Menolak
Demokrasi Berbiaya Tinggi
Masdar Hilmy ; Guru Besar dan Wakil
Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Ampel
Surabaya
|
JAWA
POS, 18 Januari 2018
TAHUN politik 2018 baru saja dimulai.
Tetapi, ruang publik kita sudah dipanaskan oleh sejumlah kontroversi politik.
Salah satu yang sedang viral adalah pengakuan seorang elite yang mengaku
dimintai ”uang mahar” Rp 40 miliar oleh salah satu parpol sebagai syarat
memperoleh rekomendasi maju dalam pilgub Jatim.
Mendengar pengakuan itu, banyak pertanyaan
berkecamuk di benak kita. Sedemikian parahkah realitas politik kita? Benarkah
biaya politik di arena pilkada sedemikian mahalnya? Bagaimana nasib pasangan
calon kontestan yang berkualitas dan berintegritas tinggi, tetapi tidak
memiliki cukup biaya politik untuk maju pilkada?
Ada baiknya kita menyikapi dua pengakuan di
atas secara dingin, kritis, dan tak berlebihan untuk kemudian mencari solusi
terbaik demi perbaikan kualitas demokrasi di negeri ini. Sikap proporsional
atas menggejalanya politik uang dalam pilkada diperlukan agar tidak terjadi
sikap nihilistik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara: apatisme dan
ketidakpercayaan publik (public distrust) atas sistem pemilu dan demokrasi di
negeri ini.
Apatisme dan ketidakpercayaan publik bisa
mengantarkan naiknya sistem politik nondemokrasi ke panggung politik negeri
ini, seperti otoritarianisme, diktatorisme, totalitarianisme, despotisme,
khilafah, dan semacamnya. Sekalipun bukanlah yang paling sempurna, demokrasi
terbukti yang ”terbaik” di antara sistem-sistem politik yang pernah ada. Kata
Winston Churchill, ”Demokrasi adalah sistem terburuk, kecuali sistem-sistem
politik lain yang pernah dicobakan (dan terbukti gagal).”
Yang perlu disadari oleh seluruh komponen
bangsa ini bahwa politik uang memiliki dampak destruktif dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sudah banyak kajian dilakukan atas korelasi negatif
tingginya biaya politik dan politik uang di satu sisi dengan penurunan
kualitas kehidupan publik di sisi lain. Cukup lah dikemukakan di sini bahwa
tingginya biaya politik yang menyertai proses electoral bisa mengakibatkan
banyak kerusakan di ruang publik, seperti korupsi, kemiskinan, ketimpangan
ekonomi (rasio gini), dan semacamnya (Arthur Lupia and John G. Matsasuka,
”Direct Democracy: New Approaches to Old Questions,” 2004).
Mahalnya perhelatan politik demokrasi
sebenarnya berawal dari pembiaran para elite bangsa ini yang terkesan
menoleransi biaya politik dalam berdemokrasi. Mereka bisa saja berdalih bahwa
tidak ada yang gratis di dunia ini, terlebih dalam dunia politik.
Memang ongkos politik berbeda secara
substantif dengan politik uang. Jika politik uang sering dimaknai sebagai
bagi-bagi uang menjelang pemilihan, ongkos politik adalah biaya politik yang
menyertai proses-proses electoral, antara lain dana kampanye, konsolidasi
politik, biaya survei, dan semacamnya. Memang besaran dana kampanye telah
diatur dalam UU. Peraturan KPU No 13 Tahun 2016 dalam pasal 7 ayat 1,
misalnya, mengatur besaran uang sumbangan kampanye dari perorangan Rp 75 juta
dan dari korporasi atau lembaga paling banyak Rp 750 juta.
Sekalipun demikian, ketentuan itu tidak
mengatur jumlah maksimal dana politik yang diperbolehkan untuk membiayai
proses electoral dalam pilkada. Dari situlah praktik-praktik politik berbiaya
tinggi terjadi. Kontestan pilkada akan mengagregasi pendanaan politik dari
sebanyak mungkin sumber, baik perseorangan, lembaga, maupun sumber lain.
Ketika terjadi politik berbiaya tinggi,
demokrasi terancam mengalami defisit dan reduksi makna. Demokrasi tidak
muncul sebagai mekanisme perbaikan kehidupan publik, tetapi justru
merusaknya. Praktik-praktik korupsi menjadi peluang. Para kontestan yang
telah memenangkan proses electoral berusaha menutup biaya ”investasi politik”
dari APBN/APBD, pajak rakyat, sumber pendapatan negara, dan semacamnya.
Mekanisme demokrasi semacam itu akan
menimbulkan efek domino yang destruktif bagi negara dan masyarakat. Kebijakan
negara rawan dibajak oleh kelompok kepentingan yang merasa telah berjasa
dalam pilkada sehingga kepentingan publik akan tergadaikan.
Pendek kata, tidak ada yang bisa diharapkan
dari rezim semacam itu dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada,
seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan ekonomi (rasio gini), dan
semacamnya. Sebab, rezim politik yang dihasilkan dari mekanisme demokrasi
semacam itu tidak bisa berfokus merealisasikan janji-janji politiknya.
Padahal, demokrasi mestinya bermakna pemecahan berbagai persoalan bangsa
(Xavier de Souza Briggs, Democracy as Problem Solving, 2008).
Memperhatikan betapa destruktifnya dampak
politik berbiaya tinggi, tidak ada alternatif lain bagi kita kecuali
menolaknya dengan melakukan hal-hal berikut: pertama, mengampanyekan
prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, baik dan
bersih (good and clean governance).
Kedua, penguatan sistem pengawasan
resiprokal, baik di tingkat elite maupun akar rumput, tentang bahaya politik
uang dan batasan donasi politik. Secara umum, masyarakat kita sebenarnya
sudah menjadi pemilih rasional dalam berpolitik. Tetapi, harus diakui,
tingkat rasionalitas mereka masih sebatas rasionalitas pragmatis: memilih
karena dibayar. Oleh karena itu, rasionalitas pemilih harus didorong setahap
lagi agar mereka memilih atas dasar kesadaran penuh bahwa politik uang
berdampak buruk terhadap penurunan demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar