Tantangan
Masalah Kesehatan Papua
Yanuar Nugroho ; Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI
|
TEMPO.CO,
31 Januari
2018
Kejadian luar biasa (KLB) campak dan
masalah gizi buruk yang dialami sebagian warga Suku Asmat, Papua, memakan
korban jiwa. Selama September 2017 hingga 28 Januari 2018, sebanyak 71 anak
meninggal dunia, 646 anak terjangkit campak, dan 218 anak menderita gizi
buruk. Pemerintah bertindak segera dengan membentuk satuan tugas (satgas)
kesehatan.
Dari berbagai faktor penyebab KLB campak di
Asmat, setidaknya dapat diidentifikasi tiga masalah: (1) cakupan imunisasi
dasar yang kurang dengan rata-rata hanya sekitar 20 persen, (2) tenaga
kesehatan yang tidak terdistribusi dengan baik, dan (3) gizi buruk. Dari 23
distrik di Kabupaten Asmat, ada 13 puskesmas utama dan tiga puskesmas
pembantu yang dilayani tujuh dokter. Jarak antar-puskesmas bisa memakan waktu
tempuh berjam-jam dan bahkan berpuluh-puluh jam dengan biaya yang tidak
murah. Sedangkan gizi buruk di wilayah yang terkena dampak, sebanyak 30,3
persen mengalami masalah berat badan kurang (underweight) dan 25,9 persen
pertumbuhan terhambat (stunting).
Jika dilihat lebih jauh, akar dari masalah
ini adalah (1) akses dan ketersediaan pangan, (2) sanitasi dan fasilitas air
bersih yang tidak memadai, (3) akses transportasi yang amat mahal atau bahkan
tidak tersedia sama sekali, (4) akses dan infrastruktur informasi yang sangat
minim, serta (5) pola hidup dan pola asuh yang kurang sehat.
KLB memang perlu penanganan secara cepat
dan efisien. Pemerintah telah menetapkan delapan wilayah penanganan, seperti
distrik Sawa Ema, Pulau Tiga, dan Pantai Kasuari. Untuk memperkuat tenaga
medis, satgas telah menghimpun tambahan tenaga medis sebanyak 70 orang dari
TNI, 15 orang dari Polri, 45 orang dari pemerintah pusat, dan 40 orang dari
pemerintah daerah.
Mengingat cakupan persoalan yang relatif
dalam dan kompleks, koordinasi di pemerintahan juga melibatkan
kementerian/lembaga yang lebih luas. Misalnya, selain memaksimalkan sarana
transportasi milik Pemerintah Daerah Asmat, TNI dan Kementerian Perhubungan
membantu akses transportasi darat, laut, ataupun udara. Hambatan-hambatan
birokrasi harus diterobos dan distribusi sumber daya, termasuk keuangan,
harus efektif dan efisien sesuai dengan kondisi di lapangan. Jika tidak,
operasi ini tidak akan bertahan lama.
Masalah kesehatan di Asmat ini bisa jadi
hanya puncak gunung es. Hal yang sama amat mungkin terjadi di
kabupaten-kabupaten lain di Papua. Stunting, misalnya, mengancam wilayah
lain, seperti Tolikara, Nduga, Intan Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya, dan
Dogiyai. Wilayah-wilayah lain dengan indeks pembangunan kesehatan
masyarakatnya yang masih rendah berpotensi terancam penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi, seperti Pegunungan Bintang, Yahukimo, Paniai, Waropen,
Supiori, Yalimo, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, dan Puncak Jaya.
Data status kesehatan yang menjadi pijakan
perkiraan ini sudah tersedia sejak sebelum 2015. Mengapa kasus di Asmat tidak
dapat diantisipasi? Yang lebih mendasar: anggaran yang digelontorkan untuk
Papua dan Papua Barat sekitar Rp 60-80 triliun per tahun. Mengapa pembangunan
manusianya, yang hanya berjumlah 4 juta jiwa, tidak mencapai kualitas yang
diharapkan?
Kondisi geografis yang sulit dijangkau,
akses informasi yang amat terbatas, rendahnya infrastruktur dasar, serta
minimnya tenaga lapangan yang mampu menjangkau hunian warga adalah satu sebab
yang sudah lama diketahui dan memang tidak mudah ditangani. Pada periode ini,
pemerintah telah berusaha keras mengatasinya dengan jalan membuka
keterisolasian melalui pembangunan infrastruktur hingga menyalurkan berbagai
jaminan sosial. Tapi tidak semua berjalan semulus yang diharapkan.
Untuk itu, kuncinya adalah meningkatkan
kapasitas pemerintah daerah dalam merencanakan, melaksanakan, dan
mengendalikan program pembangunan. Pemerintah daerah tidak boleh abai pada
detail yang justru amat penting, seperti jumlah puskesmas, fasilitas umum,
guru, dokter dan bidan. Semua tantangan ini-alam, manusia, dan tata kelola
pemerintahan-perlu ditanggapi dalam jangka pendek ataupun dirumuskan
kebijakannya dalam jangka menengah dan panjang.
Karena itu, selain pendekatan jangka pendek
dalam penanganan krisis saat ini, dalam intervensi jangka menengah dan
panjang tumpuannya adalah peningkatan kualitas, ketersediaan tenaga medis,
dan penciptaan ketahanan pangan yang berbasis pada pola hidup masyarakat.
Yang lebih penting lagi adalah pendampingan pemerintah daerah dalam pelayanan
publik, termasuk pelayanan kesehatan. Kementerian/lembaga harus mendampingi
mereka dalam jangka tertentu, misalnya 3-5 tahun, hingga mereka mampu
mengelola pelayanan publik dengan standar yang baik.
Persoalan kesehatan di Papua telah
menyentak kita. Tapi hal ini juga menjadi kesempatan bagi semua pihak,
khususnya pemerintah pusat dan daerah, untuk berbenah. Presiden Jokowi secara
terbuka telah menyatakan masalah ini tidak perlu ditutup-tutupi. Hal tersebut
akan membuka ruang partisipasi dan koreksi dalam pelaksanaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar