional di Singapura enam tahun setelah kejadian. Lesson (never) learned. Mudah-mudahan hal yang sama tak terulang
lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar