Tragedi
Asmat dan Pengawasan Khusus Dana Otsus
Beni Kurnia Illahi ; Koordinator Divisi Lembaga Negara dan
Penyelenggara Negara Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum
Universitas Andalas, konsentrasi Hukum Administrasi Negara dan Hukum Keuangan
Negara;
Alumnus Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
DETIKNEWS,
19 Februari
2018
Tragedi gizi buruk dan wabah penyakit yang
menimpa penduduk Asmat, Provinsi Papua menggambarkan betapa buruknya potret
pemerintahan di awal 2018. Ironisnya, di tengah indeks tingkat kemiskinan di
Indonesia yang semakin menurun yaitu mencapai 0,52% pada 2017 (sumber: Data
Badan Pusat Statistik 2017), masih saja terjadi peristiwa memilukan yang
merenggut sejumlah nyawa orang dewasa dan anak-anak akibat gizi buruk yang
menerpa daerah ujung timur Indonesia.
Kondisi ini diperparah dengan kurang
tanggapnya pemerintah daerah setempat terhadap bencana kesehatan yang menimpa
sejumlah penduduk di daerah Asmat tersebut. Dari sekian banyak persoalan
pelayanan kesehatan dan kebutuhan pangan di seluruh wilayah Indonesia,
Asmatlah yang mungkin salah satu daerah terparah dalam memberikan pelayanan
publik khususnya di bidang kesehatan dan kebutuhan pangan.
Betapa mirisnya, hampir dari seperempat
penduduk di Asmat tertular penyakit campak dan gizi buruk, bahkan ada yang
meninggal dunia karena kelaparan dan terjangkit penyakit akut. Data terakhir,
ada 7000 warga terindikasi campak, 300 anak dirawat jalan, 175 orang rawat
inap, dan yang sangat memilukan sekali 67 orang meninggal dunia (Media
Indonesia, Presiden Buka Opsi Relokasi, Selasa, 23 Januari 2018).
Peristiwa yang terjadi di Asmat hari ini
seakan membuat publik tak percaya, bahwa Negeri Papua nan kaya akan sumber
daya alam dan talenta yang luar biasa sementara masyarakatnya masih dikepung
oleh rantai kemiskinan, buruknya pelayanan kesehatan, dan masih rendahnya
tingkat pendidikan. Hal ini disebabkan oleh tidak fokusnya pemerintah dalam
menjalankan program pemerintahan dan tidak terkontrolnya sistem pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan di daerah yang sangat kaya tersebut.
Dari sisi keuangan misalnya, Provinsi Papua
itu memiliki 7 (tujuh) sumber penerimaan yang cukup variatif antara lain,
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (yang terdiri dari Dana
Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil), Pinjaman Daerah,
lain-lain penerimaan yang sah, Dana Desa, Dana Tambahan, dan Dana Otonomi
Khusus. Jika dana itu diramu menjadi satu, dana yang bersumber dari APBN
maupun APBD tersebut, setiap tahun nilainya akan mencapai puluhan bahkan
ratusan triliunan rupiah.
Pertanyaan sederhana, apakah dana tersebut
terimplementasi dan tersalurkan secara efektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku? Kemudian bagaimana sistem pengawasan dan
pemeriksaan keuangan di tengah tingkat perekonomian yang semakin sulit di
tanah Papua? Serta, apakah sumber dana yang memiliki cakupan nilai yang
lumayan besar memberikan dampak yang baik dalam rangka pemenuhan
kesejahteraan bagi masyarakat Papua?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat
penulis semakin optimistis, dan ingin mengatakan bahwa Papua sesungguhnya
memiliki potensi dan harapan yang sangat besar untuk maju dan lepas dari
rantai kemiskinan. Dengan catatan, pemerintah Papua perlu membangun konsensus
dan komitmen yang serius dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat
dengan pengalokasian dana yang tepat sasaran serta dimanfaatkan dan
dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya untuk kemakmuran masyarakat dengan
integritas dan profesionalitas.
Itu sebabnya, perlu dibentuk regulasi yang
mampu menopang segala bentuk kepentingan masyarakat di berbagai sektor,
terutama di sektor pendidikan dan kesehatan. Menurut penulis, fokus kita
sekarang sudah sepatutnya melihat persoalan ini dari hulu, yaitu dengan
melihat pola atau sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban terhadap dana
otonomi khusus dan dana desa yang tidak sebanding dengan kemakmuran
masyarakat. Pasalnya, dana otonomi khusus dan dana desa yang sedemikian besar
setelah tujuh belas tahun bergulir sejak desentralisasi asimetris daerah
Papua disahkan hasilnya tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat sekitar.
Ditelisik ke belakang sejak diberlakukannya
UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua sebagaimana diubah dengan
UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Papua sampai saat ini
pengelolaan dan pertanggungjawaban dana otonomi khusus dan dana desa tersebut
dapat dikatakan tidak terevaluasi secara berkala, dan bahkan menimbulkan
potensi kerugian keuangan negara yang sangat besar. Bayangkan, jika dilihat
dari besaran dana otonomi khusus sejak 2002 sampai 2017, total dana otonomi
khusus untuk Papua itu mencapai Rp 55,8 triliun.
Pada 2018 ini pemerintah kembali
menganggarkan dana otonomi khusus Papua ini mencapai sebesar Rp 8 triliun.
Sementara itu, alokasi transfer ke daerah dan dana desa 2018 di Papua itu
cenderung mengalami kenaikan sebesar Rp 44,67 triliun dibandingkan alokasi
2017 yaitu sebesar Rp 43,17 triliun. Artinya dua sumber dana berskala jumbo
tersebut tiap tahunnya mengalami peningkatan dan menghujani negeri Papua yang
mencapai lebih dari Rp 55 triliun. Dari besaran dana yang digelontorkan
tersebut, pertanyaan selanjutnya solusi seperti apa yang harus ditawarkan
agar kondisi tragis seperti Asmat tidak terulang kembali jika dilihat dari
aspek keuangan negara. Menurut penulis ada beberapa hal agar pelaksanaan
anggaran otonomi khusus dan dana desa bisa terjamah dengan baik.
Pertama, Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) yang telah disusun oleh Pengguna Anggaran dan disahkan oleh Menteri
Keuangan sebagai acuan dalam melaksanakan anggaran musti dijalankan
semaksimal mungkin oleh pemerintah, sehingga tidak ada cerita bahwa belanja
melebihi dari target pagu anggaran yang ditetapkan. Dengan begitu semua
satuan kerja di lingkungan pemerintah diharapkan dapat mempercepat penyerapan
anggaran dengan memulai pra-lelang proyek-proyek 2019 di akhir 2018, sehingga
diawal 2019 nanti semua kegiatan pemerintahan dapat berjalan efektif.
Itulah sebetulnya konsep yang digagas oleh
Presiden Joko Widodo yang dikenal dengan "money follow program"
yaitu metode melalui pendekatan bujet berdasarkan pada skala/bobot kegiatan,
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Konsep ini sebetulnya
juga sejalan dengan prinsip "performance budgetting" yang terus
digaungkan di kalangan birokrasi baik pusat maupun daerah agar setiap
anggaran yang dilaksanakan berbasis kinerja. Dengan demikian, program-program
pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang tertunda pada 2017 karena alasan
penghematan atau rendahnya penyerapan sejatinya dapat dilanjutkan di tahun
berikutnya dengan standar atau pagu yang sudah ditentukan.
Tentu saja menyinkronkan setiap program atau
kegiatan berdasarkan DIPA bukanlah perkara yang mudah, butuh kehati-hatian,
kecermatan, dan kecerdasan dalam membelanjakan setiap barang/jasa sebagaimana
yang tertuang dalam amanat UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Agar di kemudian hari tidak menimbulkan masalah baik secara administrasi
maupun substansi.
Kedua, amanat Pasal 34 ayat (3) huruf c UU
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua tegas menukilkan bahwa
pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana
Alokasi Umum Nasional harus diprioritaskan untuk pembiayaan pendidikan dan
kesehatan, di mana proporsinya itu dibagi sebanyak 20% untuk kebutuhan
Provinsi dan 80% untuk kebutuhan Kabupaten/Kota.
Untuk mengefektifkan jalannya dana otonomi
khusus di Provinsi Papua, maka upaya pengawasan dan evaluasi terhadap belanja
daerah harus selalu ditingkatkan. Misalnya, evaluasi yang dilakukan oleh
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa dan PDT, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan berdasarkan
bidang kerja masing-masing yang dilakukan secara berkala. Artinya, ketika ada
kendala atau masalah yang timbul dari implementasi dana otonomi khusus
tersebut, maka kementerian/lembaga (K/L) dapat langsung memberikan
rekomendasi dan perbaikan. Setidaknya upaya pencegahan harus didorong secara
simultan oleh Pemerintah Pusat agar pelaksanaan otonomi khusus berjalan
sesuai koridor.
Di samping evaluasi, pengawasan internal
maupun eksternal juga sangat perlu didorong demi transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban dana otonomi khusus. Baik
itu yang dilakukan oleh BPKP dalam mengawasi peredaran uang dan pelaksanaan
pembangunan sebagai pengawas internal pemerintah maupun BPK sebagai lembaga
pemeriksa keuangan negara yang bebas intervensi dari pihak mana pun. Dengan
begitu ketika terdapat temuan kerugian negara yang berdampak besar, maka
auditor dan aparat penegak hukum harus segera mengusut dan menindaklanjuti
persoalan tersebut hingga tuntas. Selain itu, sinergitas dan koordinasi yang
intensif dan komunikatif antar ajaran pemerintah dengan masyarakat sipil
perlu diperkuat dengan mendorong sistem pemerintahan yang terbuka yang
berbasis elektronik (e-government and open government).
Ketiga, sebagai kesimpulan, pemerintah pusat
perlu membentuk tim lintas K/L dalam mengevaluasi dan mengawasi penggunaan
dana otonomi khusus di Provinsi Papua. Jangan sampai kita terlena dengan
begitu banyaknya pekerjaan di pusat sementara daerah ujung timur yang
notabene merupakan lahan basah para koruptor tidak terjamah untuk diawasi.
Kalau hal ini tidak ditanggapi secara serius, maka persoalan ini akan menjadi
bom waktu krisis peradaban di Bumi Cenderawasih. Busung lapar akan semakin
banyak, bencana kesehatan akan semakin menular, kemiskinan merangkak naik,
dan korupsi semakin menjalar. Negeri bak bintang di kegelapan lama-kelamaan
akan hilang ditelan zaman. ●
|
Saya sangat bersyukur kepada Ibu Fraanca Smith karena telah memberi saya
BalasHapuspinjaman sebesar Rp900.000.000,00 saya telah berhutang selama
bertahun-tahun sehingga saya mencari pinjaman dengan sejarah kredit nol dan
saya telah ke banyak rumah keuangan untuk meminta bantuan namun semua
menolak saya karena rasio hutang saya yang tinggi dan sejarah kredit rendah
yang saya cari di internet dan tidak pernah menyerah saya membaca dan
belajar tentang Franca Smith di salah satu blog saya menghubungi franca
smith konsultan kredit via email:(francasmithloancompany@gmail.com) dengan
keyakinan bahwa pinjaman saya diberikan pada awal tahun ini tahun dan
harapan datang lagi, kemudian saya menyadari bahwa tidak semua perusahaan
pinjaman di blog benar-benar palsu karena semua hautang finansial saya
telah diselesaikan, sekarang saya memiliki nilai yang sangat besar dan
usaha bisnis yang patut ditiru, saya tidak dapat mempertahankan ini untuk
diri saya jadi saya harus memulai dengan membagikan kesaksian perubahan
hidup ini yang dapat Anda hubungi Ibu franca Smith via email:(
francasmithloancompany@gmail.com)
Ini dari perusahaan yang telah dapat membantu begitu banyak orang baik dari Indonesia maupun Malaysia dan di luarnya Kami telah dapat membantu berbagai orang dari berbagai pekerjaan kehidupan dan juga berbagai kategori pekerjaan Kami telah dapat memberikan pinjaman untuk hampir semua pemohon pinjaman di perusahaan ini dan jika dengan cara apa pun Anda meragukan kami, kami akan merujuk Anda ke banyak dan banyak pelanggan yang telah mendapatkan pinjaman dari kami sehingga Anda dapat menghapus keraguan keraguan dari pikiran Anda Kami telah dapat membantu baik yang bangkrut maupun mereka yang mencari modal tambahan untuk mendanai bisnis mereka dalam bentuk apa pun Di perusahaan ini, prioritas utama kami sejak hari pertama hingga sekarang adalah memastikan semua pencari pinjaman di perusahaan ini mendapatkan pinjaman mereka dan kami sangat berkomitmen untuk ini dengan memastikan hampir 100% dari semua pencari pinjaman di perusahaan ini mendapatkan pinjaman mereka Jika dengan cara apa pun Anda masih ragu, silakan hubungi kesaksian terbaru kami di t dia menghubungi detail di bawah ini untuk menghapus segala bentuk keraguan dari pikiran Anda_________[WhatsApp: +6287818697754]
BalasHapusCompany___[ISKANDAR LESTARI LOAN COMPANY]
e_mail_________[iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com]
WhatsApp___[+6282274045059]