Mencermati
Pidato Kenegaraan Trump
Khasan Ashari ; Alumnus Australian National University;
Penyusun Kamus Hubungan
Internasional
|
KORAN
SINDO, 01 Februari 2018
RABU (31/1)
pagi waktu Jakarta, Presiden Donald Trump menyampaikan state of the union address atau
pidato kenegaraan di depan Kongres. Tradisi tahunan ini adalah salah
satu momen paling ditunggu dalam kalender politik Amerika Serikat (AS).
Presiden-presiden AS sebelum Trump menggunakan pidato ini untuk menjelaskan
arah kebijakan mereka, baik di tingkat domestik maupun di level
internasional.
Momen ini dianggap spesial karena untuk pertama kali Presiden Trump menjelaskan pencapaian selama setahun menjabat, juga arah kebijakannya ke depan. Bukan hanya warga AS, masyarakat internasional juga menunggu pidato ini untuk mengetahui arah kebijakan luar negeri Trump yang memiliki dampak pada tingkat global. Kebijakan luar negeri Setidaknya ada empat aspek kebijakan luar negeri yang diangkat oleh Trump. Aspek pertama adalah arti penting supremasi Amerika. Trump menyebut supremasi militer sebagai pertahanan terbaik untuk menghadapi pihak-pihak yang hendak melawan AS, seperti negara-negara dengan rezim otoriter dan kelompok teroris. Untuk mempertahankan supremasi ini, Trump akan meneruskan kebijakan modernisasi senjata, termasuk senjata nuklir. Trump juga mengatakan sekarang belum saatnya melucuti senjata nuklir. Aspek kedua adalah pemberantasan terorisme. Trump menggarisbawahi keberhasilan pembebasan hampir seluruh wilayah Irak dan Suriah yang sebelumnya dikuasai ISIS. Meski demikian, ISIS masih tetap menjadi ancaman yang nyata sehingga AS akan melanjutkan kebijakan untuk menghancurkan kelompok teroris tersebut. Trump juga menyatakan akan tetap mempertahankan keberadaan penjara Guantanamo. Aspek ketiga adalah kebijakan mengenai status Kota Yerusalem dan kaitannya dengan pemberian bantuan. Trump menganggap negara-negara yang mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang menentang penetapan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel telah melawan hak AS untuk membuat keputusan sebagai negara berdaulat. Padahal, sebagian besar negara-negara itu setiap tahun menerima bantuan AS. Untuk itu Trump meminta Kongres menyusun aturan buat memastikan bahwa bantuan hanya disalurkan kepada negara-negara yang memiliki kebijakan yang sejalan dengan kepentingan AS. Dengan tegas dikatakan bahwa AS memperkuat persahabatan di seluruh dunia, namun pada saat yang sama juga berhak menentukan siapa yang pantas dikategorikan sebagai lawan. Aspek keempat adalah rezim nondemokratis. Trump secara khusus menyebut empat negara, yaitu Iran, Kuba, Venezuela, dan Korea Utara (Korut). Trump menyatakan bahwa rakyat AS mendukung perjuangan rakyat Iran mendapatkan kebebasan, juga meragukan masa depan kesepakatan nuklir dengan negara itu. Trump juga menyatakan pemerintahannya menerapkan sanksi keras terhadap Kuba dan Venezuela, dua negara yang dia cap sebagai communist and socialist dictatorships. Khusus tentang Korut, Trump menyatakan akan berusaha sekuat tenaga mencegah serangan nuklir negara itu ke wilayah AS. Trump menyatakan tidak akan mengulangi kesalahan masa lalu, yaitu terlalu banyak memberi konsesi. Pemberian konsesi dinilai hanya akan mengundang tindakan provokasi dan agresi. Implikasi ke depan Menarik untuk mengaitkan empat aspek di atas dengan tiga isu, yaitu senjata nuklir, masa depan Palestina, dan peran AS sebagai great power. Kebijakan Trump mempertahankan–bahkan memodernkan–senjata nuklir membuat masa depan perlucutan (disarmament) senjata paling mematikan ini semakin tidak jelas. AS adalah salah satu negara pemilik senjata nuklir yang belum meratifikasi Konvensi Pelarangan Uji Coba Nuklir Komprehensif (CTBT), sementara ratifikasi negara ini termasuk prasyarat pemberlakuan konvensi tersebut. AS juga belum menandatangani Traktat Pelarangan Senjata Nuklir yang diadopsi Majelis Umum PBB tahun lalu. Mendengar pidato Trump, sulit membayangkan AS akan meratifikasi CTBT dan menandatangani Traktat Pelarangan Senjata Nuklir dalam waktu dekat. Hal lain yang patut diwaspadai adalah kemungkinan AS menjalankan kebijakan yang lebih keras terhadap Korut. Dalam konteks nuklir Korut, Trump mengatakan tidak akan mengulangi kesalahan di masa lalu, yaitu terlalu banyak memberi konsesi yang berakibat pada munculnya provokasi dan agresi. Kebijakan yang lebih keras potensial menaikkan ketegangan dan situasi ini dikhawatirkan meningkatkan peluang penggunaan senjata nuklir oleh salah satu atau kedua pihak. Artinya, perang nuklir masih menjadi ancaman yang nyata bagi keamanan dan perdamaian dunia. Kemudian kebijakan Trump mengaitkan bantuan dengan dukungan terhadap Resolusi Majelis Umum tentang status Yerusalem juga berdampak terhadap masa depan Palestina. Kita tahu negara-negara berkembang umumnya mendukung perjuangan bangsa Palestina. Sementara pada sisi lain mereka juga menjadi penerima bantuan AS. Jika AS benar-benar hanya memberi bantuan kepada negara yang tidak “melawannya”, bukan tidak mungkin tingkat dukungan negara-negara berkembang kepada perjuangan bangsa Palestina akan menurun. Alasannya bukan karena pergeseran ideologi, tapi lebih disebabkan oleh pertimbangan pragmatis. Palestina akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Isu terakhir adalah status AS sebagai negara besar. Trump tidak mengaitkan empat aspek di atas dengan peran dan tanggung jawab AS sebagai negara besar dalam menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Trump lebih mengedepankan kepentingan nasional AS dan tidak mengulas bagaimana menyelaraskannya dengan kepentingan bersama masyarakat internasional. Dapat dikatakan dalam hal kebijakan luar negeri pun jargon Make America Great Again tetap dominan. Akhirnya, pidato Presiden Trump menyiratkan tidak ada perubahan arah kebijakan luar negeri AS yang signifikan. Ke depan kita akan kembali menyaksikan sepak terjang Trump dengan segala keunikan dan kontroversinya. Kita juga harus bersiap dengan dampak yang mungkin timbul akibat kebijakan luar negeri yang dijalankan Trump. Yang patut diwaspadai adalah persepsi hitam-putih melalui pengelompokan negara-negara dalam dua kubu: kawan dan lawan. Dalam pidatonya Trump mengatakan: As we strengthen friendships around the world, we are also restoring clarity about our adversaries. Suka atau tidak, sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia membutuhkan AS. Tentu tidak fair kalau hanya karena perbedaan posisi dengan AS pada satu isu misalnya soal status Yerusalem membuat status sebuah negara direvisi dari kawan menjadi lawan. Dan, tidak mungkin bagi AS menjadikan semua negara yang berbeda pendapat sebagai lawan. Sekuat dan sehebat apa pun AS, tetap membutuhkan kawan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar