Putusan
MK dan Oligarki Partai
Adelline Syahda ; Peneliti Konstitusi dan
Demokrasi (Kode) Inisiatif
|
KORAN
SINDO, 18 Januari 2018
LAMA dinanti, akhirnya Mahkamah Konstitusi
(MK) membacakan putusan terhadap pengujian dua pasal krusial dalam UU Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilu melalui putusan 53/PUU-XV/2017 pada 11 Januari
lalu. Putusan ini mengabulkan pasal 173 ayat (1) dan (3) tentang verifikasi
partai politik (parpol) dan menolak Pasal 222 tentang ambang batas pengusulan
pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kehadiran putusan MK mestinya
dapat menjawab perdebatan soal konstitusionalitas norma UU Pemilu yang sejak
lama diperdebatkan bahkan jauh sebelum normanya disahkan menjadi UU.
Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu ini mengatur
bahwa parpol peserta pemilu merupakan parpol yang telah ditetapkan atau lulus
verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adapun ayat (3) menyebut bahwa
parpol yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak lagi diverifikasi dan ditetapkan sebagai parpol peserta
pemilu.
Dalam putusannya MK menyatakan bahwa frasa
"ditetapkan" dalam Pasal 173 ayat (1) dan seluruh ketentuan pada
Pasal 173 ayat (3) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. MK menilai pasal
tersebut inkonstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Singkatnya, putusan MK bisa dimaknai bahwa verifikasi faktual berlaku untuk
seluruh parpol calon peserta Pemilu 2019, termasuk 12 parpol yang merupakan
peserta Pemilu 2014. Verifikasi faktual ini tidak lagi hanya berlaku bagi 6
parpol baru yang lolos pada tahap penelitian administrasi.
Menyikapi putusan ini, maka Penyelenggara
Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) bersama Komisi II DPR menggelar rapat dengar
pendapat (RDP) untuk membahas tindak lanjut putusan a quo. Penyelenggara
pemilu dan DPR kemudian bersepakat untuk menindaklanjuti Putusan MK. KPU
selaku penyelenggara menunjukkan kesiapannya untuk melakukan verifikasi
faktual terhadap keseluruhan parpol yang lolos verifikasi administrasi.
Bagi KPU, tantangan pasca-putusan MK adalah
melanjutkan tahapan verifikasi faktual terhadap 12 parpol yang sebelumnya
dikecualikan dalam norma 173 ayat (3) dengan beban waktu yang sangat singkat
karena dibatasi aturan bahwa peserta pemilu sudah harus ditetapkan 14 bulan
sebelum hari pemungutan suara.
Selain itu, KPU juga dihadapkan dengan
beban anggaran tambahan sebagai konsekuensi atas putusan tersebut. Setidaknya
tantangan inilah yang dilemparkan oleh KPU dalam forum RDP untuk dicarikan
jalan keluar bersama.
Terhadap hal ini agaknya Komisi II DPR
memiliki cara baca tersendiri menyikapi putusan MK. Komisi II menilai KPU
tidak perlu melakukan verifikasi faktual terhadap parpol calon peserta Pemilu
2019 karena penelitian administrasi yang telah dilakukan KPU dengan
menggunakan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) adalah juga bentuk
verifikasi sebagaimana yang dimaksud dalam putusan MK. Apalagi, istilah
verifikasi faktual tidak terdapat dalam UU Pemilu melainkan hanya ada dalam
Peraturan KPU (PKPU).
Atas alasan itu pula Komisi II meminta
dilakukan revisi atas PKPU tersebut. Dalam pandangan Komisi II, 16 parpol
yang telah dinyatakan lolos penelitian administrasi sudah dapat ditetapkan
menjadi peserta Pemilu 2019 agar mempermudah proses penetapan menjadi peserta
Pemilu 2019.
Membaca cara pandang Komisi II, ini jelas
bentuk pengingkaran terhadap maksud Putusan MK No 53/PUU-XV/2017. Sebab
semangat dikabulkannya frasa "telah ditetapkan" dalam Pasal 173
ayat (1) dan ayat (3) tentang "parpol yang telah lulus verifikasi tidak
perlu diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai peserta pemilu" jelas
dinyatakan oleh Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki
kekuatan mengikat.
MK menilai pada ranah kepesertaan dalam
kontestasi politik seperti pemilu, perlakuan berbeda (unequal treatment)
tidak dapat dibenarkan. Hal ini merupakan pertentangan dengan hak atas
kesempatan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana Pasal 27
ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Bahkan bagi MK, kehadiran norma di Pasal
173 itu adalah repetisi terhadap norma yang sudah dibatalkan pada Pasal 8
ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012 melalui Putusan MK Nomor 52/PUU- X/2012
terdahulu. Ini berarti, MK menunjukkan pendiriannya terhadap hal yang sama
dengan putusan yang sama pula.
MK kembali menegaskan, demi mencapai
keadilan maka seluruh parpol calon peserta pemilu harus diletakkan pada garis
start yang sama, yaitu memverifikasi seluruh parpol calon peserta pemilu
tanpa membeda-bedakan antara yang telah mengikuti verifikasi pada pemilu
sebelumnya dengan parpol yang belum pernah mengikuti pemilu maupun parpol
yang telah mengikuti pemilu, tapi tidak memperoleh kursi di DPR.
Pertaruhan
KPU
Terhadap hal ini, KPU selaku lokomotif
penyelenggaraan pemilu harus percaya diri dengan posisi semula untuk
konsisten melaksanakan putusan MK. Momentum ini menjadi pertaruhan dalam
menilai sejauh mana keberanian KPU tampil menjadi lembaga yang mandiri, bebas
dari kepentingan pihak terkait sesuai amanat kelembagaan Pasal 22E ayat (5)
UUD 1945. Terhadap proses RDP di Komisi II yang belum menghasilkan titik temu
pun, KPU tentu punya posisi tawar yang kuat mengingat konsultasi dengan DPR
dalam RDP tak lagi bersifat mengikat. DPR sebelumnya pernah
"mengikat" KPU untuk patuh terhadap hasil RDP, namun ketentuan itu
juga sudah dibatalkan MK beberapa waktu lalu.
Setelah memahami dalam-dalam maksud MK
dalam putusannya, maka verifikasi faktual untuk keseluruhan parpol adalah
mutlak harus dilakukan. Hal ini senapas dengan penghormatan terhadap putusan
MK sebagaimana posisi MK sebagai the interpreter of constitution.
Jika Pasal 173 ayat (1) dan (3) harus
ditindaklanjuti karena MK mengabulkan, tidak sama halnya dengan Pasal 222
tentang ambang batas pengusulan pasangan calon (presiden dan wakil presiden)
yang dibatalkan oleh MK. Sejatinya permohonan ini diputuskan MK dengan
dissenting opinion oleh dua hakim yang
concern memberikan argumentasi soal
Pasal 222 ini.
MK menolak karena menilai bangunan Pasal
222 UU Pemilu telah sesuai dengan mandat penguatan sistem presidensial yang
disertai dengan penyederhanaan sistem kepartaian sebagimana terkandung
dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang
berujung pada keefektifan pemerintahan karena presiden terpilih punya
dukungan dari parpol di DPR. Di lain sisi MK kembali memperlihatkan pendiriannya
tentang ambang batas pengusulan pasangan calon merupakan open legal
policy sebagaimana pernah diputuskan
MK.
Melihat pertimbangan hukumnya, pandangan MK
demikian memaknai rumusan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 langsung pada frasa
"gabungan partai politik" sehingga mendorong seluruh parpol untuk
melakukan koalisi tanpa menghiraukan frasa sebelumnya. Di sini, tampaknya MK
tidak melihat rumusan pasal konstitusi secara komprehensif. Padahal dalam
konstruksi Pasal 6A ayat (2) terdapat hak konstitusi bagi parpol peserta
pemilu dalam satu periode pemilu memiliki untuk mengusulkan pasangan calon.
Ketika hak parpol dijamin oleh konstitusi,
UU sebagai turunan tidak boleh mengurangi bahkan menghilangkan hak tersebut.
Dalam kondisi ini justru rumusan Pasal 222 telah terang-terangan mengabaikan
norma konstitusi. Bahkan dalam kerangka open legal policy sekalipun tidak
semestinya pembentuk UU menghilangkan jaminan konstitusional. Karena
bagaimana mungkin membiarkan dalil open legal policy bertentangan dengan konstitusi
sebagai norma tertinggi.
Semestinya, MK meluruskan norma UU yang
memuat pertentangan. Karena bagaimanapun, posisi hak konstitusional parpol
untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tentu lebih
tinggi hakikatnya dibanding tafsir untuk penyederhanaan parpol. Pun terhadap
dalil penyederhanaan parpol, lebih elok kiranya dilakukan pada syarat
pendirian ataupun pemenuhan persyaratan dalam rangkaian untuk mendapatkan
status sebagai peserta pemilu, bukan pada saat parpol telah mendapatkan
status sebagai peserta pemilu.
Ambang batas pencalonan di Pemilu 2019
semakin dipertanyakan ketika dasarnya adalah perolehan kursi/suara parpol di
Pemilu 2014 yang sudah digunakan untuk Pilpres 2014. Ini sulit dinalar karena
pada 2019 pemilu presiden dan pemilu legislatif digelar serentak. Dalam
kondisi pemilu serentak ambang batas menjadi tidak relevan.
Meskipun demikian, dengan telah
dibacakannya Putusan MK soal presidential threshold ini, perdebatan telah
selesai. Bagi parpol calon peserta pemilu tentu sudah mulai mengukur
bayang-bayang kalkulasi untuk membangun koalisi pengusulan pasangan calon.
Hal ini penting mengingat tidak satu pun parpol peserta Pemilu 2014 yang
memenuhi ketentuan Pasal 222 UU Pemilu ini. Harapannya koalisi yang terbangun
nanti berangkat dari penyamaan platform-visi-ideologi sehingga memberikan
preferensi pilihan bagi pemilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar