Selasa, 03 April 2018

Hukum Kompetisi Tarif Ojek Online

Hukum Kompetisi Tarif Ojek Online
Augustinus Simanjuntak ;   Dosen Hukum Bisnis FE Univ Kristen Petra Surabaya
                                                      JAWA POS, 29 Maret 2018



                                                           
Polemik angkutan umum kini bergeser dari protes angkutan offline atas kehadiran ojek online ke protes sopir ojek online yang merasa jadi korban perang tarif antar perusahaan penyedia aplikasi online. Selasa (27/3) para pengemudi ojek online berunjuk rasa di depan Istana Negara dan perwakilannya menemui Presiden Jokowi karena kesal dengan kebijakan perusahaan aplikasi yang menerapkan tarif tak manusiawi.

Para sopir yang berasal dari mitra Go-Jek, GrabBike, dan Uber itu meminta pemerintah untuk menaikkan tarif yang saat ini Rp 2.000 per km menjadi Rp 4.000 per km. Mereka juga menuntut pemerintah merevisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang dijadikan acuan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai landasan pembuatan Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 terkait tarif dan wilayah operasi serta kuota angkutan online.

Memang, persoalan baru dalam bisnis angkutan online itu muncul karena Kemenhub lupa bahwa masalah persaingan tarif angkutan online seharusnya mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Antimonopoli). Kemenhub harus membedakan kuota angkutan dengan volume penguasaan pangsa pasar. Kuota ala Kemenhub seharusnya terkait dengan jumlah armada, sedangkan pangsa pasar terkait dengan keseluruhan permintaan jasa angkutan.

Artinya, pengusaha angkutan (offline maupun online) yang memiliki banyak armada belum tentu menguasai mayoritas pangsa pasar karena terkait kualitas kendaraan dan pilihan konsumen. Pemerintah juga seharusnya tidak menyamakan pengusaha aplikasi angkutan online dengan pengusaha jasa transportasi (offline) yang bertindak sebagai pemilik armada angkutan.

Pengusaha aplikasi online hanya memfasilitasi dan mengelola warga (pemilik kendaraan) yang mau berbisnis jasa angkutan. Sedangkan pengusaha jasa transportasi merupakan pemilik sekaligus pengelola sejumlah kendaraan angkutan atau bermitra dengan para sopirnya. Karenaitu, pengusaha jasa transportasi offline tidak bisa disandingkan dengan pengusaha aplikasi angkutan online dalam konteks persaingan. Hanya, pengusaha aplikasi berhasil memecah kegiatan usaha transportasi ke siapa pun yang ingin berbisnis jasa angkutan.

Menata Pengusaha Aplikasi

Tarif yang murah dan transparan sebenarnya merupakan dampak positif kemajuan teknologi sehingga (secara alamiah) para pemilik angkutan online bisa menguasai pangsa pasar (monopoly by nature) karena keinginan konsumen, bukan intrik persaingan. Monopoli alamiah lahir secara wajar karena mekanisme pasar. Pelaku usaha bisa saja unggul dalam persaingan karena kondisi objektif yang dimilikinya, termasuk keunggulan teknologi.

Jadi, tarif murah akibat kemajuan teknologi tidak bisa disamakan dengan perilaku predatory pricing yang dilarang dalam hukum persaingan usaha. Persoalannya, kompetisi sengit justru terjadi di antara pengusaha aplikasi (pemegang lisensi teknologi angkutan online) yang bisa berdampak buruk terhadap mitranya, yaitu para sopir ojek online. Dalam hal ini, negara memang wajib hadir sebagai pelindung seluruh warganya.

Jangan sampai perang antar-’’gajah’’ perusahaan aplikasi online mengorbankan para pelaku usaha kecil tersebut. Karena itu, negara harus menerapkan UU Antimonopoli terhadap pengusaha aplikasi online. Misalnya, pasal 20 UU Antimonopoli (terkait predatory price) menyebutkan: Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan/jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga/tarif yang sangat rendah dengan maksud menyingkirkan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan.

Jadi, perilaku predatory pricing (jual rugi) merupakan intrik kotor oknum pelaku usaha untuk menyingkirkan pesaingnya. Lalu, ia menaikkan kembali harga produknya setelah berhasil mengusir pesaingnya. Bahkan, tarif/harga yang diterapkannya di kemudian hari bisa lebih mahal daripada tarif normal. Karena itu, demi keadilan bagi semua pengusaha angkutan (aplikasi dan konvensional), pemerintah sudah seharusnya konsisten dengan UU Antimonopoli yang tidak mengatur soal batasan tarif bawah-atas.

Namun, UU Antimonopoli mengatur bentuk-bentuk penguasaan pangsa pasar yang dilarang karena merugikan konsumen, mitra, maupun kompetitor. Misalnya, pasal 4 sampai 16 UU Antimonopoli mengatur tentang perjanjian terlarang bagi pelaku usaha yang bisa melahirkan tarif/harga tinggi. Antara lain, larangan pembagian wilayah pemasaran, larangan perjanjian dua atau lebih perusahaan untuk menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar barang/ jasa sejenis (oligopoli), dan larangan penetapan harga maupun kartel.

Kemudian, pasal 17 sampai 29 melarang penguasaan pangsa pasar maupun pasokan barang/jasa sejenis lebih dari 50 persen oleh satu pengusaha. Juga, larangan posisi dominan terkait akses pasokan dan penjualan barang/jasa. Persoalannya, apakah penguasaan pangsa pasar angkutan oleh segelintir pengusaha aplikasi tergolong monopoli produk jasa yang dilarang? Ini menjadi tugas KPPU untuk menelitinya.

Yang penting, semua pengusaha angkutan offline sudah saatnya mengikuti perkembangan zaman menuju efisiensi tinggi lewat sistem online.

Ketika pengusaha penyedia aplikasi online tidak lagi dipertentangkan dengan pengusaha angkutan offline, saatnya menata pengusaha aplikasi online sesuai spirit ekonomi jalan tengah yang dianut pasal 33 UUD 1945. Pemerintah boleh saja membuat regulasi persaingan, tapi wajib mengacu pada UU Antimonopoli yang merupakan acuan dalam menciptakan kesimbangan bisnis di masyarakat.

Paling tidak, Kemenhub mengajak KPPU untuk membahas masalah itu. Penegakan hukum atas kompetisi angkutan pun sebaiknya diserahkan kepada KPPU, bukan ke Kemenhub. Sebab, Kemenhub tidak berwenang mengurusi struktur penguasaan pangsa pasar dalam bisnis jasa transportasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar