Kamis, 22 Februari 2018

Masa Sulit Kampanye Pilkada 2018

Masa Sulit Kampanye Pilkada 2018
Yulhasni  ;    Anggota KPU Sumatra Utara
                                           MEDIA INDONESIA, 20 Februari 2018



                                                           
PERHELATAN Pemilihan Kepala Daerah 2018 memasuki tahapan kampanye. Sesuai dengan Peraturan KPU No 4 Tahun 2017 tentang Kampanye, pasangan calon kepala daerah telah dibenarkan berkampanye mulai 15 Januari 2018 sampai 23 Juni 2018. Secara khusus kampanye di media massa dimulai pada 10-23 Juni 2018.

Inilah masa krusial dan waktu yang paling menguji adrenalin kita semua untuk menjaga kekondusifan keberagaman etnik, golongan, dan agama di Tanah Air. Pada Minggu, 18 Februari 2018, seluruh daerah yang menyelenggarakan pilkada juga sudah menggelar deklarasi kampanye damai serentak. Poin penting yang diucapkan pasangan calon ialah siap melaksanakan kampanye secara damai tanpa hoaks, politisasi suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA), dan politik uang.

Tentu saja, kesepakatan kita harapkan tidak sekadar tanda tangan di atas papan deklarasi. Burung merpati dan balon yang dilepas ke udara sebagai perlambangan kedamaian tentu tidak menguap begitu saja ditelan angin. Kedamaian harus lahir dari kesungguhan pasangan calon meraih kemenangan dengan cara-cara yang elegan. Bukan dengan mengorbankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Barangkali belum jauh dari ingatan tentang Pilkada DKI 2017 yang nyaris menyita semua mata rakyat Indonesia. Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro bahkan menilai pilkada DKI Jakarta pada 2017 merupakan yang terburuk dalam sejarah. Sebabnya materi kampanye substantif di pilkada itu sangat minim dan lebih didominasi politisasi isu suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA). Tidak politisasi SARA, tapi pilkada DKI menggiring orang yang tidak berkepentingan langsung seolah-olah jadi pemain penting pada pilkada tersebut.

Pilkada 2018 dilaksanakan untuk memilih 171 kepala daerah dengan rincian 17 gubernur/wakil gubernur, 115 bupati/wakil bupati, dan 39 wali kota/wakil wali kota. Pada calon pemimpin di daerah itu akan berkampanye dengan prinsip jujur, terbuka, dan dialogis.
Bawaslu RI dalam evaluasi kampanye Pilkada 2017 telah melansir sejumlah persoalan. Terdapat maraknya alat peraga kampanye (APK) yang dipasang secara liar, posko yang tidak diatur keberadaannya, maraknya akun medsos yang tidak didaftarkan, dan tentu saja praktik politik uang yang terstruktur dan masif.

Dalam menghadapi kampanye 2018, baik KPU maupun Bawaslu telah mencanangkan tagline gerakan antipolitik uang, antihoaks, dan anti-SARA. Tentu saja pilihan itu mengacu pada fakta bahwa ketiga aspek tersebut sering kali terjadi, tapi sulit tersentuh hukum.
Untuk dua aspek terakhir, gejalanya telah muncul jauh sebelum KPU menetapkan pasangan calon. Masyarakat kita yang sensitif alias bersumbu pendek akan mudah tergerus akal sehatnya manakala memasuki ranah keberpihakan pada pasangan calon tertentu.
Titik rawan seperti itu senantiasa tumbuh subur pada masyarakat yang heterogen, sepertinya halnya di Sumatra Utara yang menggelar pilkada tahun ini. Saya terkadang merinding melihat komentar masyarakat kita di media sosial saat menuangkan ketidaksukaannya pada seseorang.

Berbagai regulasi tentang kampanye memang penting disampaikan secara berkesinambungan kepada masyarakat. Namun, terpenting dari itu tentu saja bagaimana pasangan calon atau tim pemenangan bisa memanfaatkan keterbukaan informasi dengan cara-cara elegan. Kampanye bertujuan memperkenalkan visi dan misi, bukan dimaksudkan menyerang calon lain. Tidak sepakat dibenarkan, tetapi ketidaksepakatan bukan berarti harus menghasut orang lain. Informasi harus diberikan secara jernih dan membuang sejauh mungkin posting-an sesat (hoaks) di media sosial.

Ada ruang dan waktu yang diberikan KPU dan Bawaslu kepada pasangan calon untuk berkampanye. Ruang debat, rapat umum, dan pertemuan terbatas merupakan tempat bagi pasangan calon menyampaikan gagasannya. Saya pikir, ruang tersebut cukup besar dan luas dan tentu saja sulit digunakan secara maksimal. Jika ruang tersebut masih cukup, semestinya ruang yang ilegal tidak perlu disentuh.

Di ranah ilegal, penegakan hukum harus diperkuat. Pesta demokrasi seperti pilkada seolah-olah jadi tempat bagi siapa pun untuk melanggar aturan yang telah dibuat. Mencermati Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Peraturan KPU No 4 Tahun 2017 tentang Kampanye, sebanyak 24 larangan dalam berkampanye bagi pasangan calon.

Dalam PKPU Nomor 4 Tahun 2017 Pasal 70 (2) telah disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang mencetak dan memasang alat peraga kampanye selain dalam ukuran, jumlah dan lokasi yang telah ditentukan oleh KPU. Faktanya, jauh sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon, setiap sudut kota bertaburan baliho, spanduk, dan jenis lainnya berisi ajakan untuk mencoblos.

Aspek lain yang perlu jadi titik pandang semua pihak ialah akun media sosial selain yang didaftarkan secara resmi ke KPU. Meski KPU telah memberi batas maksimal 5 akun untuk setiap pasangan calon, tentu saja di zaman digitalisasi ini, akun media sosial lainnya sulit untuk dilarang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar