Memberantas
Narkoba Bersama-sama
Baharuddin Aritonang ; Apoteker; Doktor Ilmu Hukum
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Desember 2017
PRINSIP utama
pemberantasan penyalahgunaan narkoba ialah melalui langkah pencegahan. Jika
tidak ada yang menyalahgunakan narkoba, langkah untuk menindak dan
rehabilitasi tidak diperlukan. Akan tetapi, dalam kenyataannya, sekarang ini,
segalanya telah bercampur baur. Karena itu, langkah pemberantasan penyalahgunaan
narkoba perlu dilakukan dengan pendekatan berbagai aspek serta melalui
langkah bersama. Pertama, melalui pencegahan, antara lain melalui pendidikan,
baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat.
Generasi muda perlu
diarahkan untuk menjalani kehidupan yang sehat, mulai pemikiran sampai
aktivitasnya. Di sini amat berperan iman dan takwa (imtak)-nya, juga
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan pembentukan anak-anak atau
generasi yang demikian, itu akan membentengi mereka dari kehidupan/kegiatan
yang menyimpang termasuk penyalahgunaan obat-obatan dan narkoba (narkotika
dan bahan obat berbahaya, termasuk minuman keras). Hasil binaan yang tepat
itu pula yang mengarahkan generasi muda mengikuti jalan hidup yang baik.
Menjadi warga negara yang tunduk pada hukum bukan hanya menghindari narkoba,
melainkan juga menghindari perilaku seks menyimpang, perkelahian, dan
berbagai kegiatan negatif lainnya.
Kalaupun ada tawaran untuk
menggunakan narkoba dari teman dan sekitar lingkungannya, mereka mampu
menghindarinya. Melalui kehidupan yang semakin kompleks, tawaran seperti itu
amat gencar akibat perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat, termasuk
pergaulan dunia dan antarbangsa. Masyarakat kian berbaur, serbuan gaya hidup
pun sulit dihindari dengan perkembangan iptek seperti sekarang ini.
Baru-baru ini Kemenkes
menyiarkan bertambahnya 27 zat baru narkotika. Menurut BNN, 44 jenis narkoba
beredar di Indonesia. Bukan hanya bahan-bahannya yang berkembang, melainkan
juga penyajian, bentuknya, mulai cairan sampai bentuk bahan isap. Kejahatan
juga menggunakan iptek yang sesungguhnya netral. Banyaknya tawaran narkoba,
dekatnya dalam kehidupan generasi muda, menyebabkan pengguna narkoba di
kalangan anak muda meningkat tajam. Bahkan dapat dikatakan sebagian besar
pecandu narkoba atau penyalah guna narkoba adalah generasi muda. Pada 2015
jumlah pengguna narkoba 5,1 juta, pada 2016 menjadi 5,8 juta orang. Dari data
dan fakta seperti itu, langkah penindakan harus dilakukan walau langkah
pencegahan tetap diteruskan.
Sifat narkoba (khususnya
narkotika seperti heroin, kokain, dan ganja serta turunannya) menyebabkan
ketergantungan. Bukan hanya psikis (habituasi), melainkan juga ketergantungan
fisik (adiksi). Memang jenis psikotropika, yang semula digunakan sebagai obat
saraf atau kejiwaan, menjadi disalahgunakan. Walaupun pengaruhnya lebih lemah
daripada narkotika, penyalahgunaan psikotropika menjadi penyimpangan hukum,
yang dapat dikenai pidana penjara. Tentang ini diatur melalui UU No 5/1997
tentang Psikotropika. Daftar bahan-bahan psikotropika terbaru dilengkapi
dengan Peraturan Menteri Kesehatan No 3/2017 tentang Perubahan Penggolongan
Psikotropika.
Tampaknya psikotropika
(ekstasi, sabu-sabu, dll) inilah kini yang banyak diperdagangkan secara liar.
Pengaruhnya tak kurang dahsyatnya terhadap pengguna. Lebih-lebih yang sudah
menjadi pecandu. Beberapa di antaranya malah membuat penggunannya menjadi
beringas, misalnya amfetamin dengan kadar tinggi.
Mereka yang membuat atau
memproduksi bahan-bahan berbahaya ini, tidak bisa diampuni kesalahannya.
Apalagi niatnya untuk memperkaya diri. Demikian halnya penyalur dan pengedar,
baik distributor maupun pengecer. Perilaku pembuat dan pengedar ini sudah
amat merusak, bukan hanya dirinya, melainkan juga para pengguna yang jumlahnya
bagai deret ukur. Kesalahan mereka tidak dapat diampuni.
Dari penelusuran saya di
Rutan Salemba, sesungguhnya jumlah terbesar yang terkena kasus narkoba adalah
para pengguna. Kasus narkoba mendominasi keseluruhan narapidana, ketika itu
(pada 2011) sekitar 70% narapidana narkoba. Namun, dari kasus itu, jauh lebih
besar lagi pengguna narkoba. Tidak sedikit hanya pengguna psikotropika
(ekstasi dan sejenisnya). Di dalam penjara, kasus narkoba tidak terpisah
antara pengguna dan pengecer. Yang mudah dipisah adalah para bandar, yang
memang tetap bagai ‘raja’ di dalam penjara.
Bagaimana pengguna bisa
masuk menjadi penghuni penjara? Bermacam cara yang dapat ditemui. Dua
mahasiswa universitas swasta yang ditangkap di kala menggunakan narkoba di
daerah Grogol bercerita sejak awal dimintai sejumlah uang. Penegak hukum yang
menangkapnya meminta sekian puluh juta rupiah. Jumlah uangnya lebih besar
lagi kalau sudah masuk proses hukum!
Jadi, persoalan utama
memilah antara pembuat, pengecer, dan pengguna narkoba adalah di dalam proses
hukum sendiri. Kalau pihak kepolisian, kejaksaan, dan para hakim bekerja dan
memutus dengan jujur dengan hati nurani, langkah ini semakin mudah
diterapkan. Lebih-lebih di proses awal yang sepenuhnya di tangan kepolisian
dan BNN.
Untuk mendalami semua
persoalan itu, dalam buku saya Cek Miranda dan Korban-korbannya, PP, Jakarta,
2012, saya menyarankan para penegak hukum (polisi dan jaksa), termasuk para
hakim, baik di MA, MK, dan KY, maupun para wartawan sesekali perlu menginap
di penjara agar tahu pekerjaan petugas bidang hukum di negeri ini. Dengan
demikian, langkah yang diambil dalam penegakan hukum, khususnya narkoba,
perlu diterapkan tegas. Para pembuat narkoba dihukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar