Zombie
Mahar
Lasarus Jehamat ; Dosen Sosiologi FISIP
Undana Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Januari 2018
MAHAR menjadi isu seksi di jagat politik
lokal dan nasional akhir-akhir ini.
Sebab utamanya ialah adanya dugaan beberapa
partai meminta miliaran rupiah kepada bakal calon gubernur dan bupati.
Setelah gagal mendapatkan dukungan partai,
beberapa bakal calon mulai membuka suara. Kedok politik uang bermotif mahar
mulai terkuak.
La Nyalla Mattalitti di pilkada Jawa Timur,
Siswandi di pilkada Cirebon (Media Indonesia, 13/01) dan Jhon Krisli di
pilkada Palangka Raya (Media Indonesia, 15/01).
Kuat dugaan, kasus mahar yang menimpa
beberapa bakal calon yang gagal tersebut merupakan sebagian kecil dari arus
besar mahar di jagat politik Tanah Air.
Alasannya amat sederhana.
Calon yang lolos tidak mungkin membuka aib
itu sekarang.
Tak ada orang yang mau membawa kepalanya ke
tempat pembantaian. Itu saja.
Pro dan kontra; timpalan dan bantahan mulai
muncul. Yang berdiri di belakang panji partai berkilah.
Mahar diatur dalam Undang-Undang No 10
Tahun 2016 tentang Pilkada
Pasal 47 Ayat 3.
Di sana disebutkan, 'Jika partai atau calon
terbukti menggunakan politik uang, sanksi diskualifikasi dan larangan mengikuti
panggung politik akan dikenakan. Jadi, tidak ada mahar.
Tidak demikian dengan orang yang gagal
karena mahar.
Mereka mengatakan bahwa mahar masih menjadi
hantu di Republik ini.
Mahar seakan menjadi zombi yang menakutkan
semua orang di ruang
politik Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana
masyarakat memahami mahar? Sebab, di saat kelompok partai meminta bukti,
korban sudah bercerita banyak membeberkan semua hal yang dirasakannya.
Di sini, pertarungan antara dua dunia
kembali terjadi.
Dalam sebuah artikel di buku Menulis
Politik:Indonesia Menjadi Utopia, Kleden (2003) menjelaskan dengan sangat
baik suburnya korupsi di Indonesia.
Disebutkan, korupsi di Indonesia itu bukan
karena ketiadaan hukum dan aturan.
Merebaknya korupsi karena kita justru gemar
mengutak-atik realitas simbolis dan enggan mempraktikkan hukum dan aturan itu
di dunia sosial.
Realitas mahar politik
Politik dianggap sebagai sesuatu yang
sangat mahal jika dilihat dari aspek ekonomi.
Mahal karena untuk urusan politik, banyak
orang menghabiskan uang, aset, dan sumber daya.
Pemahaman demikian terjadi karena politik
dilihat hanya sebatas cara dan alat untuk mendapatkan kekuasaan.
Politik dimengerti sejauh mendapatkan
kekuasaan politik untuk tujuan ekonomi.
Padahal, jika ditilik lebih dalam, politik
hanyalah alat.
Politik ialah cara atau mekanisme untuk
merumuskan kebijakan yang tepat, oleh orang yang tepat, pada saat yang tepat.
Masalahnya, ruang politik kita diisi badut-badut politik.
Politik ditumpangi komprador kapitalis yang
hanya mau memburu rente ekonomi dan enggan berkecimpung memikirkan nasib
rakyat.
Di sana, politik dibuat semahal dan serumit
mungkin.
Menyebut mahal dan rumit, bayangan kita
harus tertuju pada deretan angka uang untuk kegiatan politik.
Di situ, mahar wajib disebut. Mahar disebut
karena dalam politik Indonesia, mahar seolah menjadi entitas yang sungguh
memiliki pesona di satu sisi dan menakutkan pada sisi yang lain.
Secara yuridis di ruang realitas simbolis,
mahar telah dihapus. Mahar telah mati.
Fakta di realitas sosial menunjukkan hal
lain. Secara empirik, mahar terus diproduksi dan direproduksi dalam bentuknya
yang lain.
Uang pendaftaran, ongkos saksi, uang
administrasi, dan sebagainya menjadi modus lain dari mahar yang sama. Di
sini, mahar berubah dengan begitu banyak varian.
Dalam praktiknya, fenomena pemberian uang
dalam beragam modus tersebut dilakukan dengan sangat rapi. Dua hal yang
menjadi indikator utama besaran mahar.
Menurut pengakuan teman-teman pengurus
beberapa partai, mahar dihitung berdasarkan kekuatan jaringan dan jumlah
kursi di lembaga legislatif.
Jika seseorang memiliki jaringan politik ke
pusat kekuasaan partai politik, mahar bisa didiskusikan dan amat mudah
dinegosiasikan.
Selain itu, besaran mahar sangat ditentukan
jumlah kursi yang dimiliki sebuah partai di parlemen.
Maka, jika ada yang mengatakan bahwa mahar
telah mati, pemahaman seperti itu harus diluruskan kembali.
Erosi nilai
Dalam Limiting Democracy: The Erosion of
Electoral Rights in Australia, Hughes dan Costar (2006) menyebutkan bahwa
politik uang menjadi fenomena umum dalam ruang demokrasi di Australia dan
banyak negara lain di dunia.
Itulah sebabnya, Australia merumuskan
sebuah regulasi yang membatasi berbagai bentuk sumbangan politik.
Uang dipakai untuk memuluskan langkah elite
politik dalam sebuah kontestasi politik.
Hughes dan Costar mencatat bahwa kampanye
menjadi momen penting bagi mengalirnya banyak uang dalam langgam politik
nasional.
Selanjutnya, partai politik menjadi aktor
yang paling bertanggung jawab lahirnya politik uang itu.
Lain Asutralia lain pula Indonesia. Di
Indonesia, politik uang tidak hanya terjadi pada saat kampanye berlangsung.
Di Indonesia, politik uang sudah tampak
sejak seseorang berkeinginan ikut terlibat dalam kontestasi politik.
Mahar mulai muncul di sini. Dalam The Moral
Force of Indigenous Politics: Critical Liberalism and the Zapatistas, Jung
(2008) menyebutkan bahwa uang atau mahar ialah bentuk lain dari upaya
perongrongan nilai moral dan etika sosial. Dalam bahasa yang sangat lugas,
Jung mengatakan bahwa mahar ialah indikator lain dari melemahnya integritas
bangsa.
Menarik jika kita membandingkan pendapat
dari beberapa ahli di atas. Melacak sebab munculnya politik uang, Hughes dan
Costar serta Jung sepakat bahwa fenomena itu merupakan realitas yang tampak
dalam politik liberal masa kini.
Nafsu kekuasaan dan semangat memangsa pihak
lain merupakan alasan dasarnya. Dengan demikian, muncul semacam disposisi
mental dari para aktor yang terlibat dalam politik uang.
Selanjutnya, dalam The Priority of
Democracy: Political Consequences of Pragmatism, Knight and Johnson (2011)
menyebut partai politik masa kini lebih cenderung menampakkan inkonsistensi
peran politiknya.
Beberapa inkonsistensi peran terutama dalam
soal-soal berikut ini, yakni transaksi ekonomi, distribusi hak, politik
konstitusional, pengambilan keputusan, serta hak milik dan penggunaan sumber
daya.
Dalam praktiknya, empat peran lain
dijalankan secara vulgar dan ditunjukan pada peran pertama (economic
exchange).
Realitas itu menunjukkan bahwa pragmatisme
di ruang ekonomi dipraktikkan dengan amat sangat jelas di ruang politik.
Di sana, ideologi kerakyatan tidak lagi
berperan penting.
Sebab, yang berperan di sana ialah ideologi
pragmatisme.
Itulah alasan mengapa banyak orang menyebut
partai politik saat ini lebih banyak berperan sebagai mesin penyalur tenaga
kerja politik ketimbang lembaga-lembaga yang bisa melahirkan produk kebijakan
prorakyat.
Politik lokal Indonesia
Seperti yang dijelaskan di atas, mahar
politik saat ini telah bermetamorfosis dalam bentuknya yang lain.
Di ruang politik lokal, mahar diubah
menjadi sejumlah uang administrasi dan beragam uang survei yang ditetapkan
partai politik.
Saya sepakat dengan regulasi partai politik
yang telah disahkan DPR (Undang Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada).
Masalahnya, apakah di sana juga menyebut
mahar dalam bentuk yang lain di langgam patron klien? Saya tidak yakin.
Masalah dasarnya karena elite politik di
Indonesia terlampau cerdik untuk mengubah mahar menjadi jaringan politik.
Elite politik mahir mengubah mahar menjadi
bentuk-bentuk mahar yang lain.
Kecerdikan elite politik jauh melampaui
kehebatan aturan yang mengaturnya.
Uang adminstrasi dan ongkos survei menjadi
beberapa di antaranya.
Harus dikatakan bahwa mahar masih hidup dan
akan tetap hidup sejalan dengan masuknya manusia bermental budak dalam ruang
politik kita.
Tantangan demokrasi di ruang politik lokal
dan nasional ialah mengontrol tumbuh suburnya mahar dalam bentuknya lain.
Menutup mata akan munculnya realitas itu
sama dengan menyuburkan praktik mahar di ruang politik lokal dan nasional.
Kalau itu terus terjadi, mekanisme untuk
mendapatkan pemimpin yang berkualitas hanyalah sebuah utopia; semacam mimpi
yang tidak kesampaian.
Itulah zombi mahar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar