Model
Kemitraan dan Kesejahteraan Petani
Bagong Suyanto ; Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga;
Mengajar Kemiskinan dan Kesenjangan
Sosial
|
KOMPAS,
20 Maret
2018
Formula seperti apakah yang paling
realistis dan efektif meningkatkan kesejahteraan petani hingga kini masih
terus dicari. Salah satu yang diyakini efektif adalah model kemitraan. Dalam
acara Jakarta Food Security Summit 2018, Kamar Dagang dan Industri Indonesia
(Kadin) menawarkan model kemitraan sebagai solusi untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan dan kemakmuran petani (Kompas, 10 Maret 2018).
Model kemitraan ini diyakini
sebagai jalan keluar alternatif, sebab petani akan memperoleh kepastian
penyerapan pasar dari industri mitra atas komoditas pertanian yang mereka
hasilkan. Selain itu, melalui model kemitraan, petani akan memperoleh jaminan
akses ke sumber-sumber permodalan berbunga murah serta pendampingan untuk
penerapan sistem budidaya yang baik.
Sepanjang 2017, Kadin telah
mengajak 60 perusahaan sebagai mitra 387.089 petani kecil dan 230.182 rumah
tangga petani di luar program kemitraan dengan komoditas padi.
Dilema
petani
Hingga kini berbagai upaya terus
dikembangkan pemerintah ataupun swasta untuk mendorong peningkatan produksi
dan kesejahteraan petani. Pengalaman selama ini telah banyak mengajarkan
bahwa kenaikan produktivitas dan kenaikan harga komoditas pertanian di
pasaran ternyata tidak otomatis menjamin peningkatan kesejahteraan petani sebagai
produsen.
Dalam struktur mata rantai
penjualan produk pertanian, petani justru acap kali menerima pembagian margin
keuntungan yang paling tipis, dan nilai tukar (exchange value) produk mereka
cenderung turun jika dibandingkan dengan produk kebutuhan hidup sehari-hari.
Di sejumlah wilayah perdesaan, penghasilan petani kecil hanya berkisar Rp 1
juta-Rp 2 juta sekali panen, bahkan tak jarang lebih kecil dari itu. Petani
yang masih berkutat dengan mekanisme produksi yang konvensional niscaya tidak
akan memiliki banyak peluang untuk survive di tengah arus perkembangan produk
pangan kemasan dan produk pertanian modern.
Di era post-industrial seperti
sekarang, harga produk pertanian di pasar umumnya tidak ditentukan nilai guna
dan nilai tukar serta nilai kerja yang terkandung dalam komoditas pertanian
itu, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan pelaku ekonomi di sektor industri
pertanian mengolah hasil-hasil pertanian dan memanipulasi imajinasi para
konsumen.
Seorang petani yang menghasilkan
produk-produk pertanian dalam setiap panennya niscaya akan memperoleh
keuntungan paling kecil. Hal ini disebabkan komoditas yang dihasilkan masih
harus diolah kembali untuk memperoleh nilai tukar yang maksimal.
Sementara itu, para pelaku
industri pertanian yang mengolah hasil-hasil pertanian dari petani umumnya
memperoleh margin keuntungan yang paling besar karena mampu memberi nilai
tambah atas produk pertanian dari petani.
Beras, misalnya, dengan hanya
melakukan selep dan membersihkan hingga berwarna putih-bersih, para pedagang
perantara dan pengusaha beras umumnya dapat menjual hingga Rp 20.000 lebih
per kilogram. Bandingkan dengan harga kulakan mereka dari petani yang
kemungkinan hanya Rp 5.000-an per kilogram.
Selama ini, keluarga-keluarga
petani kecil di perdesaan masih mampu bertahan hidup di tengah tekanan
kebutuhan hidup yang terus naik, bukan karena kemampuan dan posisi bargaining
mereka yang meningkat di hadapan tengkulak, pedagang perantara, atau pelaku
di sektor industri pertanian. Sebagian besar petani mampu bertahan hidup
karena mereka melakukan pengetatan ikat pinggang dan melakukan efisiensi
dalam proses produksi, seperti tidak melibatkan tenaga kerja dari luar yang
harus berbayar atau mengurangi biaya dalam satuan produksi.
Dalam aktivitas sehari-hari, petani
umumnya akan berusaha semaksimal mungkin mengurangi pengeluaran agar
penghasilan mereka bertambah. Cuma, yang menjadi masalah, ketika biaya
pengeluaran diminimalkan, semisal biaya untuk pembelian pupuk dikurangi,
sering implikasinya kualitas produk pertanian yang dihasilkan menurun, yang
ujung-ujungnya juga berdampak pada penurunan harga jual produk mereka.
Dilematis
Pada titik ini, tidak sedikit
petani yang kemudian menghadapi situasi dilematis: mempertahankan kualitas
hasil panenan dengan konsekuensi biaya produksi naik, sementara itu jika
mengurangi biaya pengeluaran, risikonya kualitas hasil panenan menurun yang
menyebabkan harga jual pun ikut menurun.
Di atas kertas, melalui program
kemitraan, memang akan memungkinkan petani mengefisienkan ongkos produksi,
mengakses modal dengan bunga ringan, meningkatkan nilai tambah dan memiliki
kepastian pasar.
Meski demikian, kalau belajar dari
pengalaman program serupa sebelumnya, seperti program ”bapak angkat” dan
program kemitraan lainnya, mencoba mengembangkan link antara petani dan
pelaku industri bukan suatu hal yang mudah dilakukan.
Dengan program kemitraan, mungkin
benar bahwa rantai distribusi akan terpotong sehingga petani akan mendapatkan
harga tinggi, sedangkan para pengusaha juga akan mendapat kepastian pasokan
bahan baku. Namun, implementasi program semacam ini di lapangan biasanya juga
sarat masalah.
Bukan tidak mungkin dua kekuatan
ekonomi yang berbeda pranata sosialnya ini dalam praktik akan menemui
berbagai hambatan karena ketidakmampuan petani memenuhi standardisasi yang
ditetapkan perusahaan. Selain itu, bukan tidak mungkin, kemitraan yang
terjalin cepat atau lambat akan melahirkan ketergantungan karena sifat relasi
yang tidak setara.
Seorang petani tembakau, misalnya,
niscaya tidak akan dapat berbuat apa-apa ketika pihak pabrik rokok menetapkan
harga beli yang rendah karena daun tembakau yang dihasilkan petani turun
kualitasnya karena anomali cuaca.
Dalam kondisi yang tidak dapat
diduga, dan ketika komoditas pertanian yang dihasilkan tidak memenuhi standar
yang telah disepakati karena faktor-faktor di luar kemampuan petani,
pertanyaannya kemudian, adilkah jika semua risiko lantas harus ditanggung
petani sendiri?
Program kemitraan adalah program
yang mungkin menjanjikan karena keseimbangan antara penawaran dan kebutuhan
pasar menjadi lebih pasti penyalurannya. Namun, dalam banyak hal, petani
lemah posisinya dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap mitra kerjanya,
seberapa bisa dijamin mereka akan diperlakukan dengan adil?
Program kemitraan kemungkinan
berpeluang berhasil jika di saat yang sama petani memiliki amunisi dan posisi
bargaining yang lebih kuat, baik secara kelembagaan maupun kemampuan
social-entrepreneurship untuk memberi nilai tambah pada produk yang mereka
hasilkan.
Kesejahteraan petani, menurut
saya, lebih mungkin diwujudkan jika petani berperan lebih besar dalam proses
pengolahan dan pemberian nilai tambah produk pertanian—bukan sekadar pemasok
bahan baku sektor industri pertanian.
Bagaimana pendapat Anda? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar