Jumat, 19 Januari 2018

Menolak Demokrasi Berbiaya Tinggi

Menolak Demokrasi Berbiaya Tinggi
Masdar Hilmy  ;  Guru Besar dan Wakil Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Ampel Surabaya
                                                     JAWA POS, 18 Januari 2018



                                                           
TAHUN politik 2018 baru saja dimulai. Tetapi, ruang publik kita sudah dipanaskan oleh sejumlah kontroversi politik. Salah satu yang sedang viral adalah pengakuan seorang elite yang mengaku dimintai ”uang mahar” Rp 40 miliar oleh salah satu parpol sebagai syarat memperoleh rekomendasi maju dalam pilgub Jatim.

Mendengar pengakuan itu, banyak pertanyaan berkecamuk di benak kita. Sedemikian parahkah realitas politik kita? Benarkah biaya politik di arena pilkada sedemikian mahalnya? Bagaimana nasib pasangan calon kontestan yang berkualitas dan berintegritas tinggi, tetapi tidak memiliki cukup biaya politik untuk maju pilkada?

Ada baiknya kita menyikapi dua pengakuan di atas secara dingin, kritis, dan tak berlebihan untuk kemudian mencari solusi terbaik demi perbaikan kualitas demokrasi di negeri ini. Sikap proporsional atas menggejalanya politik uang dalam pilkada diperlukan agar tidak terjadi sikap nihilistik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara: apatisme dan ketidakpercayaan publik (public distrust) atas sistem pemilu dan demokrasi di negeri ini.

Apatisme dan ketidakpercayaan publik bisa mengantarkan naiknya sistem politik nondemokrasi ke panggung politik negeri ini, seperti otoritarianisme, diktatorisme, totalitarianisme, despotisme, khilafah, dan semacamnya. Sekalipun bukanlah yang paling sempurna, demokrasi terbukti yang ”terbaik” di antara sistem-sistem politik yang pernah ada. Kata Winston Churchill, ”Demokrasi adalah sistem terburuk, kecuali sistem-sistem politik lain yang pernah dicobakan (dan terbukti gagal).”

Yang perlu disadari oleh seluruh komponen bangsa ini bahwa politik uang memiliki dampak destruktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sudah banyak kajian dilakukan atas korelasi negatif tingginya biaya politik dan politik uang di satu sisi dengan penurunan kualitas kehidupan publik di sisi lain. Cukup lah dikemukakan di sini bahwa tingginya biaya politik yang menyertai proses electoral bisa mengakibatkan banyak kerusakan di ruang publik, seperti korupsi, kemiskinan, ketimpangan ekonomi (rasio gini), dan semacamnya (Arthur Lupia and John G. Matsasuka, ”Direct Democracy: New Approaches to Old Questions,” 2004).

Mahalnya perhelatan politik demokrasi sebenarnya berawal dari pembiaran para elite bangsa ini yang terkesan menoleransi biaya politik dalam berdemokrasi. Mereka bisa saja berdalih bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini, terlebih dalam dunia politik.

Memang ongkos politik berbeda secara substantif dengan politik uang. Jika politik uang sering dimaknai sebagai bagi-bagi uang menjelang pemilihan, ongkos politik adalah biaya politik yang menyertai proses-proses electoral, antara lain dana kampa­nye, konsolidasi politik, biaya survei, dan semacamnya. Memang besaran dana kampanye telah diatur dalam UU. Peraturan KPU No 13 Tahun 2016 dalam pasal 7 ayat 1, misalnya, mengatur besaran uang sumbangan kampanye dari perorangan Rp 75 juta dan dari korporasi atau lembaga paling banyak Rp 750 juta.

Sekalipun demikian, ketentuan itu tidak mengatur jumlah maksimal dana politik yang diperbolehkan untuk membiayai proses electoral dalam pilkada. Dari situlah praktik-praktik politik berbiaya tinggi terjadi. Kontestan pilkada akan mengagregasi pendanaan politik dari sebanyak mungkin sumber, baik perseorangan, lembaga, maupun sumber lain.

Ketika terjadi politik berbiaya tinggi, demokrasi terancam mengalami defisit dan reduksi makna. Demokrasi tidak muncul sebagai mekanisme perbaikan kehidupan publik, tetapi justru merusaknya. Praktik-praktik korupsi menjadi peluang. Para kontestan yang telah memenangkan proses electoral berusaha menutup biaya ”investasi politik” dari APBN/APBD, pajak rakyat, sumber pendapatan negara, dan semacamnya.

Mekanisme demokrasi semacam itu akan menimbulkan efek domino yang destruktif bagi negara dan masyarakat. Kebijakan negara rawan dibajak oleh kelompok kepentingan yang merasa telah berjasa dalam pilkada sehingga kepentingan publik akan tergadaikan.

Pendek kata, tidak ada yang bisa diharapkan dari rezim semacam itu dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan ekonomi (rasio gini), dan semacamnya. Sebab, rezim politik yang dihasilkan dari mekanisme demokrasi semacam itu tidak bisa berfokus merealisasikan janji-janji politiknya. Padahal, demokrasi mestinya bermakna pemecahan berbagai persoalan bangsa (Xavier de Souza Briggs, Democracy as Problem Solving, 2008).

Memperhatikan betapa destruktifnya dampak politik berbiaya tinggi, tidak ada alternatif lain bagi kita kecuali menolaknya dengan melakukan hal-hal berikut: pertama, mengampanyekan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, baik dan bersih (good and clean governance).

Kedua, penguatan sistem pengawasan resiprokal, baik di tingkat elite maupun akar rumput, tentang bahaya politik uang dan batasan donasi politik. Secara umum, masyarakat kita sebenarnya sudah menjadi pemilih rasional dalam berpolitik. Tetapi, harus diakui, tingkat rasionalitas mereka masih sebatas rasionalitas pragmatis: memilih karena dibayar. Oleh karena itu, rasionalitas pemilih harus didorong setahap lagi agar mereka memilih atas dasar kesadaran penuh bahwa politik uang berdampak buruk terhadap penurunan demokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar