Apa
yang Kita Butuhkan dari Pemimpin?
Denny JA ; Konsultan Politik
|
REPUBLIKA,
01 Februari
2018
Akhirnya saya memahami: mengapa Winston
Churchill, sang Perdana Menteri,
dipilih BBC Poll (2002) sebagai
warga Inggris terbesar sepanjang masa (ranking 1 dari the 100 Great Brittons).
Saya juga mengerti: mengapa pula Churchill
sang politisi yang hanya menulis satu novel itu dipilih sebagai pemenang
Nobel Sastra yang teramat bergengsi (1953).
Hari itu, tekanan datang pada Churchill
bertubi-tubi. Bahkan elite berpengaruh partainya sendiri meminta ia bersedia negosiasi dengan Hitler. Nazi saat
itu begitu perkasa. Satu persatu negara Eropa ditaklukkan.
Churchill mendapat laporan, melawan Hitler
berperang itu sama dengan mati! Ratusan tentara Inggris terjebak di Dunkirk
dan Calais. Mereka kalah dalam segala hal dan tinggal menunggu dibantai.
Saingan utama di partainya sendiri, Lord
Halifax ,mengancam mengundurkan diri dari kabinet. Menolak negosiasi, menurut
Halifax, itu sama dengan misi bunuh diri. 'Berapa banyak lagi kau tega
membiarkan tentara kita mati?' Lebih rasional cari kemungkinan terbaik dari
percakapan damai.
Raja saat itu, King George VI, sudah mulai
gelisah. Apa jadinya jika Hitler masuk dan menjajah Inggris. Banyak yang
sudah menyarankan King George mengungsi masuk Kanada dan memimpin Inggris
dari jauh.
Dalam kondisi yang tanpa harapan, Churchill
menelepon sekutu Presiden Amerika Serikat Roosevelt. Ia yakinkan Roosevelt
untuk kirim bantuan. Jika tidak, Eropa Barat jatuh ke tangan Hitler. Dunia
dipertaruhkan. Tinggal Inggris yang bertahan.
Namun Roosevelt tak bisa berbuat banyak.
Ada hukum Netrality Acts of 1930 di Amerika Serikat yang membatasi. Presiden
Amerika tak boleh ikut terlibat apapun dalam konflik perang saat itu.
Dilarang membantu senjata atau mengirimkan serdadu.
Politisi pada umumnya akan menyerah dalam
situasi mencekam. Tiada lagi celah. Namun pagi itu, Churchill mencari celah.
Ia tak hendak berunding dengan diktator. Tapi ia perlu alasan lebih kuat
karena secara militer Inggris pasti kalah.
Ia pergi ke stasiun kereta bawah tanah. Ia
jumpa dengan rakyat pada umumnya. Ia naik kereta tanpa dikawal.
Rakyat kecil terbelalak mata. Perdana
Menteri yang terhormat berbaur dengan mereka di kereta. Awalnya rakyat
tegang. Tapi kemudian mereka bersorak.
Kepada mereka Churchill bertanya, apa yang
harus kita lakukan melawan Hitler? Haruskah kita menyerah dan berdamai? Atau
kita lawan sampai kapanpun?
Tak ia duga rakyat jelata tak sudi
menyerah. Hitler harus dikalahkan. Satu persatu menyatakan tekadnya melawan
Hitler dengan senjata apapun yang mereka punya. Dengan lugu, mereka saling
cerita apa yang akan mereka lakukan di jalan jika jumpa tentara Jerman.
Churchill yang sempat ragu, khawatir banyak
penduduk Inggris mati sia sia dalam perang yang pasti kalah, bangkit kembali.
Ada yang lebih kuat dibanding senjata. Ada yang lebih perkasa dibanding
jumlah serdadu. Ialah hati manusia yang menolak menyerah. Ialah hati yang percaya
pada perjuangan.
Churchill pun bergegas menuju parlemen.
Para politisi sudah menunggu. Mereka sudah siap untuk dukung kebijakan
berunding damai dengan Hitler.
Tapi Churchill tampil beda. Ia menyampaikan
pidato yang terkenal: We shall Fight
on the Beaches. Begitu banyak serial pidato yang Churchill buat. Tak hanya
indah kata. Tapi gagasannya menggugah. Itu gugatan yang menolak tunduk pada
kejahatan. Menolak takut pada diktator. Pentingnya kebebasan dan perjuangan.
Lord Halifax saat itu sudah merasa di atas
angin. Mayoritas parlemen tampak akan menekan Churchill untuk bernegosiasi
dengan Hitler. Namun setelah mendengar Churchill pidato, opini parlemen
bergeser. Churchill didukung mayoritas melanjutkan perang melawan Hitler
apapun risikonya.
Selesai sidang parlemen, Lord Halifax
ditanya rekan satu aliran. Mengapa parlemen bisa berubah mendukung perang
dilanjutkan? Ujar Halifax: Churchill menggunakan kekuatan kata-kata.
Ya itu dia. kekuatan kata kata. Tak heran.
Bukan Novel Churchill yang membuatnya mendapatkan hadiah Nobel sastra. Tapi
kekuatan kata dan retorika dalam pidatonya. Kekuatan kata dalam buku
non-fiksinya. Serta kekuatan kata kata
pembelaannya pada kebebasan dan inspirasi keberanian.
Itulah
yang membuat Churchill satu satunya kepala pemerintahan yang mendapat
Nobel Sastra.
Sepanjang film berdurasi dua jam lebih,
saya terpana pada kemampuan akting
Gary Oldman. Begitu apiknya ia
memerankan Churchill. Indahnya
itu akting. Tak heran Oldman difavoritkan mendapat oscar aktor terbaik tahun
ini.
Tapi saya lebih terpana pada hal lain.
Imajinasi berkelana lebih jauh. Ini perkara sejarah. Jika saja Churchill
politisi biasa, mungkin kita sampai pada sejarah yang berbeda. Tak ada lagi
kekuatan yang berani melawan Hitler. Nazi akan menguasai Eropa dan dunia.
Saat itu tinggal Inggris yang berani melawan walau kekuatan militer tak
seberapa.
Jika Churchill takut dan memilih damai,
yang kini dominan mungkin bukan demokrasi dan hak asasi tapi Nazisme. Atau
mungkin sejarah pembantaian manusia atas superioritas ras akan lebih panjang.
Atau demokrasi dan hak asasi akhirnya tetap menang namun lebih lambat
kemajuannya dibanding saat ini.
Ternyata ini topik menjadi studi sejarah.
Para ilmuwan mencoba menerka apa jadinya jika saat itu Churchill memilih bernegosiasi
dengan Hitler. New York Times membuat artikel khusus mengulasnya di tahun
2000: Rethinking Negotiation with Hitler.
Saya terus terngiang indahnya retorika
Churchill. Ujarnya “kita harus menuju kemenangan dengan seluruh risikonya.
Kemenangan walau sehebat apapun teror mengancam. Kemenangan walau begitu
sulit dan panjang jalan harus kita tempuh. jika kita tak menang, hal baik dalam peradaban
akan musnah.”
Itu sebabnya mengapa tak perlu ada negosiasi dengan diktator.
Hitler tak ada keinginan lain kecuali
kuasai Eropa, lalu dunia.
Atau ketika banyak yang pesimistis dengan
situasi, Churchill menggugah. “Ini era mengharuskan kita untuk optimis.
Situasi meminta kita untuk tidak bersikap lain.”
Atau “Jangan pernah menyerah, jangan pernah
menyerah. Jangan, jangan dan Jangan. Baik menyerah untuk hal besar ataupun
hal kecil. Kita hanya boleh menyerah untuk kebaikan dan martabat.
Churchill mencontohkan dengan baik kisah
seorang pemimpin. Ia bukan saja berani tapi pandai menggugah. Ia bukan saja
kepala pemerintahan tapi cemerlang soal gagasan. Ia bukan saja memerintah
tapi membangun peradaban.
Ia bukan saja tegas menyatakan TIDAK kepada
diktator, tapi juga pandai mempengaruhi opini. Ia bukan saja percaya pada
cita cita mulia, namun juga percaya pada kekuatan kata.
Menonton film Darkest Hours, merenungkan figur ideal seorang pemimpin, dan
menyimak politik Indonesia sejak reformasi, ada rasa sepi.
Oh, betapa saya rindu romantisme itu.
Betapa saya damba politik yang penuh gagasan dan inspirasi. Betapa berharap
hadirnya seorang pemimpin yang juga pejuang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar