Seharusnya
Dia Mundur
Suparman Marzuki ; Mantan Ketua Komisi Yudisial
|
TEMPO.CO,
01 Februari
2018
Etika hakim Mahkamah Konstitusi (MK)
mengharuskan hakimnya menjaga kehormatan martabat pribadi dan jabatan. Kalau
seorang hakim gagal melakukan itu, karena terbukti melakukan pelanggaran
etik, dia sudah kehilangan kehormatan dan martabat sehingga tak pantas lagi
mengemban jabatan tersebut.
Ketua MK Arief Hidayat, yang seharusnya
menjadi teladan dan lokomotif perbaikan MK, justru dijatuhi sanksi etik oleh
Dewan Etik MK karena terbukti melanggar etik dengan membuat surat sakti
(katebelece) kepada salah seorang pimpinan Kejaksaan Agung agar memberikan
perhatian khusus kepada kerabatnya pada 2016. Respons Arief setelah diberi
sanksi tersebut kurang-lebih menyatakan bahwa dia menerima dan menjadikan
sanksi itu sebagai pelajaran serta akan mengambil hikmahnya.
Kalaulah sanksi tersebut menimpa orang
yang bukan hakim, respons semacam itu bagus-bagus saja. Tapi dia hakim dan
bahkan Ketua MK, maka respons yang sepadan seharusnya mundur. Dia telah batal
untuk memegang jabatan amanah rakyat dan negara. Etisnya, dia kembalikan
jabatan itu kepada si pemberi amanat, yaitu negara untuk dan atas nama
rakyat. Faktanya, dia masih menjadi hakim dan bahkan kembali terpilih menjadi
Ketua MK. Ajaib.
Namun, belum pulih keterkejutan publik
atas perbuatan dan sanksi pertama, Arief kembali diberi sanksi etik oleh
Dewan Etik MK karena terbukti melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota
Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta Pusat. Pertemuan itu terkait
dengan rencana seleksi pemilihan hakim MK terhadap dirinya sendiri. Dewan
Etik menilai perbuatan tersebut merupakan pelanggaran etik.
Dengan demikian, Arief Hidayat telah
dua kali terkena sanksi etik. Dia terbukti tidak bisa berubah dan tidak bisa
menjadi contoh yang baik. Karena itu, hampir tidak mungkin dia mampu
mengangkat citra MK.
Namun agaknya kita tak bisa
mengharapkan hakim pelanggar etik sadar diri lalu mundur. Dibutuhkan
perubahan aturan dan sanksi etik untuk menciptakan sistem kontrol di MK agar
lembaga penjaga konstitusi ini tidak makin terpuruk.
Untuk itu, kita perlu menengok pokok
masalahnya. Pertama, dalam pengisian jabatan hakim MK, syarat integritas dan
kompetensi sering kali diabaikan oleh lembaga pengusul, yaitu eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Ketiga institusi negara tersebut belum memiliki
standar seleksi yang seragam, sehingga menyeleksi sesuai dengan selera
masing-masing.
Kedua, orang-orang yang mencalonkan
diri tidak pula menakar diri. Apakah dirinya pantas serta memiliki integritas
dan kompetensi untuk menjadi penjaga konstitusi? Sebagian calon, bahkan para
pencari kerja, mendaftar pada semua jabatan negara, seperti Mahkamah Agung
(MA), Komisi Yudisial (KY), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal,
keempat lembaga negara tersebut memiliki kewenangan yang berbeda. Ketiga,
putusan MK, yang menganulir kewenangan KY menjadi pengawas hakim MK, membuat
MK rentan terhadap pengaruh dari dalam dan luar.
Ketiga masalah itu terbukti berdampak
buruk bagi MK. Lembaga penjaga konstitusi ini telah berkali-kali didera
penderitaan. Wibawanya tercemar akibat ulah hakim-hakim dan ketua-ketuanya
yang tidak amanah. Peristiwa pertama, seorang hakim melibatkan keluarganya
dalam urusan perkara yang berujung mundurnya hakim tersebut. Peristiwa kedua
yang lebih meruntuhkan MK adalah tertangkap tangannya Akil Mochtar oleh KPK
karena menerima suap dalam penanganan banyak perkara sengketa pemilihan
kepala daerah. Penderitaan MK ketiga dibuat oleh Patrialis Akbar, yang
tertangkap tangan KPK ketika menerima suap penanganan perkara uji materi
undang-undang.
Dari tiga peristiwa tersebut, tentu
wajar bila publik menginginkan hakim-hakim MK yang sezaman dengan Akil
Mochtar, Patrialis Akbar, termasuk yang baru masuk setelah tiga kasus
memalukan itu, belajar dan mengambil hikmah dengan menjadi hakim yang amanah,
menjaga dan menegakkan etika profesi, serta menunjukkan integritas dan
kompetensinya. Istikamah dalam "diam" dan "kesunyian".
Untuk itu, MK harus berubah. Perubahan
itu dapat dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, peraturan
perundang-undangan tentang pengisian jabatan hakim MK harus ditegaskan
sebagai seleksi terbuka, obyektif, dan akuntabel oleh tim seleksi tepercaya.
Kedua, cabang kekuasaan membuka kesempatan pada setiap orang yang memiliki
integritas dan kompetensi untuk ikut seleksi.
Ketiga, kontrol kewenangan hakim MK
patut diberikan kepada institusi eksternal atau minimal dibentuk oleh institusi
eksternal, bukan dibentuk oleh MK dan berkantor di MK. Keempat, pengaturan
kualifikasi sanksi etik yang lebih tegas dan konkret dengan menakar kedudukan
dan perbuatannya. Kalau seseorang, misalnya, sudah dua kali terkena sanksi
dalam jabatan ketua, dia pantas diberhentikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar