Mencari
Permasalahan Dasar Penyebaran Hoaks
Nurudin ; Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM); Penulis buku Perkembangan Teknologi Komunikasi (2017)
|
DETIKNEWS,
15 Maret
2018
Kepolisian
Republik Indonesia sedang gencar-gencarnya mengatasi penyebaran informasi
yang mengarah ke hoaks. Bahkan Presiden Joko Widodo ikut cemas dan meminta
Kepolisian lebih tegas agar hoaks tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat.
Akhir-akhir ini, polisi baru berhasil menangkap sindikat yang diduga penyebar
hoaks seperti Muslim Cyber Army (MCA). Apakah MCA itu penyebar hoaks atau
bukan, siapa yang berada di balik kelompok itu, apa latar belakangnya
munculnya, hoaks jelas tidak baik bagi upaya membangun bangsa yang masih
tercabik-cabik ini.
Sekadar
menyebut data Survei Masyarakat Telematika (2018) terungkap, bahwa saluran
penyebaran hoaks melalui media sosial menduduki posisi paling tinggi (92,40
persen), jenis hoaks yang diterima berkaitan dengan tema sosial politik juga
menduduki posisi paling tinggi (91,80 persen) menyusul soal SARA, dan rentang
waktu responden menerima hoaks paling tinggi setiap hari (44,30 persen).
Sementara itu, bentuk hoaks yang sering diterima paling tinggi berbentuk
tulisan (62,10 persen), menyusul gambar (37,50 persen), dan video (0,40
persen).
Penyebab
Meskipun
imbauan demi imbauan terus dilakukan, hoaks tidak bisa dihapuskan. Ia hanya
bisa ditekan kemunculannya. Berkurang atau tidak informasi hoaks ini sangat
tergantung bagaimana cara pemerintah mengatasinya. Bukan berarti kita
pesimistis pada pemberantasan hoaks, namun jika pemberantasan hoaks itu
tebang pilih dan menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat hal itu akan
sangat susah dilakukan.
Kita
harus tetap optimistis bahwa pemerintah dengan alat negaranya mampu mengatasi
hoaks yang sudah kelewat batas. Hoaks membuat pemerintah juga tidak bisa
bekerja dengan baik karena terus terganggu, sementara harmonisasi dalam
masyarakat juga terancam.
Pertanyaan
kita kemudian adalah mengapa hoaks mendadak populer menjelang Pemilihan
Presiden (Pilpres) dan sangat sulit dihapuskan? Kita akan mencoba melihat
secara lebih detail sebab musababnya.
Pertama,
hoaks adalah gangguan dan bentuk perlawanan. Bagi pemerintah, hoaks jelas
gangguan karena akan dianggap sebagai penyebar kebencian. Pemerintah di mana
pun dan kapan pun akan menganggap segala ancaman pada kebijakannya akan
dianggap mengganggu. Kita bisa ambil contoh pada era Orde Baru (Orba). Setiap
perbedaan pendapat dari pemerintah akan dianggap sebagai rongrongan,
mengancam stabilitas, dan bahkan subversif. Jika orang atau kelompok
masyarakat sudah dituduh subversif, tak ada celah bagi mereka untuk
menghindar dari sanksi. Mengapa begitu? Karena pemerintah punya alat
kekuasaan untuk menekan dan mengatasi bentuk-bentuk yang dianggap merongrong
kewibawaan pemerintah itu.
Sementara
itu bagi masyarakat, hoaks muncul karena ada kebuntuan saluran komunikasi
politik di pemerintahan. Bisa juga karena adanya ketidaksukaan pada
kebijakan-kebijakan yang mereka anggap tidak memihak padanya. Bisa juga
dikatakan hoaks adalah cara masyarakat menyalurkan aspirasi. Hanya saja,
aspirasi yang dilakukannya penuh dengan kebencian dan cenderung satu arah
saja. Orang yang sudah benci, selamanya akan tak mampu untuk berbuat adil.
Tentu ini sudut pandang dari masyarakat yang menyebar hoaks.
Kedua,
hoaks adalah cermin dari orang-orang penakut dan tidak jantan. Sebenarnya,
dalam iklim demokratis saat ini kompetisi politik yang sehat diberikan dalam
ruang yang lebih luas. Orang bisa mengemukakan pendapatnya tanpa merasa
dihambat. Apalagi saat ini sudah banyak saluran komunikasi yang bisa
dijadikan alat penyaluran.
Namun
demikian, kebebasan penyaluran informasi itu membuka peluang orang
berkompetisi secara tidak sehat. Dalam hal ini, yang penting melawan. Jika
amunisi sudah habis dan seseorang atau kelompok tidak bisa bersaing secara
sehat sementara ia harus tetap melawan, hoaks sering menjadi senjata. Orang
dengan leluasa melawan mereka yang berbeda pendapat. Jika kita melihat
masyarakat, maka mereka akan melawan dengan cara apa saja yang penting
uneg-uneg tersalurkan. Bisa dikatakan, hoaks adalah perlawanan orang-orang
penakut. Lihat saja, banyak akun anonim yang bernada menghujat dan penyebar
hoaks.
Apakah
hoaks itu hanya melekat pada masyarakat? Pemerintah juga punya peluang
melakukan hoaks. Masalahnya selama ini kesan yang berkembang, hoaks itu
seolah hanya melekat pada masyarakat. Bahkan pemerintah bisa melakukan hoaks
dengan lebih baik karena punya alat negara.
Apakah
dengan begitu pemerintah itu hanya mau menangnya sendiri dan memandang sebelah
mata protes dari masyarakat? Nanti dulu. Bisa jadi hoaks tidak disebarkan
secara langsung oleh pemerintah tetapi oleh pendukung pemerintah. Pendukung
pemerintah juga bisa berasal dari masyarakat kebanyakan, bukan? Bisa jadi
karena tidak mau ada orang yang merongrongnya, atau sekadar reaksi karena ada
hoaks kontra pemerintah, maka mereka terpancing menyebarkan hoaks pro
pemerintah. Sehebat apapun mereka melawan hoaks, akibatnya mereka juga akan
terjebak untuk menyebarkan hoaks pula. Sementara itu, bisa jadi pemerintah
tidak tahu menahu bahwa hoaks juga berpotensi disebarkan oleh lingkaran
pendukung pemerintahan.
Ketiga,
hoaks muncul karena DPR mandul. DPR adalah lembaga legislatif atau wakil
rakyat untuk mengawasi kinerja eksekutif. Tentu saja, masyarakat sangat
berharap besar lembaga ini mampu menjadi wadah penyalur aspirasi. Namun yang
terjadi ternyata tidak seideal yang diinginkan masyarakat. DPR kita mandul.
Mandul ini bisa disebabkan karena mereka mementingkan dirinya sendiri, atau
karena sudah menikmati gelimang fasilitas.
Memang,
pemerintah di mana pun dan kapan pun berusaha untuk mempertahankan kekuasaan,
salah satunya bagaimana "menguasai" legislatif. Pembiaran konflik
yang selama ini terjadi di DPR tentu membuat pemerintah punya daya tawar
politis untuk terlibat. Harusnya DPR sebagai kekuasaan eksekutif punya
kekuasaan di atas legislatif namun dalam praktiknya, DPR di bawah kendali
eksekutif. Tak heran jika kita jadi ingat istilah pada zaman Orba di mana DPR
hanya jadi tukang stempel, tentu dengan kondisi yang berbeda.
Mengatasi
Mengatasi
hoaks memang tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan. Ada banyak tali
temali rumit yang menyertainya. Hoaks tidak bisa dihilangkan tetapi hanya
ditekan. Tidak bisa dipungkiri hoaks yang berkembang selama ini tidak saja
dampak dari perkembangan teknologi komunikasi tetapi juga perseteruan politik
sejak 2014. Sejak itulah ada polarisasi kuat antarkubu mendukung dan tak
mendukung kekuasaan politik. Antara mempertahankan dan menggugat dengan
selubung gengsi politik.
Hoaks
sangat mungkin cepat ditekan jika rasa keadilan dalam masyarakat bisa
ditegakkan. Ini tidak bermaksud bahwa selama ini pemerintah tidak adil.
Memang tidak mudah bisa memberikan kepuasan rasa adil ke semua lapisan
masyarakat. Mungkin karena harapan masyarakat terlalu tinggi pada pemerintah
waktu itu sementara penegakan hukum masih terkesan tebang pilih, apalagi
terhadap kepentingan politik pemerintahan sendiri.
Mengatasi
hoaks dengan menangkap pelaku memang penting. Tetapi meneliti dan mengatasi
sebab musabab semakin meningkatnya hoaks tak kalah pentingnya. Ini sama saja
saat kita mengatasi tindak kekerasan bukan hanya pada pelaku kekerasan tetapi
mengapa dan siapa yang menjadi penyebab tindak kekerasan itu. Meskipun tidak
popular tetapi ini cara yang mendasar untuk mengatasi keganasan penyebaran
hoaks.
●
|