Kamis, 01 Februari 2018

Menakar Calon Gubernur BI

Menakar Calon Gubernur BI
Haryo Kuncoro ;  Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakart;  Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan PPs-UGM Yogyakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 01 Februari 2018



                                                           
MASA jabatan Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo, akan habis pada Mei tahun ini. Akan tetapi, Presiden Joko Widodo hingga kini belum mengajukan nama calon Gubernur BI. Usulan nama definitif bakal calon Gubernur BI tampaknya baru diajukan ke DPR pada akhir Februari. Rumor pun ramai bersahutan. Beberapa nama mulai beredar, termasuk petahana yang digadang bisa menakhodai bank sentral untuk lima tahun mendatang. Tak ketinggalan harapan besar disematkan kepada mereka agar peran BI sebagai pendorong ekonomi nasional bisa lebih optimal.

Ekspektasi tersebut masuk akal. Tantangan ke depan yang dihadapi BI jauh berbeda dengan lima tahun terakhir. Pascaterbentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2012, urusan pengaturan perbankan telah dialihkan ke OJK. Alhasil, BI bisa lebih fokus mengurusi moneter dan sistem pembayaran. Dalam konteks moneter, tugas utama BI ialah menjaga stabilitas nilai rupiah. Pertama, kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa di dalam negeri yang dicerminkan dari inflasi. Kedua, kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain yang ditunjukkan rendahnya fluktuasi kurs. Upaya BI untuk mencapai sasaran stabilisasi inflasi dan nilai tukar melalui kebijakan suku bunga acuan, misalnya, menghadapi sejumlah kendala. Pemangkasan BI repo rate sudah berakumulasi 200 basis poin. Namun, nilai tukar rupiah masih fluktuatif, pun di saat perekonomian memasuki era inflasi rendah.

Secara teoretis, jika pergerakan inflasi terjaga, suku bunga acuan akan stabil, nilai tukar juga akan ‘tenang’. Dengan alur logika ini pula, dinamika inflasi seharusnya sebanding dengan laju depresiasi rupiah. Faktanya, selama enam tahun terakhir, total pelemahan rupiah menembus 45%, sedangkan inflasi mencapai 30%. Ketidaksepadanan juga terjadi pada transmisi suku bunga acuan. Penurunan suku bunga kredit perbankan jauh lebih alot daripada suku bunga simpanan. Intinya, BI harus cermat mengombinasikan kebijakan moneter dan instrumen makroprudensial tatkala berhadapan dengan determinan yang berada di luar kendali BI.

Kekuatan faktor eksogen ini sangat kentara lantaran Indonesia menganut rezim devisa bebas. Sistem devisa bebas memberikan keleluasaan bagi semua pelaku ekonomi memobilisasi dana dan modal tanpa kewajiban melapor. Konsekuensinya, pasar keuangan domestik rentan terhadap gejolak likuiditas, cadangan devisa, dan fluktuasi kurs. Tensi permasalahan semakin kompleks ketika pemerintah dan sektor swasta dimasukkan ke analisis. APBN disusun berdasarkan asumsi makroekonomi. Salah satunya yang bersinggungan dengan BI ialah nilai tukar. Fluktuasi kurs niscaya berimbas pada beban pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri pemerintah dan swasta.

Alhasil, siklus krisis keuangan sepuluh tahunan masih membayang di tahun ini. Dalam situasi demikian, BI bisa jadi akan menggunakan diskresi kebijakannya. Untuk menjaga nilai tukar, misalnya, BI terpaksa mengintervensi pasar yang sering dipertanyakan soal akuntabilitasnya atas jumlah dan timing-nya. Bersamaan dengan potensi gejolak nilai tukar, BI juga harus antisipatif terhadap mata uang virtual. Kehadiran cryptocurrency yang memanfaatkan teknologi blockchain bisa menjadi ancaman bagi kebijakan moneter. Posisi BI hingga kini tetap melarang bitcoin sebagai alat pembayaran di seluruh wilayah Republik Indonesia. Namun, apakah BI bisa melarang bitcoin dengan status sebagai ‘produk’ atau ‘investasi’? Kalaupun bisa, persoalannya tidak berhenti sampai di sini. Di satu sisi, Kementerian Keuangan menganggap bitcoin sebagai instrumen investasi sehingga akan tetap memungut pajak penghasilan atas imbal hasil yang didapat.

Di sisi lain, Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) memandang bitcoin sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Alhasil, kasus bitcoin menjadi pembelajaran yang baik. Idealnya, legal aspect diselesaikan lebih dulu lewat koordinasi antarinstansi terkait sebelum bitcoin pesat berkembang. Inisiatif BI mewacanakan untuk menciptakan sendiri mata uang rupiah digital patut diapresiasi untuk menekan aksi spekulasi. Dengan underlying aset yang lebih terjamin, uang rupiah digital diharapkan bisa diterima sebagai alat pembayaran yang sejajar dengan uang fisik dan uang elektronik. Konfigurasi problematika di atas menuntut figur calon Gubernur BI memiliki wawasan yang luas dalam membaca arah perkembangan ekonomi nasional dan global. Kriteria dasarnya, dia harus profesional, mempunyai jejaring internasional, netral, dan tidak gampang diintervensi kepentingan politik terutama menjelang Pemilu dan Pilpres 2019.

Lebih lanjut, kinerja Gubernur BI akan dinilai dari efektivitas kebijakannya. Efektivitas kebijakan BI dibangun dari kredibilitas BI sebagai unit institusi. Oleh karena itu, BI perlu mengomunikasikan di depan perihal rencana kebijakannya kepada publik kemudian konsisten mengimplementasikannya. Bagi BI, pengumuman itu menjadi wahana signalling untuk meraba seberapa besar size dampak dan reaksi yang akan muncul. Hal ini sangat penting sebagai prakondisi untuk konsolidasi diri dalam mempersiapkan infrastruktur pendukung andai kata sasaran yang dituju meleset dari rencana.

Dari sisi pelaku pasar, ekspose rencana kebijakan BI memberikan kesempatan bagi pelaku ekonomi untuk melakukan penyesuaian. Pada fase ini, agen ekonomi secara proaktif akan mengumpulkan semua informasi. Dengan demikian, keputusan konkret yang diambil para pelaku ekonomi sudah efisien dari semua kemungkinan yang tersedia. Respons para pelaku ekonomi yang cepat kendati baru dalam tahap signalling menjadikan eksekusi kebijakan BI seolah hanya sebuah formalitas. Artinya, kebijakan sejatinya sudah berlaku sejak dikomunikasikan dan efeknya sudah bekerja jauh hari sebelum peluncuran kebijakan itu sendiri.

Dalam perspektif yang lebih luas, kebijakan yang terantisipasi ini akan menggeser peran bank sentral. Semula kebijakan BI ialah instrumen untuk mengarahkan ke mana perekonomian melangkah beralih menjadi fasilitator ke mana arah perekonomian hendak berkembang.
Alhasil, kebijakan moneter dan sistem pembayaran memerlukan sentuhan art, alih-alih mendasarkan pada kemampuan governance semata. Dengan format ini, siapa pun yang akan menjadi calon definitif niscaya lebih mudah mewujudkan visi BI menjadi bank sentral terbaik di kawasan regional dalam mengelola inflasi dan nilai tukar. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar