Kontinuitas
Kebijakan
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 02 April 2018
Sebenarnya ada begitu
banyak gejala yang menunjukkan seberapa tidak efisiennya mekanisme pasar yang
tengah berjalan. Dalam konsepsinya mekanisme pasar memberikan hak ke tiap
individu untuk mendiskresi kegiatan ekonominya secara utuh.
Alhasil permainan di
dalamnya berjalan layaknya pertarungan bebas yang nantinya diharapkan akan
mendorong pasar menemukan titik efisiensinya. Hanya saja tidak semua pemain
mampu bersaing secara bebas. Ada pihak-pihak yang memang memiliki endownment
factors yang terbatas sehingga sumber daya persaingannya tidak cukup ajek dan
kokoh.
Jika tidak ada mekanisme
asimetris dari pihak-pihak yang berwenang (misalnya pemerintah), lambat laun
mereka yang tidak mampu bersaing segera tersingkir dari derap gempita
ekonomi. Persaingan bisa mengantarkan mekanisme pasar cenderung tidak
efisien, menjadi kanibal, saling jegal, dan biasanya akan mengarahkan pada
skema monopoli atau oligopoli.
Jika dibiarkan secara
terus-menerus, muaranya sudah sangat bisa ditebak, di mana nanti akan
terlahir adanya ketimpangan kekayaan dan kemiskinan. Kedua indikator
makroekonomi tersebut menjadi salah satu barometer utama untuk mengukur
seberapa besar proporsi kue-kue ekonomi didistribusikan kepada
kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan strata pendapatan.
Sebagai negara yang
menganut sistem Pancasila, tentu tidak elok bagi Indonesia jika membiarkan
ketimpangan dan kemiskinan terus berjalan ketika ide-ide keadilan terus
dikumandangkan. Tanpa menafsirkan secara mendetail pun sudah cukup gamblang
bagaimana Pancasila telah mengarahkan kita semua untuk dapat menjaga keadilan
sosial (termaktub di dalam sila kelima).
Karena konsekuensinya
ketika keadilan sosial tidak dapat kita jaga dengan baik, ide Persatuan
Indonesia (sila ketiga) akan semakin berat dicapai karena muncul adanya
potensi konflik vertikal dan horizontal berkat meningkatnya kecemburuan
sosial. Isu-isu separatisme biasanya diletupkan oleh pihak-pihak yang
berusaha mencuri perhatian karena selama ini merasa dianaktirikan.
Oleh karena itu ide-ide
mengenai demokrasi yang memberikan ruang bagi lebih banyak pihak untuk
terlibat tetap dapat kita jaga bersama. Ekonomi yang menganut ajaran
Pancasila semestinya tidak sekadar melahirkan sejumlah orang kaya, tetapi
jauh di dalamnya juga terkandung pesan moral yang kuat untuk menjunjung
tinggi output ketenangan dan keguyuban dalam pembangunan.
Saat terjadi begitu banyak
ketidakadilan, khususnya melalui indikator koefisien gini yang merefleksikan
ketimpangan pendapatan dan munculnya sejumlah penduduk miskin di berbagai
daerah, kebijakan pemerintah akan sangat dirindukan agar menjadi solusi yang
terdepan. Karakteristik Indonesia terbentuk dari kultur budaya dan strata
sosial yang amat heterogen sehingga membuat kebijakan pemerintah sudah
seharusnya didesain secara asimetris dan fleksibel.
Sasaran kebijakan dapat
lebih diutamakan pada pihak-pihak yang selama ini masih tertinggal untuk
dapat bersaing dalam mekanisme pasar. Mereka inilah yang sejatinya
membutuhkan dorongan dan fasilitas dari pemerintah untuk berdaya agar tidak semakin
jauh terjerembab dalam kubangan kemiskinan. Sudah menjadi tugas pemerintah
secara kontinu untuk menjadi pelaku utama dalam penciptaan keadilan pada
seluruh komponen/stakeholders agar semuanya memiliki kesamaan dan kesetaraan
untuk dapat mengakses sumber-sumber kesejahteraan secara optimal.
Kebijakan penanganan
kemiskinan dan pengendalian ketimpangan bukanlah suatu hal yang betul-betul
baru sejak bangsa ini didirikan. Semuanya telah dirintis oleh pejuang-pejuang
negara sejak kita mendapatkan kemerdekaan.
Berbagai jurus
penanggulangan kemiskinan sudah dilakukan untuk kepentingan jangka panjang
dan jangka pendek, baik apakah itu melalui subsidi konsumsi maupun produksi
atau melalui penguatan akses ekonomi (seperti infrastruktur dan layanan
keuangan) yang disertai pembangunan SDM. Perkembangan hasil program
penanganan kemiskinan memang telah menunjukkan tren yang menggembirakan.
Berdasarkan catatan BPS,
tingkat kemiskinan kita di tahun 1970-an sudah mencapai 60% dari total
populasi. Dan tren di tahun 2017 kondisinya sudah sangat jauh lebih baik
karena diturunkan hingga hanya tersisa sekitar 10,12%.
Akan tetapi sepertinya
perlu kita mencermati lagi bagaimana sejatinya kondisi kemiskinan yang
terjadi di Indonesia. BPS mengategorikan penduduk miskin dengan pendekatan
pada kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) yang kemudian
diistilahkan sebagai garis kemiskinan. Karena itu tingkat konsumsi untuk
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar akan menjadi basis penentuan apakah
seseorang itu ada di kategori miskin atau tidak miskin.
Penulis menilai bahwa
sesungguhnya tingkat kemiskinan kita sangat mungkin bisa lebih tinggi dari
kondisi yang tercatat di BPS untuk saat ini. Ihwal tersebut terjadi jika kita
utak-atik lagi berdasarkan perbandingan garis kemiskinan yang telah
“disepakati” secara internasional.
Bank Dunia telah
menetapkan bahwa garis kemiskinan secara internasional sebesar USD1,25 per
kapita per hari yang diformulasikan berdasarkan garis kemiskinan di 75 negara
tertinggal dan berkembang (termasuk Indonesia). Metode perhitungannya juga
identik dengan menggunakan basic needs approach.
Bank Dunia juga membuat
garis kemiskinan yang lebih ideal dan manusiawi lagi, yakni sebesar USD2 per
kapita per hari yang merupakan median dari 75 negara yang diamati. Adapun
kriteria USD1,25 per kapita per hari itu sendiri sebenarnya merupakan
rata-rata garis kemiskinan di 15 negara termiskin.
Nah, di Indonesia sendiri,
berdasarkan catatan BPS, garis kemiskinan kita di tahun 2017 berada di angka
Rp400.995 di wilayah perkotaan dan Rp370.910 di wilayah perdesaan. Jika kita
hitung dengan menggunakan perspektif pembagian selama 30 hari dan dikonversi
secara moderat sebesar Rp13.000 per USD, sesungguhnya garis kemiskinan kita
hanyalah USD1,03 per kapita per hari di wilayah perkotaan, sedangkan di desa
hanya sebesar USD0,95 per kapita per hari.
Meskipun garis kemiskinan
di desa lebih rendah ketimbang di kota, tingkat kemiskinannya jauh lebih
tinggi di desa daripada di kota. Dari sini secara agregat juga sudah dapat
kita lihat bahwa garis kemiskinan kita sudah mendapatkan “diskon” dari BPS,
bahkan hingga di bawah garis kemiskinan minimum yang dikriteriakan Bank Dunia
sebesar USD1,25. Atas dasar pertimbangan inilah penulis memperkirakan bahwa
tingkat kemiskinan kita sejatinya jauh lebih tinggi daripada apa yang sudah
direkam BPS.
Persoalan keadilan dapat
lebih diejawantahkan lagi dengan pendekatan tingkat ketimpangan. Saat ini
pemerintah lebih sering menggunakan koefisien gini sebagai parameter untuk
mengetahui seberapa timpang distribusi kekayaan yang diterima oleh kelompok
penduduk pendapatan tertinggi dan terendah.
Perkembangan ketimpangan
ini berada dalam tren yang jauh lebih mengkhawatirkan ketimbang persoalan
kemiskinan. Setelah era Reformasi dimulai dan salah satunya melahirkan sistem
desentralisasi sebagai metode perumusan kebijakan pembangunan, ternyata angka
koefisien gini kita justru cenderung semakin besar.
Saat ini koefisien gini
kita berada di angka 0,391. Jika dibandingkan dengan penghujung tahun 1990-an
yang berada di kisaran 0,30, sudah sangat jelas seberapa besar pergerakan
tingkat ketimpangan ini menjadi tidak cukup terkendali.
Jika ditambahkan lagi
berdasarkan fakta yang dihimpun beberapa lembaga internasional seperti Bank
Dunia dan Credit Suisse, mungkin kita akan lebih kaget karena hampir setengah
dari total kekayaan se-Indonesia dikantongi hanya 1% penduduk terkaya saja.
Oxfam (2017) juga menambahkan bahwa total kekayaan empat orang terkaya sudah
setara dengan total kekayaan 40% golongan penduduk termiskin yang jumlahnya
sekitar 100 juta penduduk.
Penyelesaian problem
ketidakadilan ini memang tidak bisa sekadar dianalisis sebatas angka dan kata
saja. Solusi jitunya tetap yang paling utama adalah dengan mengandalkan
keberpihakan/campur tangan pemerintah, karena persoalan ini tidak bisa
diatasi sepenuhnya melalui mekanisme pasar.
Pentingnya
Reformasi Birokrasi
Penulis menduga, kendala
yang menghambat optimalisasi kinerja perwujudan keadilan ekonomi berakar pada
praktik kebijakan yang tidak cukup membumi. Dalam praktiknya, kita menemukan
berbagai soal birokrasi yang sumbernya berasal dari kebijakan yang
inkonsisten (sering berubah) seiring dengan pergantian parlemen dan
kementerian.
Ibarat membangun sebuah
rumah, pergantian pemimpin sering kali juga diwarnai perubahan bentuk rumah
sebelum tuntas hingga (harus) memulai kembali sejak tahap dasar. Padahal
seharusnya pemerintahan yang baru memilah dengan jeli program-program apa
saja yang perlu dipertahankan/dilanjutkan dan sisanya jika memang dirasa
kurang bermanfaat, baru diusulkan adanya pergantian.
Namun tampaknya pola
politik kita tidak demikian. Apalagi jika pergantian tampuk kepemimpinan
diisi oleh dua kubu yang memiliki pandangan politik yang cenderung
berseberangan. Semangat persaingan politik lebih cenderung diwarnai sikap
“alergi” ketimbang berkompromi. Akibatnya capaian kebijakan sering kali tidak
sesuai yang diharapkan karena prosesnya kurang berkesinambungan dan banyak
mengalami bongkar-pasang kelembagaan.
Oleh karena itu ada baiknya
demi bisa membuat kebijakan yang berkesinambungan, kita memerlukan penguatan
kelembagaan, termasuk di dalamnya mengenai sistem perundang-undangan, sistem
partai, reformasi birokrasi serta penegakan hukum. Di lingkungan pemerintah,
reformasi birokrasi bisa dimulai dengan perubahan sistem pensiun (dari pay as
you go ke fully funded), payment system (remunerasi/pay based performance),
serta penegakan reward punishment yang lebih lugas dengan tujuan untuk
efisiensi belanja non-produktif dan menunjang semangat pelayanan agar
birokrasi kita semakin efektif.
Selain itu reformasi
birokrasi bisa ditandai dengan sistem rekrutmen pegawai yang lebih transparan
dan menjamin bahwa prosesnya mampu menjalankan norma-norma positif.
Transparansi menjadi bagian penting di era keterbukaan informasi mengingat di
sisi yang lain pemerintah sedang membutuhkan banyak dana segar yang utamanya
berasal dari penerimaan pajak. Dengan demikian modal sosial dengan masyarakat
harus diperkuat agar mereka tidak khawatir dengan cara pemerintah mengelola
hak dan kewajiban yang diterima masyarakat.
Melihat ini semua,
pekerjaan rumah dalam pembangunan ke depannya sangatlah tidak sedikit.
Bagaimana pemerintah merancang kembali tonggak-tonggak demokrasi itu, salah
satunya memperkokoh tata nilai dan moral serta mengembalikan ideologi
Pancasila sebagai dasar utama membangun kebijakan negara. Kondisi yang ada
seharusnya sudah menjadi modal pengingat bahwa proses birokrasi kita
membutuhkan perbaikan.
Kita perlu melihat ke
depan, bukan terjebak pada romansa di belakang (masa lalu) mengingat
lingkungan eksternal senantiasa berubah dan berjalan dengan sangat cepat
sehingga sikap skeptis perlu dihindari agar lebih fokus pada bauran kebijakan
yang koheren serta sinergis. Baik itu antara eksekutif dan legislatif maupun
antara kebijakan fiskal dan moneter. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar