Homogenisasi
Logika Politik
Pamungkas A Dewanto ; Mahasiswa S-3 Antropologi Sosial
Vrije Universiteit, Amsterdam
|
KOMPAS,
12 Februari
2018
Dalam setengah tahun
terakhir ini saya menghabiskan waktu untuk berkeliling dari satu desa ke desa
yang lain di Jawa, Madura, dan Lombok. Walaupun tiap manusia di daerah
memiliki latar belakang kultur, demografi, ekologi, dan kapasitas kognitif
yang berbeda, saya menemukan satu kesamaan di antara mereka, terutama dalam
hal politik.
Dalam setiap persinggahan,
saya merasakan betapa antusiasnya masyarakat setempat membahas kompetisi para
pemimpin dari tingkat pusat hingga desa. Dari percakapan dengan mereka, saya
menemukan terjadinya homogenisasi dalam ruang politik di level daerah, hal
ini khususnya tecermin dari ajang penjaringan pemimpin daerah.
Politik
uang dan pragmatisme
Setelah reformasi
bergulir, Indonesia memang mengalami transformasi politik yang ekstrem.
Berangkat dari masyarakat yang dikekang dan diteror oleh ”hantu kuning”
Golkar, tiba-tiba masyarakat dihadapkan pada sistem demokrasi elektoral yang
mutakhir. Secara bersamaan, masyarakat meneriakkan kampanye anti-KKN
(korupsi, kolusi, dan nepotisme) sembari, misalnya, melakukan deal untuk
mendapat proyek tertentu, atau untuk memasukkan anak ke suatu sekolah
kedinasan. Masyarakat dengan riang menyambut Indonesia bebas KKN, riang hanya
karena KKN kini bukan hanya milik Presiden Soeharto dan kroninya.
Yang saya ingin soroti
adalah proses politik yang terjadi di tingkat kabupaten hingga desa. Dinamika
perpolitikan di tingkat ini memang tidak semenarik Pilkada DKI Jakarta. Di
daerah, saya melihat bagaimana masyarakat kita tergiring dalam melazimkan
proses politik yang melulu soal akses terhadap kapital.
Di balik antusiasme
terhadap politik lokal, masyarakat kita menyimpan pragmatisme yang tinggi.
Dalam menentukan pilihan, sebagian besar tak berpikir panjang. Alasannya
sederhana, mereka yang terpilih bahkan tidak pernah datang atau sekadar menyapa
lagi. Di samping itu, tidak banyak yang diperbuat oleh para
politisi/pemerintah lokal.
Petani salak di
Banjarnegara, misalnya, harus memutar otak sendiri menyiasati harga yang
terus turun karena inovasi pertanian tak dipicu oleh para pengambil kebijakan.
Pada akhirnya, masyarakat cenderung jadi utilitarian dengan menyedot sebanyak
mungkin keuntungan sesaat dari para calon ataupun juru kampanye yang
berkeliaran di desa dalam bentuk politik uang.
Tak hanya dalam tataran
masyarakat umum, gejala yang sama juga tampak dari aktivis politik di tingkat
daerah. Dengan pragmatisme, kader partai politik jadi terpecah belah,
sekalipun dalam satu partai. Banyak di antara para kader yang memulai karier
dari nol, berkiprah di level kecamatan hingga kabupaten, justru tidak dapat
dukungan dari pimpinan partai di Jakarta. Pimpinan partai justru merestui
calon yang tidak dikehendaki oleh kader dan masyarakat di daerahnya.
Alih-alih jadi corong
aspirasi rakyat yang semestinya mementingkan proses politik yang bottom-up, parpol
di daerah justru jadi corong para elite dari pusat. Hal ini tidak hanya
membingungkan, tetapi juga mengukuhkan hipotesis akan semakin hilangnya
fungsi partai politik sebagai penyalur aspirasi rakyat.
Milik
penguasa modal
Dalam fragmentasi semacam itu,
ada kecenderungan masyarakat memiliki logika politik yang seragam, di
antaranya kecenderungan publik mengutamakan faktor ”individu” atau ”figur”.
Tak ada yang salah dengan figur. Hanya saja, kita tak pernah memiliki
kejelasan akan kriteria apa saja yang membuat individu itu layak jadi
pemimpin. Pun parpol yang telah muluk-muluk menjajakan ideologi pada akhirnya
hanyalah pengepul kelas kakap individu-individu yang belum jelas visi dan
misinya, tetapi memiliki modal kapital yang kuat.
Celakanya, kecenderungan
yang ada saat ini justru mengarah pada penyeragaman dalam pola menjaring
suara yang bersifat transaksional. Sudah jadi rahasia umum bahwa di beberapa
daerah politik uang telah jadi praktik yang lumrah meski secara bersamaan
juga dianggap tabu. Di banyak desa yang saya singgahi, belum pernah mendengar
seorang calon lurah atau kepala desa menghabiskan dana kurang dari Rp 150
juta untuk meraih suara. Fenomena ini tidak terbatas dalam kursi
pemerintahan, tetapi juga untuk mengisi posisi penting dalam struktur partai
politik di daerah.
Karena tingginya ongkos
kapital dalam politik, pemilu menjadi ajang yang mewah. Akibatnya, hanya para
”pemenang ekonomi” yang dapat merayakannya. Di pusat, figur-figur mendirikan
partai politik. Di daerah, kebutuhan politik kapital menjadi stimulus bagi
elite pebisnis lokal untuk mereplikasi relasi kapitalistis sistem pasar bebas
(dalam kasus lain, lihat Tania Li, 2014: 8) bak di kota-kota besar. Akhirnya,
menjadi lumrah mendapati para pemimpin politik/pemerintahan dekat/berasal
dari kalangan elite penguasa modal.
Ironisnya, praktik ini
telah menghancurkan kriteria kepemimpinan yang sederhananya dapat ditemukan
dalam pelajaran kewarganegaraan di sekolah-sekolah kita: berkepribadian,
berilmu pengetahuan, tidak mementingkan kepentingan golongan, keterbukaan
berpikir, patriotisme, berbudaya, memiliki jiwa kepemimpinan, dan sebagainya.
Perbedaan antara naskah pembelajaran dan praktik akan mencetak generasi
penerus yang hilang kepercayaan terhadap sistem perpolitikan/pemerintahan.
Pada akhirnya sistem ini mencetak homogenitas dalam logika berpolitik, di
mana pemenang ekonomi adalah pintu gerbang kekuasaan.
Dengan homogenisasi logika
politik, masyarakat telah banyak yang meninggalkan tradisi berpikir dan
menuju pragmatisme politik yang menguntungkan para elite semata. Sebagai
penutup, saya teruskan ungkapan dari seorang buruh tani teh yang saya temui
di sebuah desa di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Pekalongan, Jawa
Tengah. Katanya, ”Uwong siki ora kudu mikir sing pada, nanging kudu sing pada
mikir” (Orang di zaman ini tak mesti memiliki pemikiran yang sama, tetapi
sebagai manusia kita harus [tetap] berpikir). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar