Rajutan
Politik, Agama, dan Etnis
Bin Subiyanto M ; Pegiat Forum Silaturahmi Arab-Jawa-Cina (Fahmi Arwana)
|
SUARA
MERDEKA, 01 Maret 2018
TELAH ada perubahan yang
luar biasa dalam sosial politik dan budaya Indonesia. Globalisasi tidak lagi
jadi masalah, walau terkadang ada rasa pahit di tengah buahnya, yaitu
keterbukaan.
Antarumat beragama dan
sukuetnis pun dalam mengambil ”sikapbeda” dan ”sikap sama” sudah tidak lagi
sembunyi-sembunyi. Perbedaan etnis bukan suatu yang memecahbelahkan
kebersamaan walaupun sedikit masih bisa dipicu.
Sepintas dari sudut
pandang sosial budaya, Presiden Joko Widodo telah berhasil melakukan politik
kebudayaan yang baik dan mendidik seakan-akan semuanya alamiyah walau tentu
ada ongkos sosial yang harus dibayar.
Memang politik kebudayaan
dengan ciri kemajuan multidimensi dan keterbukaan bila dikelola dengan cermat
bisa memperkuat bangunan kebangsaan. Namun hal itu juga bisa menjadi potensi
keretakan tatkala persenyawaan unsur itu terganggu oleh sensitivitas sosial
yang tergesek.
Contohnya, diakui atau
tidak, sebetulnya pada saat Pilkada DKI 2017, ikatan sosial kebangsaan
Indonesia sedang berada pada titik rawan retak. Kasus Ahok adalah pemicu yang
sangat berhikmah. Bisa dijadikan indikator bahwa masalah SARA masih sangat
sensistif. Meski media sosial (medsos) dapat dijadikan kambing hitam
seakanakan jadi penyebab konflik sosial, medsos hanya faktor sekunder sebagai
alat yang bisa membawa maslahat ataupun mudarat. Bukan faktor utama.
Kenyataan yang terpampang
menunjukkan eskalasi dan mobilisasi serta pemanfaatan kemajemukan bangsa
sangat mudah menguat, memanas, dan menyulut konflik.
Bagai
Sekam Terpedam
Seperti titik api di hutan
gambut yang kering. Perajutan Bhineka Tunggal Ika hanya terucap dan untuk
penghibur rasa kesatuan saja. Kita semua telah paham potensi konflik di
Indonesia makin beragam. Walaupun hari-hari ini tampak reda, potensi konflik
sosial ini bagaikan sekam yang terpendam.
Tentu para petinggi negara
tidak salah mengidentifikasi, tidak terburu merumuskan dugaan. Sebab,
manakala diteliti arus gerakan konflik memang didorong oleh sentimen
keagamaan dan etnis yang bisa menjadikan disintegrasi betulan bila terpicu
lagi di kemudian hari.
Memang pada hakikatnya
pergerakan sosial yang bermuatan SARA umumnya bertolak dari dua prinsip
ideologis. Pertama, prinsip esensial bermuatan persoalan politik dan ekonomi.
Kedua, prinsip substansial dalam banyak kasus di Indonesia bermuatan
persoalan agama dan etnis.
Ambil contoh lagi, catatan
dan fakta sejarah pada zaman kolonial Belanda, etnis Tionghoa dengan pribumi
(Islam) sering dikonfrontasikan. Sebagaimana yang terjadi di Kudus pada
Oktober 1918, saling bakar rumah dan bunuh.
Contoh lebih berat lagi
terjadi pada warga Tionghoa dalam peristiwa pembantaian warga Tionghoa oleh
pasukan kolonial Belanda pada 1740 sejak 9-22 Oktober di kota pelabuhan
Hindia Belanda, Batavia, sekarang Jakarta. Dalam peristiwa yang dikenal
sebagai Geger Pecinan atau Tragedi Angke itu warga Tionghoa dibrondong
serdadu Belanda.
Mengapa demikian, padahal
sebenarnya etnis Tionghoa telah masuk di Indonesia bersamaan dengan
berdirinya kerajaan Islam abad 15, yaitu ribuan anak buah Laksamana Cheng Hoo
yang kemudian menetap di wilayah Semarang, Jakarta, dan Cirebon yang bukan
kebetulan semua anak buah Cheng Hoo adalah muslim. Selanjutnya selama seabad
beranak-pinak di Pulau Jawa.
Baru setelah kedatangan
Kolonial Belanda etnis Tionghoa dibenturkan dengan pribumi setempat. Oleh
penguasa Hindia Belanda etnis Tionghoa sering dijadikan ”bemper” menghadapi
pribumi.
Inilah alasan mengapa
kemudian secara berangsur sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno,
komunitas Tionghoa muslim dan warga Tionghoa umumnya tetap diberi ruang gerak
kembali agar terjadi perekatan kebangsaan sesama warga Indonesia.
Sebetulnya warga keturunan
Tionghoa juga merasa nyaman berkumpul menjadi Indonesia. Hanya saja, tentu
membutuhkan penerimaaan sosial.
Dari berbagai studi
tentang kerusuhan dan sensitivitas etnis Tionghoa dapat dirangkum bahwa untuk
meredamkan gejala dan terjadinya konflik perlu upaya pembersamaan seperti
yang dilakukan Orde Baru, yaitu membentuk forum silaturahmi antaretnis, umat
beragama dan kepercayaan, kemudian melakukan internalisasi kebangsaan.
Sekali lagi, sesungguhnya
konflik SARA memang sengaja ditanamkan oleh Kolonial Belanda. Sebab, Belanda
tahu bahwa warga Tionghoa telah ”men-Jawa” sejak sebelum Belanda masuk
Nusantara.
Tetapi kemampuan Presiden
Joko Widodo yang telah belajar banyak dari para presiden sebelumnya tentu
bisa mengatasi ketegangan dalam sosial politik dan budaya saat ini, terutama
di seputar Pilkada 2018 sebentar lagi. Karena jauh sebelum menjadi Presiden,
dia adalah seorang humanis yang egaliter.
Meski demikian, yang agak
sulit bagi Joko Widodo adalah merajut dinamika politik 2019. Format politik
bisa berubah tentu diikuti dinamika baru yang acap tidak terduga sebelumnya.
Karena ada beberapa Partai Politik peserta baru dalam Pileg 2019 dalam
pergulatan politik memperebutkan kekuasaan. Wallahu’alam bishawab. ●
|
Dapatkan Penghasilan Tambahan Dengan Bermain Poker Online di www , SmsQQ , com
BalasHapusKeunggulan dari smsqq adalah
*Permainan 100% Fair Player vs Player - Terbukti!!!
*Proses Depo dan WD hanya 1-3 Menit Jika Bank Tidak Gangguan
*Minimal Deposit Hanya Rp 10.000
*Bonus Setiap Hari Dibagikan
*Bonus Turn Over 0,3% + 0,2%
*Bonus referral 10% + 10%
*Dilayani Customer Service yang Ramah dan Sopan 24 Jam NONSTOP
*Berkerja sama dengan 4 bank lokal antara lain : ( BCA-MANDIRI-BNI-BRI )
Jenis Permainan yang Disediakan ada 8 jenis :
Poker - BandarQ - DominoQQ - Capsa Susun - AduQ - Sakong - Bandar Poker - Bandar 66
Untuk Info Lebih Lanjut Dapat menghubungi Kami Di :
BBM: 2AD05265
WA: +855968010699
Skype: smsqqcom@gmail.com
bosku minat daftar langsung aja bosku^^
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus