Selasa, 03 April 2018

Ketukan Palu Hakim Artidjo untuk Ahok

Ketukan Palu Hakim Artidjo untuk Ahok
Muhammad Yahdi Salampessy  ;   Dosen Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 31 Maret 2018



                                                           
Mahkamah Agung (MA) selaku lem­ba­ga peradilan ter­ting­gi melalui ke­tuk­­an palu hakim Artidjo A­l­kos­tar telah me­mutus menolak per­mo­hon­an peninjauan kem­bali (PK) yang diajukan mantan Gu­b­er­nur DKI Jakarta Basuki Tja­haja Pur­nama (Ahok). Palu h­a­kim Ar­tidjo tersebut meng­akhiri upa­ya hukum Ahok da­lam mem­perjuangkan na­sib­nya se­ba­gai terpidana dalam ka­sus pe­no­daan agama.

Semua alasan PK yang di­aju­kan Ahok ditolak oleh majelis ­ha­kim yang diketuai oleh Ar­ti­djo dengan anggota hakim Sal­man Luthan dan Sumardiatmo. Pu­tusan Artidjo dan dua hakim lain­nya menguatkan putusan Peng­adilan Negeri Jakarta Uta­ra1537/ Pid.B/2016/PN JKT. UTR tanggal 4 Mei 2017 lalu yang menyatakan bahwa Ahok ter­bukti secara sah dan me­ya­kin­kan bersalah melakukan tin­dak pidana penodaan agama.

Vonis Buni Yani
Jika ditelaah, terdapat be­be­­ra­pa alasan yang menjadi da­sar per­­timbangan Ahok da­lam meng­­­ajukan PK. Di an­ta­ra­nya Peng­­­adilan Negeri Ban­dung te­lah menjatuhkan vonis pen­jara ke­­­pada Buni Yani da­lam kasus pe­­lang­garan Undang-Undang In­­formasi dan Transaksi Elek­tro­­nik (UU ITE). Sebagaimana ki­­ta ke­ta­hui, kasus penodaan aga­­ma Ahok berawal dari video pi­­dato Ahok di Kepulauan Se­ri­bu pa­da 27 September 2016. Bu­ni Ya­­ni di­ni­lai oleh majelis ­ha­kim te­­­lah ter­buk­ti bersalah me­la­ku­­kan ujaran ke­bencian de­ngan ca­ra meng­ung­gah dan me­­nyun­ting isi video pi­dato Ahok tersebut.

Dalam kacamata hukum, PK m­e­rupakan sebuah upaya hu­­kum luar biasa (extra - or­di­nary re­medy) yang dapat di­mo­hon­­kan oleh seorang ter­pi­da­n­a un­tuk memeriksa atau m­e­me­­rin­tah­kan kembali suatu pu­tusan peng­­adilan yang telah ber­­ke­kuat­­an hukum tetap, baik di ting­­kat per­tama, ban­ding mau­pun kasasi. Se­bagai upa­ya hu­kum extra - or­di­nary, PK me­ru­pa­­kan jalan ter­akhir se­kaligus se­ba­gai hak ter­pi­da­na guna men­da­pat­kan ke­be­nar­­an se­ca­ra ma­te­riil atas per­ka­­ra yang menjeratnya. 

Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Ta­­hun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Aca­ra Pi­­dana (KUHAP), PK dapat di­aju­­kan ter­ha­­dap suatu putusan yang telah ber­­kekuatan hukum apa­­bila di­te­mukan keadaan ba­ru (no­vum) atau adanya ­ke­ke­li­ru­an atau k­e­khi­lafan hakim da­lam men­jat­uh­kan putusan. Vo­nis ber­salah ter­ha­dap Buni Yani ini­lah novum  yang menjadi da­sar peng­ajuan per­mohonan PK oleh Ahok.

Dengan ditolaknya PK ter­se­but, tulisan ini akan mengkaji le­b­ih dalam mengenai putusan Bu­ni Yani sebagai dasar peng­aju­an PK Ahok tersebut. Salah satu alasan utama yang dinilai melemahkan da­sar peng­aju­an PK Ahok adalah bah­­wa vo­nis Buni Yani belum in­­kracht  atau memiliki ke­kuat­an hukum te­tap. Menurut Ki­tab Undang-Undang Hukum Aca­ra Pi­dana (KUHAP), yang di­­mak­sud de­ngan putusan peng­adil­an yang te­lah mem­per­oleh ke­kuat­­an hu­kum te­tap adalah pu­tus­an peng­adil­an ting­kat per­ta­ma yang ti­dak di­ajukan ban­ding atau ka­sa­si atau putusan pen­g­adil­an ting­kat banding yang ti­dak di­aju­kan ka­sasi da­lam wak­tu yang telah di­ten­tu­kan oleh KUHAP.

De­­ngan kata lain, suatu pu­tus­an di­ang­gap me­miliki ke­kuat­an hu­kum te­tap apabila su­dah tidak di­la­ku­kan upaya hu­kum biasa ber­upa ban­ding atau kasasi. Dalam kasus Buni Yani, vo­nis hakim tersebut belumlah da­pat dikatakan telah inkracht  meng­ingat Buni Yani masih meng­ajukan banding. Karena upa­ya hukum terhadap vonis ter­sebut masih berlangsung, ti­dak tepat untuk dijadikan se­ba­gai novum  yang menjadi dasar peng­ajuan PK bagi Ahok.

Peluang Ahok  untuk PK Lagi
Saat ini permohonan PK yang diajukan Ahok melalui kua­sa hukumnya telah ditolak oleh MA. Kondisi ini kemudian me­nimbulkan pertanyaan, apa­kah putusan MA yang menolak PK Ahok tersebut dapat di-PK-kan kembali? Pertanyaan ini akan mengarahkan kita pada pem­bicaraan mengenai PK atas PK atau PK berkali-kali. Apakah hal ini memang dimungkinkan da­lam hukum positif Indonesia?

Merujuk pada Pasal 268 ayat (3) KUHAP, diatur bahwa per­min­taan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat di­lakukan satu kali saja. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang No 48 Ta­hun 2009 tentang K­ekua­sa­an Kehakiman ikut me­ne­gas­kan hal itu dengan mengatur bah­wa terhadap putusan PK ti­dak dapat dilakukan PK.

Namun Mahkamah Kons­ti­tusi (MK) melalui Putusan No­mor: 34/PUU-XI/2013 pada 6 Ma­ret 2014 menyatakan bahwa Pa­sal 268 ayat (3) KUHAP tidak pu­nya kekuatan hukum meng­ikat. MK berdalih secara his­to­ris-filosofis, PK adalah upaya hu­kum yang lahir untuk me­lin­dungi kepentingan terpidana. PK juga bertujuan untuk me­ne­mu­kan keadilan dan kebenaran ma­teriil. MK menegaskan bah­wa keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan for­ma­litas yang membatasi upaya hu­kum luar biasa (PK) hanya da­pat diajukan satu kali.

MK berpendapat bahwa bisa saja setelah diajukannya PK dan di­putus, ditemukan kembali no­vum  yang substansial yang saat PK sebelumnya belum di­te­mu­kan. Pendekatan yang diajukan MK ternyata begitu progresif ka­rena berpedoman pada prin­sip bahwa hukum dibentuk un­tuk menegakan kebenaran dan ke­adilan. Menurut MK, peng­atu­r­an PK dalam KUHAP harus di­arahkan bukan untuk me­m­ba­tasi seseorang mendapatkan ke­adilan hukum. MK sangat sa­dar tujuan hukum yang ­se­sung­guh­nya adalah keadilan hukum dan ini sifatnya sangat hakiki.

Membaca putusan MK ter­se­but, sepertinya masih ada pe­luang bagi Ahok untuk meng­aju­kan PK kembali. Pasalnya pu­tusan MK memberi ruang ke­pada terpidana untuk meng­aju­kan PK lebih dari satu kali jika di­peroleh novum  yang belum ­di­per­timbangkan pada peng­adil­an sebelumnya.

MA tidak dapat membatasi PK dilakukan lebih dari sekali jika terdapat novum  dengan ala­san bah­wa putusan MK hanya di­tu­ju­kan kepada KUHAP, se­men­tara pen­g­aturan PK ada juga da­lam UU Ke­kuasaan Ke­ha­kiman. Pu­tusan MK soal PK me­miliki si­fat erga om­nes. Ar­ti­nya ketika peng­aturan PK yang mem­batasi ha­nya sekali di­­ba­tal­­kan oleh MK, secara oto­ma­tis pem­ba­tal­an pengaturan ter­­se­but bukan ha­nya berlaku bagi KUHAP, te­ta­pi juga bagi undang-undang dan atur­an lain­nya yang mengatur pe­rihal PK.

Tentu hal ini bisa menjadi angin segar bagi Ahok. Bukan ti­dak mungkin jika di masa men­datang ditemukan novum  lain lagi, Ahok masih ber­ke­sem­pat­an untuk mengajukan per­mo­hon­an PK lagi. Dengan kata lain, se­panjang ditemukan novum  yang belum terungkap di per­si­dang­an, peluang untuk dilaku­ka­nnya PK masih terbuka lebar. N­a­mun apabila hal ini terjadi, ten­tu akan menjadi tugas yang be­rat lagi bagi majelis hakim un­tuk meng­uji­nya kembali guna meng­hin­dari adanya rekayasa novum.

Kita ingat sebuah adagium dalam sistem peradilan yang mengatakan, “Lebih baik mem­be­baskan 1.000 orang yang ber­s­alah daripada meng­hu­­kum 1 orang yang tidak ber­sa­­­lah.” Hal ini patutnya men­jadi prin­sip ba­gi setiap hakim d­a­lam hal terjadi keragu-ra­gu­an da­lam memutus suatu per­ka­ra un­tuk menghindari ter­ja­di­nya kri­mi­nalisasi dan ke­ti­dak­adilan ba­gi siapa pun yang du­duk di kur­si pesakitan.

Dengan kacamata adagium hu­k­um tersebut jugalah kita hen­daknya memandang kasus Ahok ini. Demi tercapainya ke­adil­an substantif, upaya peng­aju­an PK hendaknya tetap di­bu­ka sesuai dengan ketentuan pu­tus­an MK sebagai The Guardian of Constitution. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar