Hidayah
Datang via Televisi di Pos Ronda Kami
Iqbal Aji Daryono ; Esais, tinggal di Bantul
|
DETIKNEWS,
13 Maret
2018
Selepas
pulang dari rantau tiga bulan lalu, saya aktif lagi ikut ronda di kampung.
Ini menyenangkan. Sebab gardu ronda kami sudah berubah drastis, berbeda
dengan dulu waktu saya tinggalkan. Gardu bekas posko PDIP yang didirikan
menjelang ribut-ribut Kudatuli 1996 itu kini mencapai puncak metamorfosisnya.
Dimulai dari gardu kecil berbahan bambu bercat merah bergambar banteng
moncong putih, berkembang menjadi bangunan permanen dengan cor semen seadanya
tanpa banteng, dan kini sudah diperluas dengan tiang-tiang kokoh dan lantai
keramik putih berkilat.
Selain
dilengkapi dengan gudang tempat menyimpan segala perkakas makan-minum, juga
papan besar berisi daftar nama petugas jaga saban malamnya, ada satu lagi
elemen baru yang menjadi puncak penanda kejayaan pos ronda kami: sebuah
pesawat televisi yang ditanam di salah satu sisi dindingnya.
Dengan
tivi itu, kami bisa betah nongkrong hingga tengah malam. Jangan ditanya soal
tugas pengawasan keliling kampung sampai dini hari. Toh ronda zaman now
isinya cuma nongkrong bersama, jalan berkeliling cuma untuk mengambili
jimpitan dua ratus perak di pintu tiap rumah warga, dan intinya ya menjaga
frekuensi pergaulan yang sehat dengan para tetangga.
Karena
jadwal ronda saya Sabtu malam alias malam Minggu, tak urung tontonan yang
diputar rutin di tivi gardu adalah acara tarung bebas yang ditayangkan Tivi
Wan.
"Mas,
nanti Ahong main lho, Mas! Jangan telat datangnya!" beberapa kali Pak
Mugiharjo berpesan begitu, jika kebetulan Sabtu sore berpapasan dengan rekan
satu tim ronda. Ahong alias Rudy Gunawan, petarung yang jago jiujitsu itu memang
sedang nge-hits. Malam Minggu kemarin dia menjungkalkan lawannya cuma dalam
30 detik.
Dengan
hobi baru kami menonton orang berkelahi, ternyata muncul dua hal positif.
Pertama,
lenyap sudah hobi lama, yakni ngobrol politik. Dulu ketika tempat ronda masih
bergiliran dari rumah ke rumah, rata-rata tuan rumah menyediakan teras
mereka. Karena tak ada tivi di teras, yang dilakukan ya cuma ngobrol. Ya,
mengobrol sih baik. Namun sialnya, entah kenapa sejak 2014 setiap obrolan
ujung-ujungnya selalu lari ke politik. Nah, kalau sudah ngomong politik, yang
ada cuma keluhan, umpatan, dan ratapan sebagai orang-orang kecil yang tak
bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan akrobat para elite. Syukurlah, Ahong
Rudy Gunawan berhasil menendang nama-nama politisi dan menyelamatkan
malam-malam kami.
Kedua,
dengan melihat orang bertarung bebas, kami menyadari satu hal sederhana.
Begini. Beberapa kali, sembari menyaksikan pukulan dan pitingan dari para
tukang berkelahi bayaran itu, muncul kalimat-kalimat lugu.
"Wah,
ternyata sehebat-hebatnya orang latihan beladiri, cara berantemnya nggak trus
bisa kayak Jet Li ya," begitu satu suara bergumam.
"Wo
ya enggaaak! Itu kan cuma di film to, Pak. Kalau di film ya bisa ciat-ciat
keren. Kalau di gelut betulan nggak bakal bisa begituan," sahut Mas
Dayat yang memang punya jam terbang tinggi dalam keributan jalanan itu.
"Lho
saya juga tahu kalau di film cuma setingan, Mas. Tapi kan minimal tetap ada
mirip-miripnya sedikit dengan berantem beneran, gitu lho. Ini kok jauh ya?
Langsung bat-bet gitu aja. Padahal kan orang-orang itu latihan beladirinya
mati-matian...."
Yang
lain pada tertawa. Saya sendiri sambil ikut terkekeh ingin menimpali dengan
mengutip pemikir post-strukturalis Jean Baudrillard, berikut konsep
hiperrealitas, simulacra, dan cyberblitz-nya. Tentu biar saya dikagumi
orang-orang kampung, dianggap arif bijaksana, dan dilihat sebagai
pengangguran yang punya setumpuk wawasan.
Untung
lekas-lekas saya urungkan niat saya meski bibir ini mulai terbuka. Jelas,
suasana pasti mendadak garing kalau saya mengigau sendirian dengan tema
sekolahan yang sok-sokan sophisticated, dan bisa-bisa setelah itu sampai
kiamat orang sekampung pada malas ngobrol sama saya.
Maka
saya memilih diam. Sambil nyeruput teh anget dan menggigit sepotong bakwan,
saya bersyukur bahwa grup ronda kami menemukan pencerahan yang nyata. Ya,
bahwa realitas acapkali berbeda jauh dengan tayangan di televisi dan
internet!
***
Ini
tampaknya sepele saja. Tapi kita kerap kali tidak menyadarinya. Bukan cuma
soal orang berkelahi di jalanan atau di ring MMA, namun juga tentang
soal-soal lainnya.
Beberapa
pekan sebelumnya, saat nongkrong di warung sate Okarjo sebelah Polda DIY,
saya beruntung bisa nimbrung bercakap dengan seorang petugas polisi. Pak
Polisi ini bercerita tentang bagaimana mereka memantau gerak-gerik teroris
yang sempat mengancam Jogja (tentu tidak boleh saya bagi secara rinci di
sini). Yang jelas dia bercerita, pada momen-momen tertentu polisi nyaris tidak
pernah tidur, selalu penuh ketegangan, dan apabila teror akhirnya terjadi
mereka pun mendapat nilai merah dari korps.
Namun
publik seringkali tak percaya. "Mereka bilang ini rekayasa. Itu
rekayasa. Kadang kalau pas hati saya kotor ya Mas, ingin rasanya bom itu
langsung saja mengenai orang-orang itu. Barulah mereka bakal percaya."
Pak Polisi mengomel sebentar meski kemudian menyusulkan istigfar.
Obrolan
berlanjut ke, lagi-lagi, imajinasi publik atas realitas. Ketika sebuah aksi
penggerebekan teroris ditayangkan langsung oleh stasiun televisi, banyak
orang mencibir. Mereka bilang polisi penakut, nggak bisa merangsek ke jantung
pertahanan. Saya sendiri mendengar gerutuan seperti itu waktu polisi berbaku
tembak dengan teroris di sekitar Solo, bertahun-tahun silam. Saya lupa siapa
nama tokohnya.
Waktu
itu, banyak orang mengejek, "Lha kok ngumpet sambil bawa cermin gitu
nembaknya? Kenapa nggak dijebol saja pintunya, terus masuk langsung dan
nangkap terorisnya? Nanti ujung-ujungnya mati lagi mati lagi."
Nah,
di sini masalahnya. Agaknya orang-orang itu lupa, bahwa aksi-aksi
penggerebekan atas para penjahat bersenjata yang mereka tonton selama ini
merupakan adegan-adegan di film Hollywood belaka. Maka mereka pun
membayangkan menggerebek penjahat itu mudah. Tinggal bikin formasi, serdadu
paling depan menendang pintu, serdadu belakangnya masuk menerjang sambil
menembakkan pistol, dan menembaknya pun bisa persis di tangan penjahat yang
menggenggam granat. Hahaha!
Begitulah
realitas semu. Betapa amburadulnya percampuran antara kenyataan, fiksi,
imajinasi, dan emosi komunal. Dari situasi terjebak semacam itu, tumbuhlah
ketidakpercayaan sekaligus keterkejutan atas terlalu banyak hal.
Salah
satu produk yang dihasilkan dari kekacauan dalam mencerna realitas itu rasanya
tampak juga saat ribut-ribut cadar beberapa hari terakhir. Banyak orang
bilang para perempuan bercadar menimbulkan rasa tak aman. Bisa-bisa ada
sesuatu yang berbahaya di balik cadar para perempuan itu, kata mereka. Tentu
yang mereka maksud adalah, mmm, senjata. Atau bom!
Lah,
lucunya, kalau diperiksa dari kasus-kasus terorisme di Indonesia, setahu saya
para bomber malah cuma pakai kaos oblong dan celana jins. Lalu dari mana
referensi mereka atas hubungan mesra antara cadar dan bom? Dari berita-berita
tentang Boko Haram nun jauh di sana, atau dari film Amerika semacam American
Sniper-nya Clint Eastwood?
***
Sungguh,
ada banyak hal lain yang bisa kita cerna pelan-pelan, terkait kegagalan demi
kegagalan kita dalam memilah antara realitas dan fiksi.
Ada
satu contoh yang pasti lebih dekat dengan diri kita sendiri, yakni kisah lama
tentang seorang motivator hebat yang hidupnya sempurna. Ketika belakangan
terbongkar bahwa ia "membuang" anak kandungnya, publik pun kaget
berjamaah. Yang lebih bikin terhenyak lagi adalah kenyataan bahwa selama ini
kita menjadikan kehidupan-harmonis-palsu Sang Motivator sebagai acuan hidup
yang pakem. Kita mengira kehidupan seperti itulah yang secara masuk akal bisa
berjalan di keluarga-keluarga lainnya, bahwa jutaan rumah tangga lain
berhasil mengikuti kondisi ideal sebagaimana keluarga Sang Motivator.
Akibatnya
mengerikan. Di saat kita sendiri mengalami problem agak serius di keluarga
kita, yang kita rasakan adalah perasaan terpuruk yang berlebihan! Kita merasa
nista, porak-poranda, tak punya harapan lagi dalam melanjutkan rumah tangga,
dan merasa diri sebagai makhluk tak berguna. Padahal yang terjadi
sesungguhnya: problem yang kita hadapi itu lazim saja, terjadi juga pada keluarga-keluarga
lainnya, dan kita sendiri tak buruk-buruk amat sebagai manusia.
Lalu
ada berapa rumah tangga yang telanjur berputus asa karena gagal mengikuti
nilai-ideal-tapi-palsu dari Sang Motivator?
Ah,
sudahlah. Yang sudah ya sudah. Saya cuma berharap bapak-bapak rekan satu grup
ronda saya terus menonton Ahong Rudy Gunawan. Semakin mereka menyadari bahwa
realitas tak seindah fiksi, semakin mereka siap dalam menghadapi Pemilu dan
Pilpres nanti.
Tahun
depan akan dihelat puncak parade kebohongan dari televisi yang berkongsi
dengan para politisi. Berbekal kesadaran akan realitas semu, tanpa harus
membaca Baudrillard pun bapak-bapak tim ronda malam Minggu sudah pada tahu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar