Narkoba
dan Wacana Hukuman Mati
Allan Fatchan Gani Wardhana ; Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum
UII dan LPBH NU DIY
|
DETIKNEWS,
15 Maret
2018
Bulan Februari
yang lalu TNI Angkatan Laut berhasil menggagalkan penyelundupan narkoba
berjenis sabu-sabu seberat lebih dari satu ton. Jumlah yang fantastis dan
diyakini cukup untuk merusak generasi bangsa. Fakta tersebut sekaligus
mengkonfirmasi data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menempatkan
Indonesia sebagai pangsa pasar terbesar peredaran narkoba di kawasan ASEAN.
Tingginya
intensitas kejahatan narkoba ke dalam negeri tentu menjadi perhatian.
Sepanjang 2017, BNN mencatat, 58.365 orang ditangkap dan dijadikan tersangka.
Sementara itu, 79 orang ditembak hingga tewas akibat melakukan perlawanan.
Pada 2017 pula, BNN mencatat ada 46.537 kasus narkoba dan 27 kasus yang
terkait dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Terhadap
kasus di atas, muncul kembali dorongan kepada Jaksa Agung untuk melanjutkan
eksekusi hukuman mati gelombang ke-IV bagi terpidana kasus narkoba. Adapun
selama pemerintahan Joko Widodo, telah dilakukan eksekusi mati sebanyak tiga
gelombang. Gelombang pertama 6 (enam) terpidana dieksekusi mati (Januari
2015), gelombang kedua 8 (delapan) terpidana (April 2015), dan gelombang
ketiga 4 (empat) terpidana (Juli 2016). Dorongan untuk menerapkan hukuman
mati tersebut didasarkan atas alasan bahwa kejahatan narkoba merupakan
kejahatan luar biasa (extraordinary
crimes) yang harus diperangi.
Alasan
lain, hukuman mati diterapkan sebagai pesan kepada semua sindikat narkoba
agar jangan menganggap remeh ketegasan yang melekat pada sistem hukum
Indonesia. Wacana melanjutkan eksekusi mati ini selalu menarik karena selalu
menimbulkan pro dan kontra yang tidak pernah ada ujungnya.
Dua Pertanyaan
Pertanyaan
yang sering mengemuka terkait wacana hukuman mati ialah apakah penerapan
hukuman tersebut mempunyai legalitas? Kedua, apakah penerapan hukuman mati
efektif untuk memberantas narkoba dan mengurangi tingkat kejahatan?
Pertama,
terkait legalitas, MK melalui Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 memutuskan bahwa
hukuman mati itu memiliki keabsahan dan tidak bertentangan dengan HAM serta
UUD 1945. Selain itu, instrumen hukum internasional yang berupa International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)/ Kovenan Internasional Hak-hak
Sipil dan Politik tidaklah melarang negara-negara anggota untuk memberlakukan
pidana mati meskipun penerapannya dibatasi "terhadap kejahatan-kejahatan
yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya
kejahatan tersebut (the most serious
crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of
the crime)."
Dengan
demikian, dari sudut pandang ICCPR, negara-negara anggota diperbolehkan
memberlakukan hukuman mati dalam UU nasionalnya. Hal ini juga didukung oleh
ketentuan Pasal 3 ayat (6) Konvensi Narkotika dan Psikotropika yang pada
intinya mempersilakan negara anggota dapat memaksimalkan efektivitas
penegakan hukum dalam kaitan dengan tindak pidana yang berkaitan dengan
narkoba dengan memperhatikan kebutuhan untuk mencegah kejahatan dimaksud.
Saat ini Indonesia sudah memiliki UU 35/2009 tentang Narkotika yang di
dalamnya terdapat sanksi hukuman mati. Artinya, penerapan hukuman mati
memiliki legalitas.
Kedua,
untuk menjawab efektivitas hukuman mati, tentu ini merupakan perdebatan
panjang. Singapura menerapkan hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba dan
faktanya berhasil menekan angka peredaran narkoba. Iran yang juga
memberlakukan hukuman mati, menyatakan bahwa penerapan hukuman mati terkait
kedaulatan hukum di mana negara memiliki peraturan tersendiri untuk memerangi
kejahatan. Adapun China juga sangat tegas menghukum para bandar narkoba di
negaranya hingga membuat para penjahat selalu berpikir ulang untuk melakukan
kejahatan. Beberapa negara yang menerapkan hukuman mati lebih mengutamakan
kedaulatan hukum serta melindungi keselamatan rakyatnya daripada membiarkan
kejahatan narkoba merajalela.
Di
Indonesia sampat saat ini hukuman mati masih dilaksanakan. Terkait
efektivitas penerapannya, belum terdapat data konkret apakah hukuman mati itu
efektif atau tidak untuk mengurangi kejahatan sekaligus menekan peredaran
narkoba. Meski begitu, bagaimanapun hukuman mati haruslah dipahami sebagai
upaya untuk menegakkan keadilan. Di mana, keadilan yang harus ditegakkan
berdasar atas hukum itu tidak boleh hanya didasarkan atas perspektif
"pelaku kejahatan" akan tetapi yang jauh lebih penting juga melihat
perspektif "korban serta keluarga korban" akibat kejahatan narkoba.
Kejahatan
narkoba merupakan kejahatan yang secara langsung maupun tidak langsung
menyerang hak untuk hidup (right to life) dan hak atas kehidupan (right of
life). Oleh karena itu kejahatan narkoba tergolong sebagai kejahatan luar
biasa (extraordinary crime). Terhadap kejahatan luar biasa tentu saja cara
mengatasinya juga harus dengan cara yang luar biasa, salah satunya melalui
hukuman mati. Hasil survei nasional Indo Barometer pada Maret 2015 mengungkap
bahwa mayoritas publik Indonesia atau sekitar 84,1 persen menyatakan setuju
dengan hukuman mati yang diberikan kepada pengedar narkoba.
Saat
ini kalaupun Indonesia masih mempertahankan hukuman mati bukankah itu harus
dihargai sebagai bentuk kedaulatan hukum dalam memerangi kejahatan narkoba?
Hukuman mati memiliki legalitas baik di level nasional maupun internasional,
dan sekali lagi bahwa penerapannya haruslah dimaknai sebagai ikhtiar untuk
memerangi dan memberantas kejahatan narkoba. Tentu saja itu bukan
satu-satunya cara, karena memerangi dan memberantas narkoba merupakan ikhtiar
akbar seluruh elemen. ●
|
GAME SERU
BalasHapusAPLIKASI BARU
GAME ONLINE
GAME FAVORITE
GAME KEKINIAN
APLIKASI KEKINIAN