Jumat, 02 Februari 2018

Mencermati Pidato Kenegaraan Trump

Mencermati Pidato Kenegaraan Trump
Khasan Ashari ;  Alumnus Australian National University;
Penyusun Kamus Hubungan Internasional
                                                KORAN SINDO, 01 Februari 2018



                                                           
RABU (31/1) pagi waktu Ja­kar­ta, Presiden Donald Trump menyampaikan state of the union address atau pi­da­to kenegaraan di depan Kong­res. Tradisi tahunan ini ada­lah sa­lah satu momen paling ditung­gu dalam kalender po­li­tik Ame­rika Serikat (AS). Pre­si­den-pre­siden AS sebelum Trump meng­gunakan pidato ini untuk me­n­jelaskan arah kebijakan me­re­ka, baik di tingkat do­mestik mau­pun di level internasional.

Momen ini dianggap spesial ka­rena untuk pertama kali Pre­si­d­en Trump menjelaskan pencapaian selama setahun men­ja­bat, juga arah kebijakannya ke de­­pan. Bukan hanya warga AS, ma­syarakat internasional juga me­nunggu pidato ini untuk me­nge­tahui arah kebijakan luar ne­ge­ri Trump yang memiliki da­m­pak pada tingkat global.

Kebijakan luar negeri
Setidaknya ada empat as­pek ke­­bijakan luar negeri yang di­ang­kat oleh Trump. As­pek per­ta­ma ada­lah arti pen­ting su­pre­ma­­si Ame­rika. Trump menye­­but ­su­premasi militer s­e­ba­gai pe­r­tahanan terbaik un­­tuk menghadapi pihak-pi­hak yang hen­dak melawan AS, se­­perti negara-negara dengan rezim oto­riter dan k­e­lom­pok teroris. Un­tuk mempertahankan su­pre­­ma­si ini, Trump akan me­ne­rus­kan k­e­bi­jakan modernisasi sen­jata, ter­masuk senjata nuk­lir. Trump juga mengatakan seka­rang belum saatnya melucuti sen­jata nuklir.

Aspek kedua adalah pem­be­ran­tasan terorisme. Trump meng­garisbawahi keberhasilan pembebasan hampir seluruh wi­la­yah Irak dan Suriah yang se­b­­­e­lumnya dikuasai ISIS. Meski demikian, ISIS masih tetap men­jadi ancaman yang nyata se­hingga AS akan melanjutkan kebijakan untuk meng­han­cur­kan kelompok teroris tersebut. Trump juga menyatakan akan te­tap mempertahankan ke­ber­ada­an penjara Guantanamo.

Aspek ketiga adalah ke­bi­jak­an mengenai status Kota ­Ye­­ru­sa­lem dan kaitannya de­ngan pemberian bantuan. Trump meng­­anggap negara-negara yang mendukung res­o­lusi Ma­je­lis Umum PBB yang me­­nen­tang penetapan Ye­ru­sa­­lem se­ba­gai Ibu Kota Is­ra­el te­lah me­la­wan hak AS untuk mem­buat ke­pu­tusan se­ba­gai ne­g­ara ber­dau­lat. Padahal, se­ba­gian besar negara-negara itu s­e­tiap tahun me­nerima ban­tu­an AS. Untuk itu Trump me­min­­ta Kongres me­­nyusun atur­­­an buat me­mas­­ti­kan ba­h­wa bantuan ha­nya di­sa­lurkan k­e­­­pada negara-negara yang me­­miliki ke­bi­jak­an yang se­ja­lan dengan ke­pe­n­ting­an AS. De­­ngan tegas dika­ta­kan bah­wa AS me­m­perkuat persahabatan di se­­­­lu­ruh dunia, na­mun pa­da saat yang sa­­­ma ju­ga berhak me­­­­nen­tu­kan siapa yang pan­tas di­ka­tego­­rikan se­ba­gai lawan.

Aspek keempat adalah rezim nondemokratis. Trump secara khu­sus menyebut empat ne­ga­ra, yaitu Iran, Kuba, Venezuela, dan Korea Utara (Korut). Trump menyatakan bahwa rak­yat AS mendukung perjuangan rakyat Iran mendapatkan ke­be­bas­an, juga meragukan masa de­pan kesepakatan nuklir de­ngan negara itu. Trump juga me­nyatakan pemerintahannya m­e­nerapkan sa­nk­si keras ter­ha­dap Kuba dan Venezuela, dua ne­ga­ra yang dia cap sebagai com­munist and soc­ia­list dictatorships.

Khusus tentang Korut, Trump menyatakan akan ber­usa­ha sekuat tenaga mencegah se­rangan nuklir negara itu ke wi­layah AS. Trump me­nya­ta­kan tidak akan mengulangi k­e­sa­lahan masa lalu, yaitu terlalu ba­nyak memberi konsesi. Pem­be­rian konsesi dinilai hanya akan mengundang tindakan provokasi dan agresi.

Implikasi ke depan
Menarik untuk mengaitkan em­pat aspek di atas dengan tiga isu, yaitu senjata nuklir, masa depan Palestina, dan peran AS se­bagai great power.

Kebijakan Trump me­m­per­ta­hankan–bahkan me­mo­dern­kan–senjata nuklir membuat ma­sa depan perlucutan (dis­ar­ma­ment) senjata paling mematikan ini semakin tidak jelas. AS ada­lah salah satu negara pe­mi­lik senjata nuklir yang belum me­ratifikasi Konvensi Pe­la­rang­an Uji Coba Nuklir Kom­pre­hensif (CTBT), sementara ra­­tifikasi negara ini ter­ma­suk prasyarat pem­berlakuan kon­ven­­s­i tersebut. AS juga be­lum menandatangani Traktat Pe­la­rang­­an Senjata Nuk­lir yang diado­p­si Ma­jelis Umum PBB ta­hun lalu. Men­de­ngar pidato Trump, su­lit mem­ba­yangkan AS akan me­­ra­ti­fi­kasi CTBT dan me­nan­da­­ta­ngani Traktat Pe­la­rang­an Sen­­ja­ta Nuklir dalam wak­tu dekat.

Hal lain yang patut di­was­pa­dai adalah kemungkinan AS men­jalankan kebijakan yang le­bih keras terhadap Korut. Da­lam konteks nuklir Korut, Trump mengatakan tidak akan men­gulangi kesalahan di masa lalu, yaitu terlalu banyak mem­beri konsesi yang berakibat pa­da munculnya provokasi dan agre­si. Kebijakan yang lebih ke­ras potensial menaikkan kete­gang­an dan situasi ini dikha­wa­tir­kan meningkatkan peluang penggunaan senjata nuklir oleh sa­lah satu atau kedua pihak. Ar­ti­nya, perang nuklir masih men­jadi ancaman yang nyata bagi ke­amanan dan perdamaian dunia.

Kemudian kebijakan Trump me­ngaitkan bantuan dengan du­kungan terhadap Resolusi Ma­j­elis Umum tentang status Ye­rusalem juga berdampak ter­hadap masa depan Palestina. Kita tahu negara-negara berkem­bang umumnya men­du­kung perjuangan bangsa Pa­les­tina. Sementara pada sisi lain me­reka juga menjadi penerima ban­tuan AS. Jika AS benar-benar hanya memberi bantuan ke­pada negara yang tidak “mela­wannya”, bukan tidak mung­kin tingkat dukungan negara-negara berkembang kepada per­juangan bangsa Palestina akan menurun. Alasannya bu­kan karena pergeseran ideologi, tapi lebih disebabkan oleh per­tim­bangan pragmatis. Pa­les­ti­na akan menjadi pihak yang pa­ling dirugikan.

Isu terakhir adalah status AS se­bagai negara besar. Trump ti­dak mengaitkan em­pat aspek di atas dengan peran dan tang­gung jawab AS sebagai ne­gara be­sar dalam menjaga ke­­aman­an dan perdamaian du­nia. Trump lebih menge­de­pan­kan k­e­pentingan nasional AS dan ti­dak mengulas bagaimana me­nye­laraskannya dengan ke­­pen­­ting­an bersama ma­sya­­ra­kat in­ter­nasional. Da­pat di­ka­takan da­lam hal ke­bi­jakan luar negeri pun jar­gon Make America Great Again  tetap dominan.

Akhirnya, pidato Pre­si­den Trump menyiratkan ti­dak ada per­­ubahan arah ke­bi­jak­an luar ne­­geri AS yang sig­ni­fikan. Ke de­pan kita akan kem­bali menya­k­sikan sepak ter­jang Trump de­ngan segala ke­unikan dan kontroversinya. Ki­ta juga harus ber­siap dengan dam­pak yang mung­kin timbul aki­bat ke­bi­jak­an luar ne­geri yang dijalankan Trump.

Yang patut diwaspadai ada­lah persepsi hitam-putih me­la­lui pengelompokan negara-negara dalam dua kubu: kawan dan lawan. Dalam pidatonya Trump mengatakan: As we strengt­hen friendships around the world, we are also restoring cla­rity about our adversaries.

Suka atau tidak, sebagian be­sar negara di du­nia te­r­ma­suk ­In­donesia membutuhkan AS. Ten­tu tidak fair  kalau hanya ka­re­na perbedaan posisi de­ngan AS pada satu isu misalnya soal sta­tus Yerusalem mem­buat sta­tus sebuah negara di­re­visi da­ri kawan menjadi lawan. Dan, ti­dak mungkin bagi AS men­ja­di­kan semua negara yang ber­beda pen­dapat sebagai lawan. Sekuat dan sehebat apa pun AS, tetap mem­butuhkan kawan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar