Selasa, 03 April 2018

Kekayaan, Bela Rasa, dan Keselamatan

Kekayaan, Bela Rasa, dan Keselamatan
(Refleksi Jumat Agung)
Tom Saptaatmaja  ;   Teolog
                                                  KORAN SINDO, 31 Maret 2018



                                                           
Setiap orang pasti ingin kaya. Ke­ka­ya­­an pun diburu de­­ngan be­ragam cara. Ada yang me­me­li­hara tu­yul, ada ju­g­­a yang ko­rup­si. Ham­pir tak ada satu bi­dang ke­hidupan pun di negeri ki­ta yang ste­r­il dari ko­rup­si. Toh  kalau di­pen­jara, apa­la­gi kurang da­ri li­ma tahun, akan tetap un­tung. Ja­di, selama ko­ruptor di­hu­kum ringan, ko­rup­si akan te­tap ma­rak  di negeri ini.

Ada pula yang kaya setelah mem­­baca buku. Menurut  pa­kar ke­kayaan Robert T Ki­yo­sa­ki, yang bukunya laris: “Uang ha­­nya­lah sebuah ide. Bila Anda bi­­lang bahwa cari uang itu sulit, An­­da adalah orang miskin. Sebaliknya, bila Anda percaya bah­­wa di bumi ini berlimpah uang, An­da akan kaya”.

Sekarang, apa pendapat Ye­sus ten­tang  kekayaan? Me­nu­rut  Al­bert Nolan OP (dalam bu­ku  Je­sus Be­fore Christianity, The Gos­pel of Liberation, Dar­ton Long­man and Todd, Lon­don, 1980), nafsu akan kekaya­an,  sung­guh sangat ber­ten­­tang­­an de­ngan usaha mencari Allah. Me­nurut Yesus, Allah dan ke­k­a­ya­an akan harta dunia (mam­­­mon) merupakan dua en­­t­i­tas yang saling ber­ten­tang­an. Ti­dak bisa orang mengabdi Allah s­e­ka­­l­i­gus uang  (Matius  6:24 dst; Bdk Mar­kus  4:19 dst.). Orang ka­ya se­jauh tetap ter­­le­kat dengan ke­­ka­yaannya akan ti­dak bisa ma­suk dalam Ke­­ra­ja­an Allah. Mus­ta­hil  orang ka­y­a ma­suk dalam Kerajaan Allah iba­rat  seekor un­ta ma­suk ke da­lam lubang jarum (Ma­r­kus 10:25 dst.).

Mengapa Yesus me­nyam­pai­kan kata-kata keras di atas? Ye­­sus tidak ingin kekayaan mem­­buat orang berpaling dari Allah se­hingga orang malah ter­­go­da meng­­gadaikan ji­wa­nya pa­da iblis s­e­perti kisah kla­sik Faust buah kar­ya Goethe. Ter­­le­bih ha­rus di­akui kekayaan bi­sa meng­ubah orang, apalagi jika ke­ka­ya­an itu ber­lebihan. Shak­ti Ga­wain da­lam jur­nal Per­sonal Ex­cellence edisi Sep­tem­ber 2001 me­nu­lis: If we have too many things we don’t truly need or want, our live be­come overly com­pli­cated. Ma­kin ti­dak bisa ti­dur, k­etika naf­su me­miliki (to have, Erich Fromm) kian me­ngua­sai. Su­dah pu­nya ini, ma­sih ingin yang itu.

Karena itu, menurut Ye­sus, orang-orang kaya ha­rus mau me­ninggalkan ke­ter­le­kat­­an­nya d­e­ngan mi­lik dan har­tanya agar bi­sa masuk Ke­ra­jaan Allah. U­n­tuk itu, me­re­ka ha­­rus mau ber­ba­gi de­ngan se­sa­ma­nya yang miskin. Di sini, Yesus ti­­dak se­ka­­dar meng­­ha­rap­­­kan der­­ma, ban­­tu­an karitatif atau se­­ka­­dar uang re­ceh.  ­Ye­sus ingin struk­tur ti­­dak adil yang telah mem­buat orang mis­kin ber­tambah mi­s­­­kin, se­dangkan si kaya bertam­­­bah kaya, harus dirobohkan.

Teladan Romero
Terkait pernyataan Yesus itu, me­narik apa yang terjadi pa­­da Us­kup Agung Oscar Ro­me­ro yang te­was ditembak saat me­m­per­sem­bah­kan misa pada 24 Ma­ret 1980. Se­bagai Uskup Agung, ia hidup da­lam konteks si­tuasi ke­mis­kin­an dan ke­ti­dak­adilan yang di­alami rakyat El Sal­vador serta tin­dak­an re­pre­­sif rezim militer yang di­­ko­man­­dani oleh Jenderal Maximiliano Her­nandez Martinez.

Kemiskinan dan ke­ti­dak­adil­an yang dialami rakyat ne­ga­ra yang paling padat pen­du­duk­nya di Amerika Latin itu di­se­bab­­kan oleh monopoli kepemi­lik­­an lahan oleh segelintir kong­lo­­merat kopi. Sementara ma­yo­ri­­tas penduduk hanya menjadi bu­­ruh perkebunan kopi. Ke­mis­kin­­an dan ketidak­adil­an di­per­pa­­rah lagi oleh tindakan rezim oto­­riter dan militeristik.

Pada awalnya, Romero yang la­­­hir pada 1917 dikenal dekat de­­ngan kaum kaya dan militer.  Ro­­me­ro hanya berkutat di al­tar dan mim­bar. Ia melayani umat de­ngan pelayanan sa­kra­men­tal dan ibadat-ibadat se­pu­tar altar. Ia mengem­bang­kan pe­la­yan­an ka­­ritatif seperti San­ta Claus: Ia me­­minta uang da­ri orang kaya dan diberikan ke­pada orang-orang miskin. Ia ti­dak masuk rea­li­tas k­e­mis­kin­a­n dan pen­de­ri­ta­an mayoritas ­rak­­yat El Sal­va­­d­or.  Ia malah me­­nentang te­o­lo­gi pem­be­bas­a­n yang dik­em­bang­kan Ig­na­cio Ellacuria dan Jon So­bri­no  yang di­tuduhnya se­bagai Kri­­s­tologi ba­ru yang ber­di­men­si Mar­xis atau komunis.

Tetapi, sikap itu berubah to­tal, setelah Romero diangkat se­­ba­gai Uskup Agung San Sa­l­va­­dor. Ia mendukung gerakan-ge­­rak­an perlawanan yang su­dah di­bangun para imam se­be­lum­­nya. Romero sadar bahwa ge­reja harus memihak kaum pa­pa ke­ti­ka kesenjangan kaya mi­s­­kin su­dah begitu tak ter­jem­batani la­gi. Ro­me­ro ingat ba­gaimana da­hu­lu Yesus  be­ra­ni menen­tang  orang-orang kuat di Ye­­ru­sa­lem, yang me­ru­pa­kan persekongkolan an­ta­ra para aga­ma­wan Yahudi dan para negarawan Roma­wi. Yesus berani me­mi­hak yang miskin hingga akhirnya ma­ti disalibkan.

Untuk itu, Romero be­ra­ni be­r­pesan pada ten­ta­ra agar ja­ngan membunuh rak­yat lagi. Dia juga me­min­ta Jim­m­y Car­ter, Pre­si­den Amerika Se­rikat keti­ka itu, agar tidak men­­du­kung rezim represif di ne­­ga­ra­nya. Dan, konsekuen­­si­­nya, pa­da ak­hir­nya ia di­tem­b­ak pas­­­u­kan ber­sen­ja­ta ke­tika sedang me­­mim­pin misa di ka­pel sus­ter­an. Dia mati, se­ba­gai­ma­­na Ye­sus dahulu ju­ga mati.

Penutup
Karena itu, jika kita tidak ingin meromantisasi  wafat Ye­­sus hanya sebatas dalam ri­tual atau  peribadatan di ge­re­ja, ma­ri ki­­ta bongkar segala struk­tur tak adil yang ada di se­kitar kita. Ka­­lau kita bisa me­nangis me­li­hat ­ade­­gan dra­ma atau tablo ja­lan sa­lib Ye­sus di gereja, kita ha­rus ju­ga me­­nangis bersama me­reka yang le­m­ah, miskin, dan ter­­ania­­ya. Mudah-mudahan Jum­­at Agung saat kita me­nge­nang wa­fat Yesus men­jadi mo­men penyadaran un­tuk be­ra­ni mem­­bu­nuh ego dan ter­hin­dar dari ke­ta­mak­an ser­ta ke­ter­le­k­at­an  harta du­nia. Sa­lib Ye­sus ada­lah ung­kap­an  bela ra­sa dan be­las kasih agar kita yang ber­do­sa (miskin se­cara ro­­ha­ni) bi­s­a diangkat, se­la­mat dan ti­dak di­kuasai kematian.

Kisah salib dan kematian Ye­sus bertumpu pada fakta his­to­ris, bukan kisah fiktif, karena ter­jadi masa pemerintahan Gu­ber­nur Pontius Pilatus di Pales­­ti­na dan di era Kaisar Ro­ma­wi ber­nama Tiberius pada tang­gal 14 bulan Nissan, men­je­lang Pas­kah Yahudi sekitar ta­hun 33 Ma­sehi, sebagaimana ­di­tulis se­ja­rawan sekuler Yah­u­di Flavius Josefus.

Kisah penyaliban disusul ke­­bang­kitan itulah yang di­ca­tat Fla­vius menjadi pen­do­rong ba­gi banyak orang per­caya kepada Ye­s­us. Bagi ba­nyak orang ketika itu, ke­se­la­mat­­an berkat salib itu le­bih ber­­harga daripada  semua har­­ta di dunia dan apa pun. Ti­­dak he­ran,  menjadi Kristen saat itu sangat berisiko, ka­re­na bi­s­a di­musuhi negara dan di­­hu­kum mat­i kalau ke­ta­hu­an, na­mun peng­ikut Yesus ti­dak pe­duli. Nya­li mereka luar bia­sa. Satu ma­­ti, muncul  se­ri­bu pengikut ba­ru se­ba­gai­ma­na bisa dibaca da­lam buku “Acta Martyrum”.

Bagi para martir, termasuk Ro­­mero, keselamatan berkat sa­­lib adalah  kekayaan sejati. S­e­­buah kehormatan pula jika bi­sa me­napaki jalan salib Ye­sus dan ma­ti demi  Dia, agar yang lain se­la­mat.  Memang pe­­ngor­ban­an Ye­sus sungguh luar bia­sa se­hing­­ga  yang se­mu­la egois, ak­hir­nya jadi altru­is. Yang semula  ha­nya mi­kir  diri sendiri, ter­ma­suk mi­kir  bagaimana bisa kaya dan su­ci sendiri, pada akhirnya  ber­­ubah menjadi peduli dan ber­­belarasa dengan sesama, khu­­susnya yang miskin dan me­n­derita (Matius 25:40). J­a­di, ka­lau Romero dan mereka bi­sa, ke­napa kita tidak? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar