Peran
Perempuan di Milenium Ketiga
Amelia Anggraini ; Anggota Ketua Bidang Kesehatan Perempuan dan
Anak
DPP Partai NasDem
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Desember 2017
MENJELANG peringatan Hari Pahlawan pada
November lalu, Presiden Joko Widodo memberikan gelar pahlawan nasional kepada
empat tokoh. Salah seorang di antara mereka ialah Laksamana Malahayati,
perempuan asal Aceh yang gigih melakukan perlawanan terhadap upaya monopoli
dan penaklukan bangsa Eropa terhadap jalur perdagangan di Nusantara.
Sejarah menuliskan Malahayati merupakan
laksamana laut perempuan pertama di dunia. Dia panglima perang Kesultanan
Aceh yang tersohor berkat keberanian dan kegigihannya melawan armada angkatan
laut Belanda dan Portugis pada abad ke-16. Abad itu menjadi momen ekspedisi
dan ekspansi markantilis bangsa Eropa dalam mencari rempah-rempah yang tengah
bergairah di kawasan itu. Cornelis de Houtman, penjelajah Belanda pertama
yang tiba di RI, menjadi salah seorang yang tahu betul rasanya digebuk
pasukan Malahayati. Saat berupaya menggoyang Aceh pada 1599, pasukan Cornelis
de Houtman justru porak-poranda.
Malahayati juga sempat mengecap pendidikan
di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis. Di sana pula ia menjalin hubungan
dengan perwira senior yang lantas menjadi suaminya. Sejarah kemudian mencatat
sang suami gugur bersama ratusan prajurit dalam sebuah pertempuran hebat di
laut. Berikutnya, Malahayati mengumpulkan para istri prajurit yang gugur dan
memimpin mereka menjadi prajurit yang disebut Inong Bale atau prajurit para
janda.
Mengikuti jejak Malahayati, tepatnya saat
zaman pergerakan nasional tengah tumbuh subur, di kota kecil Padang Panjang,
seorang perempuan berusia 23 tahun bernama Rahma El Yunisyah mendirikan
sekolah khusus perempuan yang diberi nama Diniyah School Putri.
Diniyah School Putri, sekolah perempuan
formal pertama di RI, itu memberikan materi pendidikan agama dan pelajaran
umum. Itu ditambah dengan pelatihan keterampilan bagi perempuan, seperti menjahit
dan menyulam. Sekolah itu menjadi sesuatu yang sangat maju ketika itu karena
perempuan masih dianggap sebagai subordinat dari kaum laki-laki.
Konsistensi Rahma El Yusyiah dalam mendidik
kaum perempuan telah membuat Rektor Universitas Al-Azhar Abdurrahman Taj
datang mengunjungi Diniyah Putri pada 1955. Sang rektor tertarik dengan
sistem pembelajaran khusus yang diterapkan Diniyah Putri dan menginspirasinya
mendirikan Kuliyyatul-Lil-Banat (kampus Al-Azhar khusus putri) di Universitas
Al-Azhar. Rahmah El Yunisyah pun dinobatkan sebagai syaikhah (guru besar
wanita) pertama dari Universitas Al-Azhar.
Pendirian Diniyah Putri ini terwujud
beberapa tahun sebelum terlaksananya Kongres Perempuan I pada 22-25 Desember
1928 di Yogyakarta. Kongres itu dihadiri tidak kurang dari 1.000 orang dari
sekitar 30-an organisasi perempuan. Kongres mengukuhkan perempuan harus
berpartispasi mewujudkan Indonesia merdeka.
Hasil kongres juga memuat beberapa hal yang
sangat mendasar. Pertama, mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk
menambah sekolah bagi anak perempuan. Kedua, pemerintah wajib memberikan
surat keterangan pada waktu menikah. Ketiga, diadakan peraturan yang
memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia.
Keempat, memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan
belajar, tetapi tidak memiliki biaya pendidikan.
Kelima, mendirikan suatu lembaga kursus
pemberantasan buta huruf, kursus kesehatan, serta mengaktifkan usaha
pemberantasan perkawinan anak. Keenam, mendirikan suatu badan yang menjadi
wadah organisasi pemufakatan dan musyawarah dari berbagai perkumpulan di
Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).
Peran dan pekerjaan mendesak
Pada catatan sejarah di atas, ada dua perempuan hebat dengan peran yang
sangat berbeda. Peran yang tidak perlu saling menegasikan karena secara
natural perempuan memang penemu, pendidik, sekaligus pejuang yang tangguh. Di
zaman dengan persoalan yang semakin kompleks dewasa ini, penemuan dan inovasi
di bidang teknologi semakin menjadi arus utama. Ini membuat peran perempuan
semakin penting dalam kehidupan bermasyarakat, dalam proses pembangunan, dan
terutama dalam membentuk karakter generasi setiap zaman.
Ada beberapa peran penting yang bisa
dimainkan perempuan modern saat ini. Pertama, berjuang secara sejajar dengan
laki-laki di bidang apa pun. Artinya, tidak perlu ada dikotomi antara
perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial karena perbedaan jenis kelamin
merupakan kodrat. Soal ini juga bukan hambatan untuk bisa menemu, mencipta,
dan bekerja di bidang apa pun. Di bidang politik, umpamanya, UU menjamin
kuota 30% perempuan dalam kepengurusan dan caleg dalam sebuah parpol yang
mengikuti pemilu. Saat ini, kita juga bisa dengan mudah melihat perempuan
yang lantang bicara di parlemen.
Perempuan saat ini juga banyak yang menjadi
kepala daerah. Posisi ini tentu berkorelasi signifikan dalam proses
pembangunan dan upaya menyejahterakan warga. Perempuan juga banyak yang duduk
di kabinet dan memiliki karakter sebagai pembawa perubahan. Ambil contoh
menteri kehutanan yang telah berhasil menurunkan angka kebakaran hutan dan
gambut dalam beberapa tahun belakangan. Prestasi dan kinerjanya telah membuat
hutan dan kehidupan ekologis menjadi tidak terganggu atau berdampak buruk
pada kehidupan bersama.
Kedua, peran perempuan dalam pendidikan
mental dan karakter. Derasnya arus informasi membuat kehidupan sosial kita
ternyata tidak otomatis semakin cerdas dan dewasa. Sebaliknya, perkembangan
teknologi informasi ternyata menyisakan persoalan lain. Pornografi,
prostitusi online, penipuan, human traficking, hingga polarisasi sosial
akibat sentimen-sentimen irasional menguntit pesatnya teknologi informasi.
Kehidupan sosial menjadi kaku dan tegang.
Toleransi menjadi lemah karena menguatnya fanatisme sektoral dan sektarian
yang membuat kita saling curiga akibat hoaks yang bertebaran secara masif.
Media sosial pun akhirnya malah menjadi media antisosial.
Persoalan lain yang terus mendera kehidupan kita sebagai bangsa ialah
maraknya korupsi di hampir semua level pengambil kebijakan. Upaya
pemberantasan korupsi yang cenderung hanya menghambat di hilir belum
sepenuhnya menciptakan efek jera.
Semua masalah itu berpangkal pada mental,
karakter, etos, dan keterdidikan anak manusia. Itu semua berangkat dari kehidupan
sosial paling dekat, keluarga. Keluarga merupakan benteng pertahanan sebuah
negara. Baik dan buruknya sebuah negara bersumber dari keluarga. Di titik ini
perempuan menemukan peran pentingnya. Dialah guru pertama yang mengenalkan
kehidupan pada setiap anak manusia yang lahir ke dunia ini. Dialah teman
paling dekat bagi anggota keluarga, terutama anak-anak. Inilah kiranya peran
penting perempuan dalam milenial ketiga ini.
Selamat Hari Ibu. Semua kita harus
menyadari bahwa peran perempuan akan sama bahkan lebih besar daripada
laki-laki dalam membentuk karakter, mental, bahkan mempertahankan kesatuan
bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar