Merayakan
Keragaman,
Melawan
Politik Primordialisme
Agus Suntoro ; Staf Senior Komnas HAM; Menekuni isu HAM dengan tema Pemilu, Terorisme,
Konflik Sumber Daya Alam dan Hukum
|
DETIKNEWS,
20 Februari
2018
Momentum penyelenggaraan Pilkada 2018
merupakan tahap ketiga yang dilakukan serentak di Indonesia, dimulai 2015 dan
2017 yang lalu. Kontestasi kali ini meliputi wilayah yang sangat luas dan
melibatkan populasi pemilih yang banyak. Pilkada diselenggarakan di 17
Provinsi dan 154 Kabupaten/Kota. Berdasarkan data Daftar Penduduk Potensial
Pemilih Pemilu (DP4) Kemendagri kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat
160.756.143 penduduk Indonesia yang saat ini memenuhi syarat sebagai calon
pemilih, dan hasil sinkronisasi dengan data pemilih tetap dari pemilu
terakhir terdapat 163.346.802 pemilih.
KPU mencatat sebanyak 569 bakal calon kepala
daerah yang diterima pendaftarannya, 128 orang maju lewat jalur perseorangan,
dan 441 dengan dukungan partai politik. Khusus untuk pasangan calon gubernur
dan wagub terdapat 116 yang mendaftar dan bertarung di 17 provinsi. Melalui
perangkat di daerah, KPU saat ini sedang melakukan tahap pendataan pemilih,
segera menetapkan pasangan calon kepala daerah yang akan mengikuti kontestasi
dan akan memasuki masa kampanye yang panjang mulai 12 Februari-23 Juni 2018.
Politik Primordialisme
Kombinasi antara banyaknya jumlah pemilih,
luasnya wilayah pemilihan dan beragamnya calon kepala daerah, serta ditunjang
faktor masa kampanye yang cukup lama --sekitar lima bulan-- membuat potensi
penggunaan ataupun menarik paham primordialisme dalam kontensasi perlu
diwaspadai.
Azyumardi Azra (Kompas, 2016) menjelaskan
bahwa definisi primordialisme adalah perasaan intrinsik tentang kebanggaan,
dedikasi, serta emosi kuat pada etnisitas dan ras, agama, bahasa, sejarah,
dan negara asal sendiri. Karena intrinsik, primordialisme hampir selalu
mewarnai pandangan dunia dan perilaku seseorang dan kelompok masyarakat.
Karakteristik pemilihan kepala daerah yang
bersifat kelokalan sangat mempengaruhi preferensi pemilih, berbagai praktik
selama ini menunjukkan godaan kampanye/publikasi dengan kemasan mendorong
sentimen primordilasime. Konkret atas persoalan ini, secara umum menjadi
mantra atau tagline sebagai representasi putra daerah, suku asli, pemeluk
agama tertentu dan identitas lainnya yang berupaya membedakan dari pasangan
calon lainnya.
Situasi umum lainnya yang perlu mendapatkan
perhatian semua pihak adalah praktik ujaran kebencian (hate speech) yang
berujung pada diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan yang juga
menjadi bagian dari politik primordialisme. Penggunaan media sosial dan dunia
maya menjadi sarana paling masif dari praktik tersebut dan perlu pembuktian yang
akurat, apakah melibatkan pasangan calon/tim kampanye ataupun terstruktur
melalui pendukung fanatik.
Amartya Sen (Kekerasan dan Identitas, 2016)
menengarai politik identitas ini cenderung menimbulkan agresivitas dan
kekerasan, baik langsung mau pun tidak langsung. Pendekatan semacam itu lazim
disebut dengan pemikiran soliteris yang memandang manusia hanya memiliki satu
identitas. Celakanya, apabila paham ini terus direproduksi secara masif dan
dikaitkan dengan kontestasi pemilihan kepala daerah, penghargaan akan nilai
keberagaman cenderung menurun dan potensi konflik sulit dikelola.
Melawan Primodialisme
Konsep formal demokrasi menyoroti dua aspek
utama, yaitu kesetaraan politik warga negara dan gagasan pemerintahan yang
baik (Diskursus Politik Lokal, 2015). Kesetaraan politik tidak hanya sebatas
kesamaan kesempatan dan ruang ekspresi pilihan politik, akan tetapi juga
perlindungan politik sebagai mekanisme utama yang dikembangkan, serta selalu
harus diperjuangkan juga keyakinan bahwa kelompok minoritas niscaya mendapat
perlindungan dalam segenap ekspresi politik mereka.
Guna memastikan demokrasi berjalan dengan
prinsip HAM yang mencerminkan aspek kesetaraan politik, maka terdapat
beberapa strategi yang perlu dilakukan guna memitigasi penanganan terhadap
politik primordialisme. Pertama, Aspek Regulasi. Sebagai negara yang beradab,
demokrasi yang dikembangkan Indonesia harus complay dengan standar norma hak
asasi manusia (HAM) yang memberikan tanggung jawab kepada negara untuk
memastikan perlindungan hak memilih dan hak dipilih tanpa diskriminasi.
Dengan dasar apapun baik ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, politik, asal-usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan, kelahiran atau status lainnya, tindakan diskriminasi tidak
dibenarkan. Penguatan aturan kepemiluan baik melalui undang-undang ataupun
peraturan teknis oleh penyelenggara diharapkan membawa kesegaran dan mampu
mengurangi tindakan diskriminasi, termasuk perumusan sanksi yang paling tepat
Kedua, Penegakan Hukum. Peran yang tidak
kalah penting, mendorong penegakan hukum secara objektif dan imparsial dengan
jerat KUHP, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnis, serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Perang melawan politik
primordialisme yang terwujud dalam tindakan aktif berupa penyebarluasan paham
diskriminasi, tidak saja menjadi domain pengawas kepemiluan, akan tetapi
memerlukan sinergi dan peran lembaga-lembaga negara lain yang diberikan
mandat pengawasan.
Ketiga, Kampanye Cerdas. Tanggung jawab
pendidikan politik dibebankan kepada pemerintah dan partai politik, termasuk
pasangan calon yang akan mengikuti kontestasi. Program kerja dan adu gagasan,
seharusnya yang ditampilkan oleh pasangan calon kepala daerah ataupun tim
suksesnya. Visi dan misi yang disampaikan merupakan komitmen sekaligus
parameter arah pembangunan yang akan dijalankan bila terpilih. Warga secara
aktif turut berpartisipasi menentukan arah pembangunan selama lima tahun ke
depan, sekaligus melakukan pengawasan.
Keempat, Merayakan Keragaman. Keragaman yang
dimiliki Indonesia harus didorong menjadi episentrum mempererat pertalian dan
kebersamaan sebagai sebuah bangsa, bukan menjadi "bahan bakar" yang
terus diproduksi untuk memunculkan politik primordialisme. Keragaman perlu
didorong untuk dihadirkan dan diwujudkan dalam praktik sehari-hari, tidak
terbatas momentum pemilihan kepala daerah, akan tetapi menjadi semangat
mempersatukan dan berbagi peran. Manifesto tersebut dihadirkan sebagai
implementasi prinsip kesetaraan (equality), ketergantungan (interdefendance),
universal (universality) dan non diskriminasi.
Dengan pendekatan tersebut di atas,
diharapkan pilkada serentak tahap ketiga 2018 dilalui dengan riang gembira
dan mencerminkan perayaan keragaman, tanpa perlu merendahkan martabat kemanusiaan
--hanya sekedar untuk mengisi jabatan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar