Rabu, 24 Januari 2018

Akal-Akal Verifikasi Faktual

Akal-Akal Verifikasi Faktual
Refly Harun dan Hadar N Gumay  ;  Aktivis Constitutional and
Electoral Reform Centre (Correct)
                                            MEDIA INDONESIA, 22 Januari 2018



                                                           
SALAH satu problem akut negara berkembang seperti Indonesia ialah soal budaya hukum (legal culture), salah satunya ketaatan terhadap putusan pengadilan. Harus diakui, banyak putusan pengadilan yang tidak rasional dan dirasakan tidak adil sehingga memunculkan resistensi. Dalam konteks ini, wajar bila putusan ditentang.

Soalnya, putusan yang adil dan sudah benar seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal verifikasi partai politik (parpol) pun sering dicari lubang tikusnya untuk tidak dilaksanakan.

Kalaupun dilaksanakan, muncul akal-akalan dalam implementasinya.

Putusan MK soal verifikasi faktual parpol merupakan perintah yang terang-benderang, yang tidak boleh ditafsirkan lagi.

Putusan itu tinggal dilaksanakan dengan konsekuensi-konsekuensi penyesuaian jadwal.

Verifikasi itu tidak pula harus diikuti dengan perubahan aturan, baik revisi undang-undang maupun paraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Putusan MK itu ialah dasar hukum yang tingkatannya sama dengan undang-undang.

Bahkan, bisa dikatakan lebih kuat daripada undang-undang karena putusan MK didasarkan atas tafsir konstitusi.

Secara formal, betapa pun putusan-putusannya sering dikritik, hanya MK yang berwenang menguji undang-undang apakah bertentangan dengan konstitusi atau tidak.

Jadi, bila karena ada putusan MK, ada aturan undang-undang yang harus ditabrak, putusan MK yang harus didahulukan.

Dalam konteks verifikasi faktual, bisa saja 12 parpol peserta Pemilu 2014 yang terkena dampak putusan MK diberikan rentang waktu yang sama dengan parpol-parpol yang sudah diverifikasi terlebih dulu agar ada kesetaraan perlakuan.

Tidak soal bila karena memenuhi perintah putusan MK penetapan peserta pemilu jadi berbeda di antara parpol calon peserta Pemilu 2019.

Lagi pula, parpol-parpol yang ada di DPR harusnya tidak perlu ragu kalau memang eksistensi mereka jelas di masyarakat, tidak sekadar hadir ketika musim pemilu.

Hal ini sekaligus membuktikan bahwa parpol bekerja (workable), tidak sekadar menjadi mesin pengeduk suara saban musim pemilu (electoral machine).

Mengakali putusan MK

Verifikasi faktual merupakan proses pengecekan atau pemeriksaan untuk memastikan persyaratan parpol menjadi peserta pemilu.

Hal itu tertuang dalam Pasal 173 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu 2017).

Ketentuan itu lebih lanjut diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.

Sejak semula, UU Pemilu 2017 memuat pengaturan yang tidak adil di antara parpol calon peserta pemilu.

Parpol yang pernah lulus verifikasi tidak diverifikasi kembali dan langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu (Pasal 173 ayat [3]).

Pasal ini dimaksudkan untuk 12 parpol peserta Pemilu 2014, tidak untuk parpol lain, termasuk parpol yang berbadan hukum baru dan tidak ikut Pemilu 2014.

Beberapa parpol baru mengajukan pengujian ketentuan tersebut ke MK, antara lain Partai Idaman (Islam Damai Aman), PSI (Partai Solidaritas Indonesia), Perindo (Partai Persatuan Indonesia), dan Pika (Partai Indonesia Kerja).

Permohonan itu dikabulkan melalui Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017.

MK mewajibkan semua parpol diverifikasi secara faktual. Permohonan konstitusionalitas serupa pernah diputus MK melalui Putusan Nomor 52/PUU-X/2012.

Putusan MK yang membatalkan Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 173 ayat (3) ini berkonskuensi pada harus dilaksanakannya verifikasi faktual terhadap 12 parpol peserta Pemilu 2014.

Rasa aman yang selama ini ada karena 'perlindungan' Pasal 173 ayat (3) sangat mungkin menjadi petaka.

Bisa saja, di antara 12 parpol tersebut tidak memenuhi syarat dalam verifikasi faktual sehingga tidak dapat menjadi peserta Pemilu 2019.

Hal yang sangat mungkin terjadi mengingat parpol merasa 'pede', tidak mempersiapkan dengan baik dan lengkap pemenuhan keseluruhan persyaratan karena adanya ketentuan 'pasti lolos' tersebut.

Padahal, persyaratan dapat menjadi peserta pemilu yang tertuang pada Pasal 173 ayat (2) sangat berat, terutama syarat yang terkait jumlah dan kelengkapan kepengurusan dan keanggotaan yang hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Untuk dapat memenuhi semua persyaratan ini mustahil dapat dikerjakan dalam waktu singkat dan dana yang sedikit.

Upaya 'jalan pintas' parpol peserta Pemilu 2014, terutama yang memiliki wakil di Komisi II DPR, untuk memastikan dapat ikut Pemilu 2019 tidak berhenti.

KPU, yang seharusnya dapat langsung menindaklanjuti putusan MK dengan sedikit mengubah peraturan, oleh DPR dan pemerintah dipagari geraknya dengan tidak adanya persetujuan tambahan anggaran dan perubahan undang-undang atau perppu.

Entah apa yang terjadi dalam rapat dengar pendapat tertutup Komisi II DPR dengan pemerintah yang diwakili Mendagri, KPU, dan Bawaslu.

RDP yang dilaksanakan pada Kamis (18/1) dan Jumat (19/1) pagi itu, menghasilkan kesimpulan bahwa Komisi II, Mendagri, KPU, dan Bawaslu sepakat untuk mengubah PKPU Nomor 11/2017.

Gambaran umum hasil kesepakatan dari rapat tertutup tersebut, perubahan PKPU akan segera dilakukan untuk mengatur verifikasi faktual yang lebih 'sederhana' dan akan diterapkan dalam waktu yang sangat singkat, sampai batas waktu penetapan peserta pemilu tanggal 17 Februari 2018.

Kesepakatan ini menyeruakkan aroma mengakali putusan MK. Bentuk verifikasi faktual yang akan dilaksanakan ini lebih berbau layaknya satu 'sandiwara', dibuat seolah-olah seperti bentuk verifikasi aslinya.

Verifikasi tidak lagi dilakukan dalam waktu yang sama, seperti yang dimaksudkan dalam putusan MK. Tidak lagi selengkap seperti dalam putusan MK.

Demikian pula jumlah sampel yang akan dicek di lapangan, bisa jadi lebih sedikit dan tidak lagi dikunjungi di tempat tinggal masing-masing.

Perubahan tata cara verifikasi faktual yang sangat berbeda ini tidak hanya menimbulkan ketidakadilan baru, tetapi juga akan membuat kualitas verifikasi menjadi anjlok.

Kualitas penyelenggaraan pemilu, yang merupakan faktor penting penentu legitimasi proses dan hasil pemilu, dipertaruhkan dengan membarternya dengan kepentingan politik jangka pendek parpol-parpol untuk bisa pasti ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2019.

Kenekatan DPR dalam menciptakan ketidakadilan antarsesama calon peserta pemilu tidak hanya terjadi di sektor hulu (dengan membuat aturan timpang yang akhirnya dibatalkan MK), tetapi juga di sektor hilir (berupaya mengakali putusan MK tersebut).

Padahal, putusan tetaplah putusan, harus dihormati, betapa pun mungkin kita tidak setuju atau tidak sepakat.

Bagaimanapun caranya, verifikasi faktual harus tetap dilaksanakan.

Ditentukan hasil pemilu

Berbeda dengan putusan tentang presidential threshold, kami menilai putusan MK tentang verifikasi parpol ini sudah tepat karena menghormati prinsip perlakuan yang sama bagi peserta pemilu (prinsip equality).

Tidak boleh ada calon peserta pemilu yang harus berdarah-darah terlebih dulu, sedangkan yang lain melenggang begitu saja karena aturan yang tidak adil.

Kecuali bila hal tersebut sudah ditentukan dalam undang-undang ketika hasil pemilu belum diketahui. Pemilu harus memiliki prinsip predictable in process dan undpredictable in result.

Seandainya aturan yang dibuat itu menyatakan bahwa parpol yang lolos parliamentary threshold (PT) dalam Pemilu 2019 otomatis menjadi peserta pemilu berikutnya, aturan itu dapat dikatakan rasional dan konstitusional.

Semua peserta memiliki kesempatan yang sama karena hasil pemilu belum diketahui (unpredictable in result).

Dalam konteks seperti inilah, ke depan kami mengusulkan tidak perlu lagi dilakukan verifikasi faktual, yang jelas-jelas menguras banyak biaya dan tenaga.

Padahal, belum tentu parpol yang lulus verifikasi itu benar-benar mengakar di masyarakat.

Penentuan peserta pemilu lebih baik ditentukan dari hasil pemilu itu sendiri.

Caranya, undang-undang harus mengatur bahwa parpol yang lolos PT pada pemilu terdekat otomatis dapat mengikuti pemilu berikutnya.

Parpol yang tidak lolos PT tetap dapat mengikuti pemilu berikutnya, tetapi terbatas untuk pemilu tingkat lokal (pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota).

Demikian pula parpol-parpol baru, terlebih dulu harus mengikuti pemilihan tingkat lokal, tidak boleh begitu saja ikut pemilu nasional.

Bila parpol-parpol itu dapat memperoleh kursi di lebih dari setengah jumlah DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (minimal satu kursi di masing-masing DPRD dimaksud), parpol tersebut dapat mengikuti pemilu nasional lagi (pemilihan anggota DPR).

Dengan cara yang demikian, secara alamiah akan terjadi pembatasan jumlah parpol di tingkat nasional karena dua hal. Pertama, karena penerapan PT.

Kedua, akan terjadi disinsentif terhadap pembentukan parpol baru karena tidak bisa langsung ikut pemilu nasional.

Parpol-parpol yang ikut pemilu nasional betul-betul parpol yang mengakar di tingkat nasional, tidak hanya sekadar memiliki kepengurusan di seluruh wilayah.

Penyederhanaan jumlah parpol akan terjadi dengan sendirinya, yang pada gilirannya akan memperkuat atau mengefektifkan sistem presidensial.

Aturan ini lebih demokratis dan konstitusional ketimbang memberlakukan ambang batas pencalonan presiden, yang dalam putusan MK didalilkan sebagai cara-cara untuk memperkuat sistem presidensial.

Padahal, secara faktual dan konstitusional sama sekali tidak rasional alias tidak masuk akal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar