Pesan
Politik Natal
Otto Gusti ; Alumnus Hochschule für Philosophie Muenchen,
Jerman, Dosen Filsafat dan HAM di STFK Ledalero, Maumere, Flores
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Desember 2017
RENCANA penyelenggaraan
Perayaan Natal Bersama di Lapangan Monas dengan biaya anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta sempat memicu kontroversi (Media
Indonesia, 21/12). Sejumlah warga mangajukan protes atas rencana ini. Alasannya,
sekali lagi agama di sini dipakai sebagai instrumen di tangan penguasa untuk
kepentingan politik pencitraan dan kontestasi demokrasi elektoral pada 2019.
Tentu aneh dan seharusnya
patut dicurigai jika negara berpura-pura dermawan untuk mengatur perayaan
Natal. Secara historis dalam peristiwa Natal, umat Kristen memperingati
kelahiran seorang bayi yang kehadiran-Nya ditolak negara. Bayi tersebut
bernama Yesus Kristus dan umat Kristen dalam cahaya iman memandang-Nya
sebagai putra Allah. Sejak awal kehadiran di tengah dunia, bayi Yesus
dianggap sebagai ancaman bagi para penguasa politik, ekonomi, dan agama.
Berbela
rasa dan provokasi
Esensi dari pesan Natal
ialah peristiwa Allah menjelma menjadi manusia. Dalam peristiwa Natal, umat
kristiani merayakan Allah yang meninggalkan kebesaran dan masuk ke kerapuhan
sejarah manusia yang fana. Natal adalah simbol radikalitas solidaritas Allah
dengan manusia dan terutama dengan para korban yang terpinggirkan.
Keterlibatan Allah dalam
sejarah manusia bertujuan mengangkat martabat manusia dan memancarkan sinar
pengharapan. “Bangsa yang berjalan dalam kegelapan telah melihat terang yang
besar.” Harapan ini dinubuatkan Nabi Yesaya beberapa abad sebelum Yesus
lahir.
Nubuat ini ibarat tetesan
embun bagi bangsa Israel yang berada di tengah prahara ketakutan dan
penjajahan di tempat pembuangan Asiria. Putra raja yang dijanjikan itu saleh
seperti Musa dan para bapa bangsa, berani seperti Daud, dan bijaksana serta
cinta damai seperti Salomo.
Kehadiran Yesus dipandang
sebagai ancaman bagi para penguasa dunia lantaran cara hidup-Nya yang
dipandang terlalu provokatif untuk dunia. Provokasi Yesus tidak bersifat
kategorial, tapi total (Jon Sobrino, 2008). Bersifat total karena bertumbuh
dari sebuah inkarnasi ke tengah dunia yang dikuasai kejahatan dan kegelapan
dosa. Dalam dunia seperti ini tak mungkin Yesus bersikap netral, sebab
bersikap netral berarti membiarkan kejahatan berkuasa. Atas nama Kerajaan
Allah, Yesus beroposisi terhadap kerajaan kekelaman.
Penyaliban dan kematian
Yesus merupakan konsekuensi logis dari cara hidup dan keberpihakan-Nya yang
radikal kepada orang-orang miskin. Pewartaan dan praksis hidup Yesus adalah
ancaman besar bagi para pemimpin agama dan politisi masa itu. Yesus adalah
seorang figur kontroversial, bahkan provokatif. Hidupnya mengganggu kemapanan
para penguasa, maka ia dibenci dan dihukum mati. Provokasi Yesus tidak
bersifat artifisial untuk sebuah pencitraan, tapi eksistensial. Yesus atas
nama Allah yang membebaskan dan berpihak pada orang-orang miskin membongkar
berhala-berhala para pemuka agama yang berkolusi dengan para pengusaha hitam
serta politisi korup berlagak santun dan saleh pada masanya.
Logos
dan politik
Allah yang menjelma
menjadi manusia dalam peristiwa Natal itu oleh penginjil Yohanes disebut
sabda, bahasa, atau logos. Tanpa bahasa tak ada komunikasi antarmanusia, tak
ada komunitas, agama, dan negara. Pemikir politik zaman Yunani Kuno,
Aristoteles (384/383-322 SM), mengartikan manusia sebagai ‘zoon logon
echon’–‘makhluk yang memiliki logos atau bahasa’. Bagi Aristoteles, manusia
adalah makhluk berbahasa. Bahasa bagi Aristoteles adalah sarana komunikasi
yang mempertemukan manusia dan membangun komunitas kolektif.
Aristoteles membedakan
tiga tingkatan bahasa. Pada tingkatan pertama terdapat bahasa binatang berupa
bunyi atau suara (phone). Lewat gonggongan, seekor anjing misalnya memberi
tanda. Bahasa binatang hanya mengandung bunyi dan mengekspresikan nafsu atau
rasa sakit. Pada level kedua dan ketiga terdapat bahasa manusia yang mengungkapkan
asas manfaat (utilitarisme) dan kerugian, diskursus tentang yang baik dan
buruk, yang adil dan ketidakadilan. Pada tingkat inilah muncul esensi dari
yang politis pada manusia. Kesamaan pandangan bermuara pada lahirnya
komunitas ekonomi dan politik.
Sebagai makhluk politis,
manusia seharusnya melampaui gonggongan animalis ekspresi syahwat kekuasaan
seperti dipertontonkan politisi. Politik harus mampu membangun komunikasi dan
deliberasi rasional humanistis guna mencari kebenaran dan bertindak untuk kesejahteraan
bersama. Dengan demikian, kebahagiaan sebagai tujuan akhir politik dapat
tercapai. Untuk itu, logos atau bahasa politik harus steril terhadap
manipulasi serta kebohongan publik. Bahasa politik adalah ekspresi kebenaran
dan cahaya penuntun untuk bertindak etis. Kebenaran dan kebaikan sejati itu
dalam bahasa Penginjil Yohanes hanya ditemukan dalam logos (Allah) yang
merupakan sumber dan pencipta segala bentuk komunikasi yang memungkinkan
terbangunnya solidaritas antarmanusia.
Dalam peristiwa Natal,
logos itu menjelma menjadi manusia, mengangkat martabat manusia, dan menjadi
terang yang menuntun perjalanan sejarah bangsa-bangsa. Semoga perayaan Natal
dapat melampaui kesalehan privat-ritualistis, dan menjadi bara api
spiritualitas yang membakar semangat guna menuntaskan masalah-masalah etika,
sosial, dan moral yang tengah mendera bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar