Penentu
Koalisi
Firman Noor ; Kepala Pusat Penelitian Politik-LIPI
|
KORAN
SINDO, 02 April 2018
Pada umumnya koalisi
partai politik hadir disebabkan oleh tidak ada kemenangan mutlak dari sebuah
kontestasi politik yang diselenggarakan. Koalisi menjadi urgen karena ada
kebutuhan untuk melengkapi prasyarat penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif)
dan memperkokoh posisi penyelenggara pemerintah itu sendiri. Sebenarnya
tingkatan urgensi koalisi jelas lebih tinggi pada pemerintahan parlementer.
Hal ini karena syarat kemutlakan penguasaan suara mayoritas pihak pemerintah
di parlemen.
Adapun dalam sistem presidensial
hal itu tidak terlalu disyaratkan mengingat mandat langsung yang diberikan
oleh rakyat sudah memadai. Hubungan yang terpisah dalam konsep separation of
power yang sejajar juga menyebabkan
presiden tidak harus merasa terikat dengan komposisi kekuatan parlemen.
Parlemen tidak dapat membubarkan pemerintahannya, terkecuali ada kejadian
yang mengindikasikan pelanggaran serius terhadap konstitusi dan tindakan
kriminal.
Kendati demikian, pada
sebagian negara penganut sistem presidensial, regulasi pemilu yang
mengharuskan terpenuhinya syarat-syarat pencalonan atau kandidasi seorang
presiden dapat menjadi "alat paksa" untuk membentuk koalisi sejak
dini. Selain itu, ada keyakinan bahwa efektivitas pemerintahan dan upaya
menghindari deadlock seolah mensyaratkan
ada dukungan koalisi besar atau turah
baik di pemerintahan maupun parlemen. Meski begitu, kajian di beberapa
negara tidak terlalu membenarkan pandangan tersebut (Cheibub, 2002; 2007).
Beberapa
Motif Internal Partai
Terlepas dari konteks
mengapa koalisi itu terjadi, terdapat beberapa motif berkoalisi dari
masing-masing partai yang dapat dibagi menjadi beberapa hal. Pertama adalah motif ideologis. Partai yang
bergabung di dalam koalisi ideologis ini termotivasi untuk mewujudkan
nilai-nilai dari ideologi yang dianutnya dan koalisi yang terbangun didasari
terutama oleh kepentingan itu.
Koalisi ini umumnya
terjadi di negara-negara di mana ideologi masih memainkan peran menentukan
dalam memberikan identitas, karakter, dan program-program politik. Tidak mengherankan
jika pembelahan politik yang ada didasari oleh kepentingan ideologi, begitu
pula dengan berbagai koalisi yang terbangun di dalamnya.
Kedua, kesamaan agenda.
Motif kedua ini dapat dikatakan merupakan turunan atau aplikasi atas ideologi
yang secara substansi bersifat lebih adaptif, kontekstual, dan kompromistis.
Dalam konteks motif agenda ini, sebuah koalisi dapat terdiri atas
partai-partai dengan latar belakang ideologi yang beragam.
Selain terinspirasi oleh
ideologi, agenda politik yang menyatukan itu dapat muncul karena kegelisahan
yang sama, yang pada akhirnya ditujukan baik untuk mempertahankan kebaikan;
atau sebagai reaksi atas beragam kemunduran di sebuah periode pemerintahan
tertentu. Kandidat presiden yang kemudian diusung oleh koalisi ini adalah
hasil kesepakatan di antara partai-partai tersebut yang biasanya ditentukan
belakangan.
Ketiga, kesamaan pandangan
atas figur presiden yang dianggap ideal. Motif berikutnya adalah ada kesamaan
kriteria mengenai sosok ideal presiden. Kesamaan ini bisa saja tidak
ditentukan oleh kesamaan ideologis atau agenda-agenda politik di antara
partai-partai sebuah koalisi, melainkan sebuah keyakinan besar bahwa sosok
tersebut memang pantas untuk memimpin bangsa dan pemerintahan serta
menyatukan seluruh rakyat di dalamnya.
Hal yang membedakannya
dengan motif "pragmatis" adalah dukungan pada figur dilandaskan
pada kriteria yang dibangun secara kelembagaan dan selektif. Selain itu,
komitmen dukungannya itu tidak juga terlalu mempertimbangkan apakah figur tersebut
berpotensi besar meraih kemenangan atau tidak.
Keempat ,
oportunis-praktis. Motif terakhir adalah alasan-alasan di luar tiga motif
tersebut di atas. Partai-partai yang mengedepankan ini merasa tidak terikat
secara ideologis, agenda, atau kualitas kandidat presiden. Orientasi mereka
semata mendapatkan kemenangan dan penguasaan jabatan (office seeking) serta
potensi turut memengaruhi jalannya pemerintahan. Mereka cenderung mendukung
kelompok yang berpotensi memberikan lebih banyak keuntungan politik.
Dalam bentuk
"terbaiknya", partai-partai dengan motif ini dapat menjembatani
kelompok-kelompok potensial yang selama ini berseberangan demi lebih menjamin
kemenangan politik. Tidak mengherankan kombinasi yang tidak umum sejauh itu
menguntungkan akan sangat mungkin dikedepankan oleh partai-partai dengan
motif ini.
Percampuran
Motif: Kasus Indonesia
Dalam konteks Indonesia
koalisi akhirnya lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang kemudian populer
disebut sebagai "pragmatisme". Meski pragmatisme sendiri sejatinya
adalah sebuah "idealisme", dalam konteks Indonesia istilah itu
sudah memiliki makna negatif yakni pengedepanan kepentingan pribadi atau
kelompok dengan beragam cara. Bagi penulis, pragmatisme ini dalam konteks
koalisi lebih dekat dengan istilah praktis-oportunis.
Beberapa partai muncul
dengan sikap ini lebih disebabkan oleh kalkulasi kemenangan yang lebih pasti
dibanding kandidat lain. Mereka tidak terlalu ambil pusing dengan ihwal di
luar itu. Setelah keputusan itu ditetapkan, barulah partai-partai itu akan
mengeluarkan beragam argumen, termasuk yang terlihat paling idealis
sekalipun, di balik keputusan tersebut.
Meski demikian, motif
praktis-oportunis itu sendiri bukanlah faktor satu-satunya atau yang utama
dalam menentukan koalisi. Bagi pendukung sebuah koalisi kecocokan
agenda-agenda politik maupun simpati atau kedekatan chemistry yang dalam dengan figur kandidat presiden
juga memainkan peran penting dalam membangun koalisi.
Pada koalisi pemerintah
misalnya kesamaan sudut pandangan terhadap pengelolaan negara dan nasib
bangsa di kemudian hari dapat memotivasi terbangunnya dukungan secara
kolektif. Di sisi lain, sebagian partai mungkin tidak terlalu berat pada hal
tersebut, namun justru pada sosok atau karakter presiden saat ini yang dianggap
sudah tepat menjadi pemimpin pemerintahan.
Sementara bagi kalangan
oposisi, kadar praktis-oportunisnya jelas lebih rendah mengingat belum ada
jaminan koalisi yang terbentuk akan meraih kemenangan, bahkan bisa jadi punya
potensi kalah yang besar. Dalam konteks Indonesia, dilihat dari potensi
komposisi partai pendukung koalisi oposisi, motif ideologi bukanlah landasan
yang mengikatnya.
Landasan pengikat ada pada
idealisme atau agenda-agenda politik yang sama atau berdekatan. Upaya untuk
mendapatkan pemerintahan alternatif yang lebih ideal misalnya menjadi titik
temu di antara partai-partai untuk membangun koalisi. Selain itu, kesepahaman
untuk mendukung figur alternatif yang dipandang lebih ideal di banding
kandidat lain juga dapat menjadi landasan bergabung dalam sebuah koalisi.
Dalam konteks Indonesia
dapat disimpulkan bahwa koalisi yang terbangun jelaslah tidak didasari oleh
satu faktor utama. Terlepas dari beragam faktor itu, tampak jelas bahwa
koalisi yang terbangun lebih pada percampuran antara dukungan atas figur,
agenda, dan "pragmatisme" dengan kadar yang berbeda-beda di
masing-masing koalisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar