Titik
Rawan Korupsi Politik
Achmad Maulani ; Wakil Sekjend PP Lakpesdam PBNU
|
KOMPAS,
19 Maret
2018
Kontestasi para kandidat kepala
daerah dalam Pilkada 2018 meniscayakan satu hal: perburuan sumber dana.
Kenyataan ini telah mendorong sejumlah kandidat mencari sumber dana yang
terkadang bersumber dari korupsi (“Kompas”, 12/2).
Masalah semakin pelik ketika
perburuan sumber dana juga melibatkan “investor politik” dengan imbalan
ketika sang kandidat menang.
Dalam Pilkada Serentak 2018, ada
1.160 calon kepala daerah yang akan bertarung dan memperebutkan kursi kepala
maupun wakil kepala daerah di 171 daerah. Pemerintah pun harus merogoh
anggaran cukup fantastis, yakni Rp 18 triliun!
Perlu diatur secara ketat
Tingginya biaya politik tersebut
baru terkait biaya resmi yang diambil dari kas anggaran daerah dan belum
menghitung biaya politik yang dikeluarkan para kandidat. Menurut laporan
Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Pilkada 2017 rata-rata kandidat
menghabiskan Rp 15,7 miliar. Sementara dalam catatan Kementerian Dalam
Negeri, biaya kampanye untuk pemilihan gubernur berkisar Rp 20 miliar-Rp 100
miliar, dan Rp 20 miliar-Rp 30 miliar untuk pemilihan bupati/wali kota.
Jumlah tersebut belum termasuk dana sejak kandidat mendaftar ke parpol yang
nilainya tidak kalah besar.
Ongkos politik yang begitu besar
itulah sesungguhnya yang harus diwaspadai. Mahalnya biaya politik itu pula
yang disinyalir menjadi salah satu cikal bakal korupsi saat calon kepala-wakil
kepala daerah menjabat. Inilah sesungguhnya titik rawan korupsi politik.
Oleh karena itu, dalam konteks
kontestasi pemilihan kepala daerah, persoalan dana politik, khususnya dana
kampanye, perlu diatur dengan ketat. Hal ini karena uang akan menentukan asas
kesetaraan dalam pemilihan umum (juga pilkada). Partai politik yang memiliki
dana besar akan memiliki keuntungan dibanding parpol yang memiliki sumber
daya terbatas.
Selain itu, juga perlu diatur agar
parpol tidak menggunakan sumber-sumber dana yang dilarang, seperti
menggunakan anggaran pemerintah. Dalam konteks pilkada, sering kali para
petahana menggunakan program-program pemerintah untuk mempromosikan dirinya.
Dalam pandangan Roben Hodess
(2004), persoalan pendanaan politik ini perlu diatur agar tidak jadi embrio
bagi munculnya korupsi politik. Menurut Hodess, korupsi politik merupakan
penyalahgunaan kekuasaan dengan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan untuk
keuntungan pribadi. Perlu digarisbawahi bahwa korupsi politik di sini tidak
hanya dalam bentuk pertukaran uang, juga memperdagangkan pengaruh atau
memberikan fasilitas.
Di titik ini maka korupsi politik
tidak hanya dalam bentuk penggalangan dana melalui praktik-praktik korupsi
seperti yang selama ini terjadi, tetapi juga dalam bentuk distribusi dan
alokasi anggaran yang banyak dilakukan elite politik daerah dalam pemenangan
pilkada.
Dalam konteks pilkada, persoalan
korupsi politik sering kali muncul manakala seorang calon memiliki
ketergantungan sangat besar terhadap partai politik pada satu sisi, dan pada
saat bersamaan ia juga ketergantungan modal pada kekuatan-kekuatan ekonomi
yang ikut mendanai pencalonannya, yang disebut “investor politik”.
Fenomena di beberapa daerah
menunjukkan banyaknya pengusaha lokal yang memberi dukungan finansial bagi
sebagian besar calon untuk jabatan eksekutif dan legislatif di tingkat
lokal/daerah. Pada titik inilah persoalan kemudian timbul. Sebab, dalam kasus
seperti itu, umpan-balik (feedback) politik dan ekonomi tentu sebuah
keniscayaan. Bentuknya bisa berupa imbalan dengan cara membagikan proyek atau
kontrak-kontrak pembangunan daerah, surat izin, akses lahan, serta
bentuk-bentuk akses lain ke anggaran negara.
Dalam situasi di mana kepala
daerah memiliki ketergantungan sangat besar terhadap modal politik dan modal
ekonomi, maka terdapat kemungkinan seorang kepala daerah jadi tidak otonom
dalam menentukan kebijakan yang diproduksinya. Konsekuensinya, sangat
dimungkinkan sebuah pemerintahan daerah akhirnya tidak ada sekat dari
kekuatan-kekuatan ekonomi politik yang mendukungnya.
Sederhananya, kekuatan-kekuatan
politik dan ekonomi yang mengantarkan kepala daerah menduduki jabatannya bisa
berfungsi sebagai “aktor bayang-bayang” dalam proses-proses politik di
daerah. Munculnya “aktor bayang-bayang” inilah yang harus diantisipasi sejak
dini dalam proses pilkada. Antisipasi ini penting agar di masa depan tidak
terjadi pelapukan fungsi pemerintahan formal akibat tekanan dari para
investor politik.
Mencermati hal di atas, maka hal
penting yang harus dilakukan untuk mengikis politik biaya tinggi adalah
dengan mencari sistem, model ataupun regulasi yang tepat dalam pilkada
sehingga mampu meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan. Penciptaan
sebuah sistem, pola maupun regulasi juga diharapkan mampu memotong politik transaksional.
Perbaiki peran parpol
Ke depan, salah satu hal yang bisa
dilakukan untuk mencegah terdistorsinya pilkada akibat ongkos politik yang
mahal adalah dengan memperbaiki peran parpol. Parpol harus disadarkan bahwa
posisinya sangat penting sebagai rumah calon pemimpin bangsa. Karena itu,
partai harus membekali kadernya dengan hal-hal yang substantif akan makna
demokrasi.
Muara dari semua itu kita berharap
pelaksanaan pilkada serentak akan berjalan dan didasarkan pada
prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi dalam pilkada tak hanya dikerucutkan
pada permasalahan politik semata. Lebih dari itu, substansi demokrasi dalam
pilkada akan terlihat sejauh mana kepala daerah yang dipilih benar-benar
mampu menyejahterakan rakyat.
Dalam konteks demokrasi, rakyat
harus memperoleh berbagai kesempatan, termasuk kesempatan keluar dari impitan
kemiskinan. Pada titik inilah pentingnya membuat sistem pilkada yang
memungkinkan terciptanya demokrasi substansial, yakni demokrasi yang mampu
menghasilkan kepala daerah yang mampu menciptakan pemerataan ekonomi bagi
rakyatnya.
Karena itu, satu hal yang harus
ditegaskan: pilkada hanyalah titik awal dan pintu masuk. Selebihnya, seorang
kepala daerah harus mampu menjadikan makna desentralisasi politik dalam semua
pilihan kebijakan publik di daerahnya. Konklusi ini penting untuk menunjukkan
bahwa pemerintahan daerah hasil pilkada selain harus mampu menghasilkan
pemerintahan yang demokratis, juga yang utama adalah menciptakan pemerataan
ekonomi dan membawa warganya keluar dari impitan kemiskinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar