Legislasi
Jahiliah dalam UU MD3
Wiwin Suwandi ; Peneliti Anti-corruption Committee/ACC
Sulawesi
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Februari 2018
JIKA saja Athena dan
Sparta di era Yunani kuno tidak membentuk Ekklesia dan Apella (senat). Jika
saja para baron tidak melakukan pemberontakan terhadap Raja John di Inggris
sehingga melahirkan Magna Charta (1215) yang kemudian melahirkan House of
Common, mungkin sampai saat ini kita tidak akan mengenal apa itu bentuk
lembaga perwakilan.
Kekuasaan akan terus
dipegang secara absolut dan tiran oleh para raja dan penguasa zalim, tanpa
kontrol rakyat melalui lembaga perwakilan. Akan tetapi, sebagaimana teori
’siklus Polybius’, demokrasi selalu menemukan jalannya untuk kembali meskipun
harus lebih dulu ’mengalah’ pada tirani dan monarki absolut sebagai sistem
pemerintahan yang banyak dianut waktu itu. Demokrasi akhirnya dipilih
bangsa-bangsa beradab. Tidak saja karena dia terbaik, tapi juga demokrasi
lebih mampu memberi jaminan hak-hak rakyat secara konstitusional.
Melalui Ekklesia, Apella
di Yunani, dan House of Common di Inggris, sejarah memberikan kita referensi,
sistem (lembaga perwakilan) seperti apa yang akan dipilih bangsa-bangsa
beradab. Pilihannya kemudian jatuh pada bentuk lembaga perwakilan yang dianut
negara-negara di dunia saat ini. Negara-negara yang semula berciri monarki
feodal akhirnya ’insaf’, menyeberang ke demokrasi parlementer atau
presidensial dengan lembaga perwakilan yang lebih konstitusional.
Terlepas dari segala
kekurangan dan ragam bentuknya, semua sepakat bahwa lembaga perwakilan
berdiri di atas fondasi ’daulat rakyat’, bukan ’daulat raja’, apalagi ’daulat
tuan’. Mestinya, DPR pascareformasi belajar dari sejarah itu. Jikapun malas membaca
sejarah, setidaknya mereka belajar dari DPR era Orba yang sangat jauh dari
filosofi demokrasi perwakilan. DPR yang abai terhadap aspirasi rakyat. DPR
yang hanya menjadi ’boneka’ dan ’alat stempel’ setiap kebijakan penguasa
Orba. DPR yang kemudian ikut digulingkan bersama penguasa Orba melalui
amendemen konstitusi.
Akan tetapi, tidak
demikian. DPR memang tidak pernah belajar. Amendemen konstitusi tidak cukup
ampuh mengubah watak DPR yang masih mewarisi mental feodal. DPR yang korup,
DPR yang acuh, DPR yang khianat. Lihat saja bagaimana angkuhnya delapan
fraksi di DPR (minus NasDem dan PPP) meloloskan revisi UU MD3 yang memuat
pasal-pasal tiran dalam desain kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)
yang menjadi superpower. Di antaranya Pasal 122 yang memberi kewenangan
kepada MKD untuk bisa memidanakan orang/kelompok/badan hukum, yang dianggap
merendahkan DPR.
Pasal 73 yang mewajibkan
polisi memanggil paksa seseorang yang menolak diperiksa MKD. Pasal 245
terkait dengan pemeriksaan anggota DPR yang harus melalui izin MKD sebelum
dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum, dan
pasal lainnya yang juga kontroversi.
Sebelum itu, sikap angkuh
DPR terhadap aspirasi rakyat dapat dilihat dari banyak kasus kontroversi,
seperti Pansus Angket KPK, revisi UU KPK dan RUU KUHAP-KUHP, pengangkatan
kembali SN sebagai Ketua DPR, persetujuan BG sebagai Kapolri, dan utang
prolegnas yang selalu menumpuk. Dengan kontroversi lainnya, bertambah panjang
riwayat ’perkelahian’ DPR dengan rakyat yang diwakili mereka.
Namun, kali ini parahnya
tidak ketulungan. DPR hendak memidanakan ’tuan’ mereka (rakyat) dalam revisi
UU MD3, Pasal 122. Mereka lupa bahwa mandat mereka berasal dari rakyat.
Mereka lupa bahwa sewaktu-waktu rakyat bisa mencabut mandat itu. Tampaknya,
DPR belum siap untuk berdemokrasi, padahal usia mereka sudah menginjak 2
dekade pasca reformasi. Pasal ini seperti menunjukkan gejala ’phobia
syndrome’ akut DPR yang seolah kehilangan keberanian menghadapi derasnya arus
kritik rakyat. Mereka merasa tidak mampu berdebat secara cerdas dengan rakyat
sehingga mengambil pilihan primitif melalui jerat pasal pidana dalam revisi
wewenang MKD.
Itu sama dengan
menghidupkan pasal haatzaai artikelen, pasal penghinaan peninggalan Belanda
yang disebut dilihat dari sejarahnya berlaku untuk simbol negara. Lagi-lagi
DPR tidak membaca sejarah. Terlihat sekali bahwa revisi UU MD3 dibuat sangat
terburu-buru dan emosional, bukan dari pertimbangan akademis yang ilmiah,
melainkan by accident. Jaraknya sangat dekat dengan gelombang protes rakyat
terhadap pembentukan Pansus Angket KPK yang cacat norma serta kasus korupsi
KTP-E yang juga melibatkan elite Senayan.
Benang merahnya sangat
terlihat sehingga dugaan bahwa revisi mendadak itu dilatarbelakangi dendam
politik DPR terhadap KPK sulit ditepis DPR.
DPR seperti memasukkan
’pasal jahiliah’ yang mengancam tumbuhnya masyarakat madani. Materi sejumlah
pasal dalam revisi UU MD3 itu menyiratkan ketakutan anggota DPR yang sangat
tidak beralasan. Pasal 245, misalnya, memberi imunitas absolut kepada anggota
DPR untuk lolos dari jerat hukum. Frasa ’MKD bisa memidanakan…’ itu seakan
memberi justifikasi MKD sebagai penegak hukum.
Pasal ini mendesain MKD
menjadi seperti lembaga penegak hukum, padahal hakikat MKD hanya menegakkan
kode etik anggota dewan. Pasal 122 yang direvisi juga sangat kabur dan
debatable. Misalnya, bagaimana mendefinisikan ’merendahkan kehormatan DPR’
mengingat jebloknya wibawa DPR saat ini akibat kelakuan anggota-anggota
mereka yang terjerat korupsi dan kasus etik? Semestinya, pasal itu hanya
mengikat ke dalam, kepada anggota-anggota DPR. Karena merekalah yang
bertanggung jawab ’menegakkan keluhuran, kehormatan, dan martabat DPR’. MKD
bukan ’keluar kamar’ dengan memidanakan warga negara.
Kemudian, bagaimana mendefinisikan
’kritik’ yang bisa dikenai pidana? Apakah ketika seseorang mengkritik anggota
DPR yang terjerat kasus hukum, atau pelanggaran etik seperti dalam skandal
’papa minta sama’, MKD langsung memidanakan? Jika begitu, 250 juta rakyat
Indonesia berpotensi dipidana jika secara bersamaan mengkritik DPR. Padahal,
rakyat memiliki ’hak konstitusional’ untuk mengkritik wakil mereka, hak yang
diperoleh melalui daulat rakyat pascapemilu legislatif.
Siapa yang dimaksud
’kelompok’ dan ’badan hukum’ yang bisa dijerat pidana itu? Ada
ratusan--bahkan ribuan--kelompok, masyarakat adat, ormas, parpol, himpunan,
dan sebagainya yang masuk arti ’kelompok’ itu, juga sangat kabur. Negara juga
adalah badan hukum dalam arti luas. Rakyatnya adalah ’pemegang saham’ badan
hukum itu sehingga kembali lagi, apakah DPR akan melaporkan rakyat sendiri
jika mereka juga bagian dari rakyat itu?
Revisi itu harus ditolak.
DPR harus disadarkan dan diinsafkan atas kekhilafan mereka. Phobia syndrome
pasal antikritik dalam revisi UU MD3 itu hanya akan menyebabkan kemunduran
demokrasi di Indonesia yang diperjuangkan berdarah-darah saat reformasi dulu.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar