NU
dan Tantangan Krisis Lingkungan
Muhammadun ; Sekretaris Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) PWNU
DI Yogyakarta; Pengajar STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
31 Januari
2018
31 Januari 2018, Nahdlatul Ulama (NU)
merayakan hari lahir ke-92. NU berdiri dalam pondasi yang kuat nan kokoh,
kemudian dibasuh dengan gerak kesejarahan yang heroik. Kini, tanggung jawab
NU dalam membangun peradaban Indonesia dan dunia tidak sebagaimana awal
berdirinya. Usia menjelang seabad ini, NU harus berani bersuara dan membela
dengan nyata berbagai ketidakadilan global. Basis karakter Islam Nusantara
yang dimiliki NU sudah sangat tepat untuk peradaban Indonesia dan dunia.
Tetapi aksi nyata NU dalam mengisi peradaban harus dilakukan dengan etos
moderat, inklusif, toleran, dan kasih sayang.
Salah satu persoalan serius yang harus
disikapi dengan kuat nan kokoh dari NU adalah menjaga lingkungan hidup secara
menyeluruh. KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) sudah menyerukan dan bergerak dengan
aksi nyata kepada bangsa ini untuk menjaga lingkungan hidup dengan membangun
planning yang tepat, juga disertai dengan kebijaksanaan. Kalau sesuatu itu
merusak lingkungan, ya tidak boleh.
Semua komponen NU, baik struktural maupun
kultural, harus secara masif bergerak mengawal masa depan lingkungan hidup
yang makin tergerus. Ragam bencana sudah menjadi saksi bahwa arah jihad
lingkungan harus terus disuarakan dan diperjuangkan dengan sepenuhnya.
Muktamar
1994
Jihad menjaga dan melestarikan lingkungan
hidup sebenarnya sudah disuarakan NU dalam keputusan Muktamar ke-29 di
Cipasung Tasikmalaya tahun 1994. Dalam Muktamar itu diputuskan bahwa
pencemaran lingkungan, baik udara, air maupun tanah, apabila menimbulkan
dlarar (kerusakan), maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal
(jinayat).
Muktamar yang digelar di pesantren asuhan
KH Ilyas Ruhiyat (Rais Aam PBNU, 1992-1999) ini merupakan bukti keteguhan NU
yang berani lantang berjihad menjaga lingkungan hidup. Keputusan Muktamar ini
bukan saja menetapkan hukum haram, tetapi juga mengategorikan sebagai
kriminal, alias masuk juga dalam ranah hukum positif. Dengan begitu, merusak
lingkungan bukan saja mendapatkan stempel "haram" dari agama,
tetapi harus mendapatkan "hukuman" yang setimpal dari negara.
Pada 23 Juli 2007, PBNU juga kembali
menegaskan melalui Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup (GNHLN)
yang memutuskan bahwa pemerintah dan rakyat wajib bersikap dan bertindak
secara nyata dalam melenyapkan usaha-usaha perusakan hutan, lingkungan hidup
dan kawasan pemukiman, memberangus penyakit sosial kemasyarakatan, demi
keutuhan NKRI. Secara khusus, PBNU mengajar warga NU dan rakyat Indonesia
jihad melestarikan lingkungan (jihad bi'ah) dengan tetap berpedoman pada kaidah
tasawuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan amar ma'ruf
nahi munkar. Semua ini sebagai bentuk cinta Tanah Air dan menjaga jati diri
bangsa tercinta.
Teladan nyata sebenarnya sudah dipraktikkan
oleh KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU, dalam menjaga lingkungan hidup. Dalam
sejarah hidupnya, Kiai Hasyim sangat gemar bercocok tanam serta menganjurkan
warga NU dan masyarakat untuk bercocok tanam. Bagi Kiai Hasyim, cocok tanam
adalah pekerjaan yang sangat mulia. Walaupun tidak secara verbal bicara
lingkungan hidup, tetapi gerakan nyata Kiai Hasyim sangat jelas sebagai wujud
komitmennya dalam menjaga lingkungan hidup sekaligus sebagai lahan
penghidupan warga. Dengan bercocok tanam, Kiai Hasyim dan para santrinya bisa
mandiri, bisa membantu sesama, sekaligus menjaga kelestarian alam.
Keteladanan yang sama dijalankan KH. Sahal
Mahfudh, Rais Aam PBNU 1999-2014. Bagi Kiai Sahal (1988), keseimbangan dan
kelestarian lingkungan hidup –bahkan seluruh aspek kehidupan manusia-
merupakan kunci kesejahteraan. Kenyataan di mana-mana menunjukkan lingkungan
hidup mulai tergeser dari keseimbangannya. Ini akibat dari kecenderungan
untuk cepat mencapai kepuasan lahiriah, tanpa mempertimbangkan disiplin
sosial, dan tanpa memperhitungkan antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi di masa depan yang akan menyulitkan generasi berikutnya.
Bagi Kiai Sahal, pesantren harus hadir
secara nyata bagi kelestarian lingkungan hidup. Karena hidup bersama dengan
denyut nadi masyarakat, pesantren tak boleh abai dengan kondisi
lingkungannya. Pesantren harus bertanggung jawab dengan meningkatkan
pribadinya untuk memusatkan dirinya pada pewarisan bumi (alam) dalam rangka
ibadah yang sempurna.
Hidup
Sederhana
Perjuangan pertama-tama yang harus
dilakukan dalam jihad melestarikan lingkungan, bagi Gus Mus, adalah hidup
sederhana. Hidup berlebih-lebihan adalah pangkal utama kerusakan, termasuk
dalam lingkungan hidup. Ini ditujukan buat semuanya, ya warga NU, para
pejabat, dan seluruh komponen bangsa. Hidup sederhana inilah salah satu
rumusan sangat penting agar NU kokoh berdiri, NU yang disegani.
Jihad lingkungan hidup ini sangat terkait
dengan kesejahteraan warga, sebagaimana dinyatakan Kiai Sahal Mahfudh. Inilah
kerja politik yang sangat dinantikan bangsa. Memperjuangkan tatanan
lingkungan yang lebih baik berdasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan, seperti
sikap toleran, moderat, menjaga ukuwah insaniah dan keseimbangan juga harus
diperjuangkan secara politik. Berpolitik dalam pengertian ini adalah
berpolitik untuk memperjuangkan nilai ke-NU-an dengan prinsip ke-Aswaja-an.
Bukan berpolitik untuk mencari kekuasaan atau menduduki berbagai bagian besar
dari lembaga negara yang kehilangan perjuangan terhadap nilai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar