Banyak
Jalan Menuju Surga
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Desember 2017
JALAN menuju surga menurut
sejumlah agama tidak tunggal. Dalam agama Hindu dikenal ada tiga jalan utama
menuju surga, yaitu penyatuan diri secara spiritual dengan Tuhan. Pertama,
Yana Yoga, yaitu melalui pemahaman dan penghayatan mendalam yang dalam Islam
mirip dengan istilah ma’rifah. Jalan ini lebih efisien dan efektif tetapi
amat sulit dicapai orang-orang awam. Diperlukan perenungan mendalam atau
kontemplasi yang sangat tinggi untuk mencapai puncak melalui jalur ini.
Kedua, Karma Yoga, yaitu melalui praktik ajaran berupa amalan-amalan berupa
fisik, seperti ibadah-ibadah formal dan ritual. Ketiga, Bhakti Yoga, yaitu
melalui amal-amal sosial yang diniatkan sebagai ibadah.
Seseorang bisa mempunyai
pilihan terbaik sesuai dengan kemampuannya untuk mendekatkan diri
sedekat-dekatnya kepada Tuhan. Jika tidak sanggup melalui cara pertama, bisa
memilih melalui cara kedua atau ketiga, walaupun juga tidak tertutup
menggabungkan ketiga-tiganya, tentu itu paling sempurna.
Dalam Islam terdapat
sejumlah ayat dan hadis mengisyaratkan adanya banyak jalan menuju ke surga,
tetapi jalan-jalan itu tetap ada substansi ajaran yang harus menjadi jalan
universal dan standar yang harus dilewati atau wajib diakomodasi di dalamnya.
Yaitu apa yang disebut dengan rukun iman dan rukun Islam. Jalan mana pun yang
dipilih, tetapi yang bersangkutan harus tetap berpegang teguh kepada standar
tersebut. Sesufi apa pun seseorang harus menginternalisasikan unsur fikih di
dalam dirinya. Sebaliknya, sekuat apa pun fikihnya tetap harus
menginternalisasikan unsur tasawuf di dalamnya.
Yang paling ideal ialah menggabungkan
di antara keduanya seperti ditegaskan Ibn ‘Atha’illah, “Man tafaqqaha wa lam
yatashawwafa faqad tfassaqa wa man tashwwufa wa lam yatafaqqah faqad
tadzandaq, wa man jama’ah baina huma faqad tahaqqaqah (Barangsiapa yang
berfikih tanpa bertasawuf maka ia fasik, barang siapa bertasawuf tanpa
berfikih maka ia zindiq. Barangsiapa yang mengintegrasikan keduanya maka itu
yang benar).”
Ada sebuah pernyataan
menarik juga yang perlu disimak di dalam Alquran, yaitu “… Janganlah kamu
(bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu
gerbang yang berlain-lain, namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu
barang sedikitpun daripada (takdir) Allah.” Nasihat Nabi Ya’qub kepada
anak-anaknya itu menarik untuk diperhatikan. Sang ayah terkesan demokratis
dan jauh dari kesan fanatisme. Ia memberikan kemerdekaan penuh kepada
anak-anaknya, tetapi ia tetap menekankan arti sebuah tanggung jawab dan
tawakal kepada Tuhan.
Kemerdekaan tanpa tanggung
jawab akan melahirkan kebablasan dan tanggung jawab tanpa tawakal kepada
Tuhan akan melahirkan keangkuhan dan kesombongan. Nasihat ini memberi warna
terhadap kebijakan sang anak ketika Yusuf menjadi pemimpin negeri Mesir.
Ketika negara-negara asing menyatakan ketergantungan pangannya kepada negeri Mesir
akibat kemarau berkepanjangan, Nabi Yusuf tidak membawa negerinya sebagai
negeri angkuh yang mendiktekan berbagai kepentingannya kepada negara sekutu.
Ia malah memberikan kelonggaran untuk membangun perekonomian negeri mereka
yang sedang morat-marit. Memutlakkan pendapat sendiri justru bisa
kontraproduktif dengan tujuan yang hendak dicapai.
Dialog ialah cara yang
paling sering dicontohkan di dalam Alquran dalam menyelesaikan masalah. Allah
SWT sendiri yang kita kenal mahakuasa juga tetap mencontohkan dialog.
Ironisnya, dialog bukan hanya dengan hambanya yang baik seperti malaikat dan
manusia, Allah SWT juga berdialog dengan iblis. Yang paling menakjubkan dari
Nabi Yusuf ialah kemampuan untuk memaafkan orang-orang yang pernah bermaksud
jahat terhadapnya meskipun itu ialah saudara kandungnya sendiri. Ketika
memanggil dan menerima saudara-saudaranya dalam suasana dramatis, Nabi Yusuf
tidak tergambar sedikit pun rasa dendam di wajahnya. Padahal, merekalah yang
pernah dengan keji melemparkannya masuk ke dasar sumur. Untung saja Yusuf
dipungut saudagar lalu dijual ke pembesar Mesir.
Nabi Yusuf bahkan
memberikan pernyataan yang sangat indah, ‘Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini
tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia
adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” (12:92). Kepribadian Nabi
Yusuf sangat dibutuhkan di dalam sebuah masyarakat yang mengalami krisis
multidimensi.
Tidak perlu mencurahkan
segenap waktu dan pikiran datang jauh-jauh belajar menyelesaikan krisis dari
negara-negara lain. Konsep problem solving berbagai krisis sebenarnya sangat
kaya di dalam Alquran. Hanya, kita tidak mau serius mendalaminya. Sudah
saatnya kita harus berusaha menyelesaikan persoalan sendiri tanpa bergantung
pada teori dan sistem yang diimpor dari luar yang justru bisa menambah beban
dan menimbulkan masalah baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar