Masa
Sulit Kampanye Pilkada 2018
Yulhasni ; Anggota KPU Sumatra Utara
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Februari 2018
PERHELATAN Pemilihan
Kepala Daerah 2018 memasuki tahapan kampanye. Sesuai dengan Peraturan KPU No
4 Tahun 2017 tentang Kampanye, pasangan calon kepala daerah telah dibenarkan
berkampanye mulai 15 Januari 2018 sampai 23 Juni 2018. Secara khusus kampanye
di media massa dimulai pada 10-23 Juni 2018.
Inilah masa krusial dan
waktu yang paling menguji adrenalin kita semua untuk menjaga kekondusifan
keberagaman etnik, golongan, dan agama di Tanah Air. Pada Minggu, 18 Februari
2018, seluruh daerah yang menyelenggarakan pilkada juga sudah menggelar
deklarasi kampanye damai serentak. Poin penting yang diucapkan pasangan calon
ialah siap melaksanakan kampanye secara damai tanpa hoaks, politisasi suku,
ras, agama, dan antargolongan (SARA), dan politik uang.
Tentu saja, kesepakatan
kita harapkan tidak sekadar tanda tangan di atas papan deklarasi. Burung
merpati dan balon yang dilepas ke udara sebagai perlambangan kedamaian tentu
tidak menguap begitu saja ditelan angin. Kedamaian harus lahir dari
kesungguhan pasangan calon meraih kemenangan dengan cara-cara yang elegan.
Bukan dengan mengorbankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Barangkali belum jauh dari
ingatan tentang Pilkada DKI 2017 yang nyaris menyita semua mata rakyat
Indonesia. Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Siti Zuhro bahkan menilai pilkada DKI Jakarta pada 2017 merupakan yang
terburuk dalam sejarah. Sebabnya materi kampanye substantif di pilkada itu
sangat minim dan lebih didominasi politisasi isu suku, ras, agama, dan
antargolongan (SARA). Tidak politisasi SARA, tapi pilkada DKI menggiring
orang yang tidak berkepentingan langsung seolah-olah jadi pemain penting pada
pilkada tersebut.
Pilkada 2018 dilaksanakan
untuk memilih 171 kepala daerah dengan rincian 17 gubernur/wakil gubernur,
115 bupati/wakil bupati, dan 39 wali kota/wakil wali kota. Pada calon
pemimpin di daerah itu akan berkampanye dengan prinsip jujur, terbuka, dan
dialogis.
Bawaslu RI dalam evaluasi
kampanye Pilkada 2017 telah melansir sejumlah persoalan. Terdapat maraknya
alat peraga kampanye (APK) yang dipasang secara liar, posko yang tidak diatur
keberadaannya, maraknya akun medsos yang tidak didaftarkan, dan tentu saja
praktik politik uang yang terstruktur dan masif.
Dalam menghadapi kampanye
2018, baik KPU maupun Bawaslu telah mencanangkan tagline gerakan antipolitik
uang, antihoaks, dan anti-SARA. Tentu saja pilihan itu mengacu pada fakta
bahwa ketiga aspek tersebut sering kali terjadi, tapi sulit tersentuh hukum.
Untuk dua aspek terakhir,
gejalanya telah muncul jauh sebelum KPU menetapkan pasangan calon. Masyarakat
kita yang sensitif alias bersumbu pendek akan mudah tergerus akal sehatnya
manakala memasuki ranah keberpihakan pada pasangan calon tertentu.
Titik rawan seperti itu
senantiasa tumbuh subur pada masyarakat yang heterogen, sepertinya halnya di
Sumatra Utara yang menggelar pilkada tahun ini. Saya terkadang merinding
melihat komentar masyarakat kita di media sosial saat menuangkan
ketidaksukaannya pada seseorang.
Berbagai regulasi tentang
kampanye memang penting disampaikan secara berkesinambungan kepada masyarakat.
Namun, terpenting dari itu tentu saja bagaimana pasangan calon atau tim
pemenangan bisa memanfaatkan keterbukaan informasi dengan cara-cara elegan.
Kampanye bertujuan memperkenalkan visi dan misi, bukan dimaksudkan menyerang
calon lain. Tidak sepakat dibenarkan, tetapi ketidaksepakatan bukan berarti
harus menghasut orang lain. Informasi harus diberikan secara jernih dan
membuang sejauh mungkin posting-an sesat (hoaks) di media sosial.
Ada ruang dan waktu yang
diberikan KPU dan Bawaslu kepada pasangan calon untuk berkampanye. Ruang
debat, rapat umum, dan pertemuan terbatas merupakan tempat bagi pasangan
calon menyampaikan gagasannya. Saya pikir, ruang tersebut cukup besar dan
luas dan tentu saja sulit digunakan secara maksimal. Jika ruang tersebut
masih cukup, semestinya ruang yang ilegal tidak perlu disentuh.
Di ranah ilegal, penegakan
hukum harus diperkuat. Pesta demokrasi seperti pilkada seolah-olah jadi
tempat bagi siapa pun untuk melanggar aturan yang telah dibuat. Mencermati
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan
Peraturan KPU No 4 Tahun 2017 tentang Kampanye, sebanyak 24 larangan dalam
berkampanye bagi pasangan calon.
Dalam PKPU Nomor 4 Tahun
2017 Pasal 70 (2) telah disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai
politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang mencetak dan memasang
alat peraga kampanye selain dalam ukuran, jumlah dan lokasi yang telah
ditentukan oleh KPU. Faktanya, jauh sebelum ditetapkan sebagai pasangan
calon, setiap sudut kota bertaburan baliho, spanduk, dan jenis lainnya berisi
ajakan untuk mencoblos.
Aspek lain yang perlu jadi
titik pandang semua pihak ialah akun media sosial selain yang didaftarkan
secara resmi ke KPU. Meski KPU telah memberi batas maksimal 5 akun untuk
setiap pasangan calon, tentu saja di zaman digitalisasi ini, akun media
sosial lainnya sulit untuk dilarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar