Viral
sebagai Alat Penekan Politik
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti di Pusat Penelitian Politik, LIPI
|
KOMPAS,
19 Maret
2018
Viral yang semula hanya bentuk
ekspresi penyebarluasan informasi dan kejadian oleh warganet Indonesia kini
berkembang sebagai alat politik. Hal itu bisa dilihat dari serangkaian bentuk
video singkat, foto, maupun informasi yang secara masif menjadi konsumsi
publik.
Semula viral tidak lebih sekadar
ekspresi warganet yang ingin mendapat perhatian luas publik di media
sosial. Namun, kini secara perlahan berkembang menjadi alat politik yang
cukup efektif dalam mendesak penguasa maupun melemahkan rival politik
lainnya.
Meramaikan lini masa
Istilah di-viral-kan menjadi kata
populer yang digunakan individu atau kelompok tertentu yang bertujuan untuk
membuat linimasa media sosial menjadi ramai dengan topik tertentu. Alih-alih
viral tersebut ditujukan untuk hal positif, viral justru lebih dekat kepada
ekspresi negatif.
Berkembangnya viral menunjukkan gelagat bahwa kelas
menengah Indonesia lebih menyukai narasi politik yang sifatnya reaktif dan
konotatif.
Viral sebagai hal reaktif bisa dilihat dari setiap postingan dari warganet di media sosial lebih menonjolkan sisi emosional dan berharap perasaan dan pemahamannya akan diikuti oleh para warganet yang melihatnya.
Hal tersebut tentu sangat riskan
karena hal itu sama saja menyuburkan pola pikir sumbu pendek di kalangan
kelas menengah Indonesia. Pola pikir sumbu pendek karena viral itulah yang
menyebabkan sentimen SARA tumbuh subur.
Sedangkan viral sebagai hal
konotatif bisa diartikan penyebaran video maupun informasi tersebut lebih
bermuatan hal-hal yang sifatnya dusta.
Anehnya, warganet Indonesia justru menyukai kedua tipe tersebut ketika mengakses akun media sosial mereka masing-masing. Hal ini justru menegasikan makna kelas menengah Indonesia sebagai masyarakat rasional, yang justru bersikap delusional.
Kalangan terdidik maupun kalangan
mampu justru memiliki pola irasional dalam kehidupannya. Gejala ini
menunjukkan bahwa viral membuat publik kian apatis dan intoleran. Kita
dihadapkan pada kelompok kelas menengah Indonesia yang belum dewasa secara
politik maupun sosial.
Melalui viral di media sosial, kelas menengah
Indonesia justru tidak berkembang menjadi inisiator perubahan namun lebih
kepada kolaborator politik sesaat.
Menguatnya viral memang diikuti
pula dengan fenomena kompetisi dalam mencari material dan kepentingan dalam
era sekarang. Warganet berlomba untuk menjadikan viral sebagai alat
intimidasi terhadap sesama demi kepentingan pribadinya.
Kondisi itulah yang menyebakan
tindak kriminalitas acap kali terjadi melalui media sosial. Namun kita masih
masih belum mengerti maksud dan tujuan viral tersebut diunggah di media
sosial. Dikarenakan rata-rata para pelaku penyebaran viral sendiri hanya
mencari sensasi dan kesenangan pribadi. Hal ini yang menjadikan viral dalam
media sosial sebenarnya memiliki dua sisi berbeda. Adanya keinginan sensasi
tapi miskin narasi dan ada pula keinginan bernarasi namun miskin isu.
Publik bisa terhasut
Dengan viral, publik kemudian bisa
terhasut dan terperdayakan dalam menanggapi isu tertentu. Hal itulah yang
menyebabkan viral bisa menjadi pemicu konflik baik di ranah dunia maya maupun
ranah dunia nyata.
Dibandingkan dengan konflik
konvensional yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan mapun pidana, konflik
karena hasil viral ini sulit dipadamkan. Meskipun telah menemui kata resolusi
secara lisan maupun tulisan, namun belum tentu secara digital. Viral justru
memelihara konflik dari hasil pembelahan sikap masyarakat agar tetap terbuka
dengan intensitas isu yang bisa disesuaikan. Oleh karena itulah, para pelaku
viral ini sebenarnya sadar akan tindakan yang mereka kerjakan, namun mereka
abai akan konsekuensinya.
Tindakan penyebaran viral ini bisa
murni karena sentimen terhadap perbedaan gaya hidup seseorang maupun
kolektif. Namun juga bisa murni karena semata demi mengambil materi atas
viral tersebut. Oleh karena itulah, viral kemudian alat sosialisasi
cukup ampuh dalam mempengaruhi masyarakat.
Viral sendiri bisa berdiri di
ranah patisan maupun non partisan tergantung pada isu yang sedang menggejala
di ruang publik. Isu non partisan lebih banyak berbicara mengenai isu publik
yang biasanya berpangaruh pada legitimasi pemerintahan. Sedangkan isu
partisan biasanya langsung mengarah pada sosok figur elite yang menjadi
sasaran utamanya. Keduanya bisa berkelindan satu sama lain, namun juga bisa
saling terpisah. Kondisi itulah yang acap kali membuat kita sulit
membedakan viral ini bertujuan mengkritik atau menghasut.
Dikarenakan keduanya langsung
menuai perhatian publik secara meluas antara yang setuju maupun tidak setuju.
Adapun viral politis seperti komunisme, LGBT, maupun minoritas sudah menjadi
hal baku yang selalu saja diulang-ulang demi memelihara sentimen publik.
Sedangkan viral non-politis sebenarnya adalah jenis viral yang tujuannya
untuk menguatkan viral politis tersebut. Masih berkembangnya isu SARA
menunjukkan bahwa viral kita masih bersifat tradisional sempit.
Keberadaan viral di media sosial memang menunjang berkembangnya hoak di
kalangan warganet Indonesia. Hal tersebut perlu sepenuhnya diantisipasi agar
nuansa kebhinekaan di Indonesia tetap terjaga.
Masyarakat perlu memilah secara cerdas mengenai viral yang menggejala di media sosial agar tidak bertambah lagi kalangan delusional dalam ruang publik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar