Sekolah
Bahagia
Khairil Azhar ; Divisi Pelatihan Pendidikan Yayasan Sukma
|
MEDIA
INDONESIA, 02 April 2018
BAGI para pelajar yang
duduk di bangku akhir SD, SMP dan SMA, saat ini bukanlah bulan-bulan yang
enak dan nyaman. Karena alasan yang mekanistik, mereka mesti bergelut dengan
soal-soal ujian, try-out, seremoni motivasi, muhasabah, atau bolak-balik
mengikuti bimbingan belajar atau les privat. Tujuannya satu: mereka harus
mengejar angka-angka yang telah dipatok pemerintah, sekolah, orangtua, atau
lingkungan sosial mereka.
Kalau ada yang kemudian
bertanya mengenai apakah para pelajar itu bahagia, itu adalah pertanyaan yang
absurd. Arus besar pendidikan kita bukan digerakkan cita rasa kebahagiaan.
Sebaliknya, pendidikan kita, bahkan sejak taman bermain, lebih digerakkan
harapan akan kebahagiaan yang tak wajib dinikmati kini. Sekolah adalah 'kawah
Candradimuka' yang menggelegak, getir, dan kalau perlu mesti menelan korban.
Kebahagiaan adalah urusan nanti.
Sejak awal abad ke-20,
John Dewey mengulang-ulang kata kebahagiaan dalam salah satu masterpiece-nya,
Democracy and Education. Dewey menegaskan bahwa pendidikan hakikinya
berurusan dengan kebahagiaan, dimulai sejak pendidikan itu dirancang dan
dijalankan. Sekolah adalah taman mini sosial-multikultural, dengan
kebahagiaan dialami dan dinikmati dengan berbagi. Itu hanya mungkin ketika
pendidikan bermakna secara intrinsik bagi individu dan diselenggarakan secara
demokratis dan menyenangkan.
Bisa saja, kita mungkin
bilang, murid-murid yang lulus ujian nasional (UN), meraih nilai tinggi, atau
hafal beribu ayat kitab suci akan bahagia atau bahagia dalam pendidikan
mereka. Atau bisa juga kita katakan kalau anak-anak yang lolos seleksi di sekolah-sekolah
favorit, perguruan tinggi ternama, atau belajar kelas-kelas khusus lebih
bahagia daripada teman-teman mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah
'biasa' atau di kelas-kelas reguler.
Namun, tak demikian adanya
kalau kita merujuk pada sebuah terbitan UNESCO 2016. Dalam buku berjudul
Happy Schools: A Framework for Learner Well-being in the Asia-Pacific itu
dilaporkan, hasil survei di negara-negara kawasan Asia-Pasifik dengan
melibatkan 654 responden.
Penelitian ini menemukan 5
faktor utama yang mengategorikan 'sekolah bahagia' dan 5 faktor sebaliknya.
Pertama-tama, sekolah bahagia bercirikan kentalnya ikatan emosional di antara
warga sekolah, seperti pertemanan dan kemitraan. Di dalamnya ada
kesalingpercayaan, saling menghormati dan menghargai, keterterimaan tanpa
melihat latar belakang, serta kesetaraan perlakuan.
Sebaliknya, sekolah tak
bahagia dicirikan berlingkungan tak aman, dengan perundungan atau perisakan
mudah terjadi. Di sana ada kekerasan, tak hanya fisik, tetapi juga verbal,
serta nihil respek yang membumi. Murid-murid di sekolah tak bahagia dihantui
rasa takut dan kecemasan, keterasingan dan rendah diri.
Kedua, sekolah bahagia
berlangit kehangatan dan berfasilitas memadai. Selain faktor keamanan dan
kenyamanan psikologis, lingkungan yang hijau serta area bermain dan olahraga,
survei UNESCO juga menemukan sekolah bahagia menyediakan makanan gratis,
sehat, dan enak.
Dalam konteks Indonesia,
dengan hanya sekolah-sekolah tertentu yang menyediakan makanan siang yang
dikelola sekolah, soal penyediaan makanan mungkin bisa 'diubah' menjadi
warung sekolah (atau warung sekitar sekolah) yang terjamin kebersihan dan
rasanya.
Sekolah tak bahagia, di
sisi lain, memiliki lingkungan belajar dan atmosfer negatif. Di sekolah macam
itu, murid-murid sering merasakan ketegangan, sikap cuek dan masa bodoh,
senyum basa-basi, kealpaan kepercayaan, dan harmoni semu antarwarga sekolah.
Hemat penulis, bisa jadi
terdapat beragam fasilitas, kegiatan, atau faktor-faktor fisikal lainnya di
sekolah bersangkutan. Namun, itu semua lebih sebagai formalitas, sebagai
prasyarat yang mesti dipenuhi supaya terakreditasi atau merayu calon murid
dan orangtua.
Ketiga, bukannya hasil
ujian atau kompetisi, sekolah bahagia ternyata bercirikan adanya beragam
kegiatan kreatif dan praktis. Belajar tak hanya dalam ruang kelas, yang
justru sering menjadi penjara bagi murid, tetapi bervariasi dengan berbagai
kegiatan kaya pengalaman di luar ruang. Murid-murid yang disurvei menyatakan
bahwa kegiatan field-trip dan ekstrakurikuler membuat mereka bahagia.
Tak kalah pentingnya,
sekolah bahagia menjamin hak dan kesempatan unjuk pikiran dan diri serta
keleluasaan mencoba. Guru-guru, senior, atau teman kelas tak memperbudak
dengan mengeksploitasi rasa takut dan kesalahan. Ketika belajar tanpa
kecemasan, murid-murid berkembang secara alamiah, keingintahuan bertumbuh,
ruang bercita-cita meluas dan eksplorasi talenta mewujud.
Ini berbeda, oleh karena
itu, dari sekolah tak bahagia, yang bertumpu pada maksimalisasi beban kerja
murid: yakni dengan menguantifikasi keberhasilan belajar melalui beragam
ujian dan nilai, yang tak peduli pada stres yang merusak rohani dan jasmani
murid. Di sana belajar bisa berjam-jam dan bermain hanya sebentar. Belajar
juga melulu berupa proses menghafal supaya bisa menjawab soal-soal ujian dan
bukan proses memahami.
Khusus mengenai pendidikan
Indonesia, dikutip bahwa besarnya beban belajar akademik murid cenderung
menyebabkan stres. Pendidikan hanya fokus pada '...standarisasi, nilai
minimal, dan hasil belajar--karena belajar bukanlah untuk memanusiakan
manusia'.
Keempat, sekolah bahagia
berorientasi kerja sama. Di sekolah-sekolah dengan para murid mengaku
bahagia, kolaborasi ternyata bukan hanya antarmurid, melainkan juga antara
guru dan murid. Ini bisa berbentuk penelitian, performa, atau kegiatan
kolaboratif lainnya.
Di sekolah tak bahagia,
bukannya kolaborasi, warga sekolah sehari-hari bernapaskan persaingan, dengan
ketakpedulian dan keakuan mahatuan bertakhta. Ini persis seperti yang ditulis
Alvie Kohn pada 1986 dalam salah satu masterpiece-nya; 'No Contest: The Case
Again Competition'.
Terakhir, survei UNESCO
menemukan bahwa faktor guru amatlah menentukan. Guru-guru, di mata para murid
sekolah bahagia, terasa betul memiliki kebaikan hati, semangat mengajar, dan
mampu bersikap dan berlaku adil.
Tidak itu saja, guru-guru,
kata mereka, melayani dengan menginspirasi, berakal budi kreatif, dan menjadi
teladan kebahagiaan itu sendiri.
Di sekolah tak bahagia,
sebaliknya, guru-guru berwajah merengut dan boleh jadi bengis. Di sana ada
kekakuan, ketidakramahan, pilih kasih, cuek, ketidaktulusan, dan cara
mengajar kuno. Di mata murid-murid, guru macam itu justru dimusuhi dan
menjadi mata air rasa takut.
Sebagai catatan akhir,
siapa saja bisa mengklaim bahwa sebuah sekolah memiliki lima ciri sekolah
bahagia ini. Bisa juga, secara simbolis, seperti kecenderungan di banyak
sekolah--ada visi-misi, tujuan, program, banner, spanduk, gambar dinding,
brosur, atau media peraga lainnya--yang bertulis atau bergambarkan simbol
kebahagiaan.
Namun, supaya semua
alat-alat simbolis atau klaim itu jadi bermakna, perlu ada riset yang benar
dan valid. Tentu hanya sekolah-sekolah yang dikelola dengan akal budi yang
mungkin dan mau melakukannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar