Jumat, 02 Februari 2018

Otonomi Khusus Papua dan Good Governance

Otonomi Khusus Papua dan Good Governance
Dave Akbarshah Fikarno Laksono ;  Anggota Komisi Luar Negeri
dan Pertahanan DPR RI
                                                KORAN SINDO, 01 Februari 2018



                                                           
PAPUA saat ini kembali men­jadi sorotan. Bukan me­nge­nai isu kemer­de­ka­an, te­tapi beberapa paradoks di P­a­pua. Di awal 2018 terjadi ”mu­si­bah” yang melanda Pa­pua, yakni gi­zi buruk dan pe­nya­kit campak yang diderita anak-anak di Ka­bu­pa­ten Asmat. Pu­luh­an anak me­ning­gal dunia, pa­dahal anggaran un­t­uk pen­di­dik­an dan ke­se­hat­an terus meningkat.

Ini ironis karena dana alo­ka­si khusus (DAK) dan dana tam­bah­an untuk Papua terus me­ning­kat, pada 2017 mencapai  Rp8,2 triliun, di mana Rp5,8 tri­liun dialokasikan untuk pen­di­dik­an dan kesehatan. S­em­en­ta­ra itu, dari dana Otsus Papua yang 80% berada di kabupaten, 15% dialokasikan untuk ke­se­hat­an sehingga bencana gizi b­u­ruk dan penyakit campak di Ka­bu­paten Asmat merupakan fe­no­me­na yang merisaukan.

Begitu juga dikaji dari sisi ke­we­­nangan, fenomena gizi bu­ruk dan penyakit campak tak per­lu ter­jadi karena sejak ke­bi­jak­an Oto­nomi Khusus Papua se­ba­gi­an besar kewenangan te­lah di­se­rah­kan ke daerah di­ser­tai alokasi ang­garan yang besar, ter­masuk da­na Otonomi Khu­sus. Dalam kon­teks kebijakan ke­sehatan, mi­salnya, menteri ke­sehatan ti­dak bisa lagi meng­atur kebijakan ke­sehatan di daer­ah karena ke­bi­jak­an kese­hat­an termasuk ke­ter­sediaan pus­kesmas, tenaga ke­sehatan, dan ketersediaan obat bagi m­a­sya­rakat di Papua te­l­ah menjadi tang­gung jawab gu­bernur dan bupati.

Ironi yang menimpa Papua te­lah melahirkan suatu ma­sa­lah baru. Papua adalah tanah yang ka­ya, tetapi sejauh ini se­olah ma­sih menyimpan se­jum­lah fe­no­me­na kemiskinan dan pen­der­i­ta­an. Kekayaan bumi, eko­sis­tem, dan nilai geo-eko­no­mi serta geo-politik yang sangat b­esar ba­gi kepentingan I­n­do­ne­sia secara ke­­se­luruhan mem­buat Papua ha­rusnya menjadi ta­nah yang ma­k­mur bagi ma­sya­ra­katnya. Te­tapi, rupanya Pa­pua hanya di­pan­dang dari pers­pektif ma­te­rial-ekonomis ba­gi pemerintah pu­sat. Lihat con­tohnya fen­om­e­na surplus be­ras di Kabupaten Me­rauke. Me­nurut Kemen­te­ri­an Per­ta­ni­an, setelah sekian la­ma meng­im­por beras, akhirnya In­­do­ne­sia mampu mengekspor be­ras pa­da 2017. Beras itu di­eks­por ke ne­gara tetangga Papua Nu­­gini (PNG) dan Singapura. Ha­sil pro­duk­si pertanian dari Ja­w­a? Su­la­wesi? Bukan, dari Ka­bu­pa­ten Me­rauke, Papua. Artinya, dari si­si ketahanan pangan, Pa­pua merupakan lumbung pa­ngan nasional.

Namun, menjadi per­ta­nya­an, ada apa dengan Papua? Di saat anggaran Otsus semakin me­ningkat dan Papua sebagai lum­bung pangan, tetapi di sisi lain, Papua masih menghadapi ma­salah seperti fenomena gizi bu­­ruk dan penyakit cam­pak. Ke­bijakan apa yang sa­lah de­ngan Papua?

Perlunya Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Kita harus jujur bahwa masalah-masalah di Papua ada­lah salah satu persoalan besar bang­­sa Indonesia yang harus di­­tuntaskan untuk me­wu­jud­kan j­an­ji kemerdekaan bagi ma­­sya­ra­kat Papua. Bayang-bayang ke­ga­galan pemb­a­ngun­an Papua akan terus meng­han­tui dan me­nyim­pan bom waktu ji­ka ber­ba­gai masalah Papua ti­dak diatasi se­cara tepat.

Sejak Otonomi Khusus Pa­pua diberlakukan, anggaran yang dikucurkan pemerintah pu­sat semakin meningkat. Dari sisi kewenangan, Papua juga me­­miliki otonomi yang luas un­tuk menyelenggarakan pe­me­rin­tahan sendiri yang berbasis ke­m­andirian. Namun, masalah P­a­pua bukan pada anggaran yang kurang ataupun ke­we­nang­an yang terbatas, tetapi pa­d­a masalah tata kelola pe­me­rin­tah­an dalam memaksimalkan ang­garan Otsus untuk ke­se­jah­te­ra­an masyarakat. Uang di P­a­pua banyak, tetapi tidak efektif peng­gunaannya sehingga tidak he­ran musibah gizi buruk dan pe­nyakit campak terjadi.

Di sisi lain, pengawasan ter­h­a­dap anggaran Otsus juga m­a­sih belum berjalan efektif. Ken­da­la audit dana Otsus juga di­ra­sa masih ada, sehingga dana Ot­sus belum memberikan d­a­m­pak pembangunan yang s­i­gni­fi­kan. Sejak Otsus Papua di­ber­la­ku­kan, ada perubahan, tetapi per­ubahan tersebut belum ter­jadi secara signifikan, padahal ang­garan yang dikucurkan u­n­tuk pembangunan Papua se­ma­kin besar dari tahun ke tahun.

Lalu apa harus dilakukan? Me­nurut hemat saya, pe­m­ba­ngun­an Papua saat ini butuh pers­pektif baru bahwa perlu ada­nya tata kelola p­e­me­rin­tah­an yang lebih baik agar ke­bi­jak­an Otsus Pa­pua berjalan le­bih efek­tif, efi­sien, dan ber­dam­pak luas pada kese­jah­te­ra­an ma­sya­ra­kat Papua. Dalam hal tata ke­lo­la pe­m­e­rin­tahan yang baik (good governance), Pemerin­tah Pa­pua perlu menerapkan prinsip-prinsip dasar pe­nye­leng­­garaan pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, par­ti­si­­p­a­si, akuntabilitas, dan p­e­ne­gak­­an hukum serta antikorupsi se­bagai unsur utama.

Pertama, transparansi, ya­itu ke­­terbukaan untuk me­nyam­­pai­kan kebijakan dan prog­ram pem­­bangunan agar ter­jadi peng­­awas­an dari ma­sya­rakat luas. Trans­paransi akan men­do­rong par­tisipasi pub­lik yang luas. Kom­ponen trans­p­aransi men­ca­kup in­for­ma­si yang kom­pre­hen­sif, ke­te­pat­an waktu da­lam pe­layanan in­formasi, dan ke­ter­se­diaan in­formasi bagi publik.

Kedua, partisipasi (in­klu­si­fi­tas), yaitu proses pelibatan pe­mang­ku kepentingan (stake­hol­der) seluas mungkin dalam pem­buatan kebijakan pem­ba­ngun­an Papua. Dalam meru­mus­kan kebijakan yang tepat, pe­me­rintah harus melibatkan ma­s­yarakat luas, termasuk per­ang­kat adat Papua agar ke­bi­jak­an yang dirumuskan tepat sa­sar­an dan sesuai dengan ke­bu­tuh­an dan tantangan di ma­sy­a­ra­k­at. Masukan yang beragam da­ri berbagai pihak dalam pro­ses pembuatan kebijakan dapat mem­bantu pemerintah untuk mem­pertimbangkan berbagai per­soalan, perspektif, dan opsi-opsi alternatif dalam men­do­rong pembangunan Papua yang le­bih efektif.

Ketiga, akuntabilitas, yaitu me­kanisme tanggung-gugat an­­tara pembuat kebijakan dan stake­holder  yang dilayani. Ada­nya mekanisme akuntabilitas mem­berikan kesempatan ke­pa­da stakeholder  untuk meminta pen­jelasan dan per­tang­gung­ja­wab­a­n apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan kon­sen­sus dalam pelaksanaan tata k­e­lola pemerintahan. Dalam akun­tabilitas, perlu ada akses ke ke­adilan (access to justice), se­hing­ga masyarakat Papua dapat me­r­asakan manfaat Otsus.

Keempat, penegakan hu­kum dan antikorupsi. Inilah sa­lah satu masalah utama dalam pe­nyelenggaraan Otsus di Pa­pua. Penegakan hukum di Pa­pua masih lemah karena banyak fak­tor, di antaranya belum ada­nya kesadaran hukum di ma­sya­rakat, budaya taat hukum yang ma­sih lemah di level aparatur pe­merintahan, serta peng­awasan yang belum maksimal. Aki­bat dari penegakan hukum yang lemah melahirkan praktik ko­ruptif yang luas.

Kita bersyukur bahwa saat ini KPK telah memberikan per­ha­tian yang khusus dalam meng­awasi pembangunan Pa­pua. Papua mendapat per­ha­ti­an KPK karena banyak indikasi pen­yalahgunaan dana Otsus yang membuat pembangunan Pa­pua tidak efektif dalam me­ning­katkan kesejahteraan ma­sya­rakat Papua. Karena itu, saya se­cara pribadi memberikan d­u­kung­an kepada langkah KPK dan aparat penegak hukum lain un­tuk terus meningkatkan peng­awasan atas penggunaan da­na Otsus yang semakin besar agar tidak digunakan oleh ok­num tertentu untuk mem­per­ka­ya diri sendiri.

Pada akhirnya kita menya­dari bahwa berbagai kegagalan da­lam pembangunan Papua se­jak diberlakukannya Otonomi Kh­usus Papua bukanlah ber­sum­ber pada sikap pemerintah pu­sat yang kurang mem­pe­r­ha­ti­kan Papua, tetapi bersumber pa­da kurangnya kesiapan pe­me­rintah Papua dalam melak­sa­na­kan kebijakan Otsus. Apa­lah artinya uang yang makin be­sar untuk membangun Papua j­i­ka pada akhirnya uang tersebut ti­dak digunakan secara efektif dan maksimal untuk mem­ba­ngun tanah Papua. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar