Reshuffle,
Konsolidasi Politik Jelang 2019
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The
Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi
Politik UIN Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Januari 2018
PEROMBAKAN Kabinet Kerja Jokowi kembali
terjadi. Pun menarik membaca pesan politik reshuffle Jokowi kali ini. Pesan
kuatnya ialah konsolidasi politik, terutama terkait dengan politik
representasi Golkar di pemerintahan. Sepertinya, Jokowi sedang meneguhkan
posisi Golkar dalam barisan pendukungnya, terutama di fase krusial, dua tahun
terakhir jelang 2019.
Jangkar
politik
Konteks pesan ini, dari penambahan kursi
Golkar lewat Idrus Marham di Kabinet Kerja dan dipertahankannya Airlangga
Hartarto menjadi menteri perindustrian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar.
Golkar, yang saat Pilpres 2014 mendukung pasangan Prabowo-Hatta, putar haluan
menjadi bagian dari penyokong pemerintah, terutama setelah diakomodasi
melalui reshuffle kabinet kedua, 27 Juli 2016.
Ada simbiosis mutualisme antara Golkar dan
Jokowi. Di satu sisi, Golkar punya kebutuhan strategis berada dalam habitus
kekuasaan. Di sisi lain, Jokowi saat itu sedang berupaya mencapai titik
keseimbangan politik seusai keterbelahan dukungan di DPR yang sempat
menyulitkannya di tahun pertama.
Perubahan bandul politik Golkar tak lepas
dari strategi relasi kuasa Jokowi ke partai ini. Jokowi membiarkan Setya
Novanto (Setnov) menjadi Ketua Umum Golkar di tengah keterbelahan dua kubu,
Agung Laksono dan Aburizal Bakrie.
Jokowi sangat menyadari, Setnov ibarat
'kaca retak' yang setiap saat rentan pecah berantakan, mengingat namanya
dikait-kaitkan dengan kasus hukum dan etika, terutama skandal KTP elektornik.
Lemahnya posisi Setnov secara pribadi dan
kebutuhan strategis Golkar yang baru bangkit dari keterpurukan akibat
dualisme kepemimpinan, membuat Golkar cepat merapat ke Jokowi sejak dini!
Sejak itulah, Jokowi mengantongi dukungan
cukup kukuh di Partai Golkar. Terlebih saat Setnov jadi tersangka dan
terdakwa, maka jalan mulus peneguhan dukungan kian terbuka.
Airlangga Hartarto menjadi jangkar baru
Jokowi tidak hanya di kabinet, tetapi juga di pucuk pimpinan Golkar.
Penguasaan basis dukungan Golkar dalam kekuasan inilah yang bisa dibaca
sebagai variabel penting, mengapa Airlangga tidak terkena reshuffle. Idealnya
memang Jokowi konsisten dengan ikrar semula bahwa para menteri yang
membantunya di kabinet tidak merangkap jabatan.
Akan tetapi, subjektivitas Jokowi selaku
presiden yang masih satu periode dan punya peluang melaju ke periode kedua
inilah sepertinya yang membuat Jokowi mengambil risiko mempertahankan
Airlangga sekalipun itu akan memuncul kritik atas pilihannya tersebut.
Pertanyaan berikutnya mengapa Idrus Marham?
Lagi-lagi, ini pertimbangannya ialah konsolidasi kekuatan. Saat Airlangga
relatif mulus menjadi Golkar-1 (Ketua Umum Golkar), ada dua agenda mendesak
yang harus segera diselesaikannya, yakni pengisian jabatan Ketua DPR dan
mengatasi konflik internal agar tak berkembang menjadi konflik aktual seperti
sebelumnya.
Maka, Airlangga memilih Bambang Soesatyo
yang dinilai relatif bisa berkomunikasi, bisa diterima banyak pihak, baik di
internal maupun eksternal untuk menjadi Ketua DPR serta menjadikan Idrus
Marham sebagai menteri.
Dengan menggeser Idrus menjadi menteri,
besar kemungkinan posisi sekjen lebih mudah diisi tanpa gejolak berarti. Ini
skenario taktis di internal Golkar, yang berpotensi membuat semua faksi cukup
happy!
Baseline
Istana
Yang menarik lainnya dalam pesan politik
pada reshuffle kali ini ialah Jokowi sedang menguatkan baseline Istana,
terutama orang-orang yang menjadi innercircle Presiden.
Konteksnya ialah eskalasi politik nasional
yang akan mencapai titik kulminasi. Di dua tahun terakhir, intensitas
serangan pada Jokowi diprediksi meningkat tajam. Hal itu tentu saja berkaitan
erat dengan akhir jabatan dan momentum perebutan kuasa lima tahunan di 2019.
Sepertinya Jokowi mempertimbangkan sosok
senior, punya pengalaman memimpin, dan bisa membantu menjadi jangkar
komunikasi Jokowi dengan berbagai pihak, terutama lingkar elite militer
purnawirawan ataupun aktif.
Hal itu mengingat betapa banyaknya mantan
jenderal TNI ataupun Polri yang bertebaran di banyak partai. Di situlah letak
sumber daya politik Moeldoko, selain saat ini juga dia menjadi Ketua Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Satu catatan kritisnya, jangan sampai saat
Moeldoko menjadi Kepala Staf Kepresidenan, jarak Jokowi dengan khalayak
menjadi lebar (communication gap) akibat tradisi komunikasi yang lazimnya dipraktikkan
di institusi TNI.
Tak mudah bagi Jokowi mengayuh di tengah
lautan kepentingan. Seperti juga pernah ditulis Vilfredo Pareto dalam
tulisannya, The Circulation of the Elite (dalam William D Perdue, 1986),
sirkulasi elite itu selalu bersifat resiprokal dan mutual interdependence
atau punya ketergantungan bersama. Perombakan bukan sekadar tambal sulam,
melainkan juga harus menguatkan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar