Pendidikan
Tinggi di Era Multidisipliner
Syamsul Rizal ; Profesor di Universitas
Syiah Kuala;
Alumnus ITB dan Universitaet Hamburg, Jerman
|
KOMPAS,
16 Januari
2018
Menristek dan Dikti
Mohammad Nasir mengungkapkan visi perguruan tinggi ke depan yang harus
mengoptimalkan peran dosen. Menurut Mohammad Nasir, ke depan, kita cukup
punya empat fakultas yang mengampu ilmu-ilmu serumpun.
Menteri mencontohkan
fakultas Sains bisa mencakup program studi (prodi) yang selama ini ada di
fakultas Teknik dan fakultas MIPA. Fakultas Agroteknologi mencakup ilmu-ilmu
Pertanian, Peternakan, dan Perikanan. Fakultas Kesehatan mencakup prodi Ilmu
Kedokteran, Keperawatan, Gizi, Kesehatan Masyarakat, Kebidanan, dan
lain-lain. Fakultas Humaniora mencakup Kajian Sastra, Ilmu-ilmu Sosial,
Hukum, Ekonomi, dan lain-lain.
Dengan adanya pengurangan fakultas,
efisiensi akan tercapai. Peran dosen pun bisa dioptimalkan karena
dimungkinkan untuk mengajar pada lintas prodi dalam satu fakultas yang lebih
luas. Juga, menurut Menristek dan Dikti, efisiensi seperti ini cocok untuk
menghadapi tantangan era multidisipliner ke depan.
Perkembangan
ilmu
Kita memang sudah lama
memandang sebuah prodi secara rigid dan ketat sekali, seperti Fisika,
Biologi, Kimia, Matematika, dan prodi-prodi lainnya, seakan- akan suatu prodi
sudah punya garis demarkasi masing-masing. Dengan demikian, unsur-unsur dari
prodi A jadi haram masuk ke prodi B, juga sebaliknya. Masing-masing prodi punya
otoritas yang sangat kuat, ketat dan rigid. Apakah memang begitu?
Dalam suatu kesempatan, saya bertemu dan
berbincang-bincang dengan seorang profesor dari Universitas Hasanuddin.
Ketika kuliah pada prodi food Science di Amerika Serikat, beliau mengamati
bahwa tak semua profesor yang berkarier di situ berasal dari bidang ilmu yang
sebidang. Ada profesor yang kepakarannya dalam bidang teknik elektro, teknik
mesin, dan lain-lain.
Profesor dalam bidang teknik elektro dan
teknik mesin dapat berkarier secara normal pada prodi food science. Mereka tetap bisa berpartisipasi aktif pada
prodi food science yang tidak sesuai dengan kepakaran mereka.
Saya tak bisa membayangkan apa jadinya kalau
para profesor tersebut berkarier di Indonesia. Pasti mereka tidak akan nyaman
berkarier di prodi yang tak sesuai dengan kepakaran mereka. Mereka akan
dianggap bukan sebagai anak kandung, akan jadi sekadar pelengkap saja.
Dan, karier mereka dapat dipastikan tidak
kan sampai ke jenjang akademik profesor. Karena ketika akan mengusulkan
kenaikan pangkat, keberadaan mereka akan selalu dipertanyakan.
Pertanyaan-pertanyaan itu pasti sangat pedih, pahit dan menyakitkan.
Lalu, apa untungnya profesor dari teknik
elektro dan teknik mesin tersebut berkarier di prodi food science? Salah satu visi penting dari prodi food
science adalah visi ketahanan pangan. Menugaskan ilmuwan dalam bidang yang
rigid, seperti food science saja, rasanya terlalu berat untuk dapat
mewujudkan visi ketahanan pangan. Visi ini hanya bisa diwujudkan dengan kerja
sama berbagai bidang ilmu.
Di samping itu, perkembangan ilmu
pengetahuan dalam bidang yang rigid seperti ini pun sudah relatif melambat,
kalau tak mau dikatakan stagnan. Perkembangan ilmu pengetahuan kini justru
sangat pesat, terjadi pada bidang- bidang batas (interface) antara satu
bidang ilmu dengan ilmu lain, misalnya pada bidang batas elektro-biologi,
pertanian-teknik mesin, dan seterusnya.
Berdasarkan uraian di
atas, saya sangat sepakat ide penggabungan fakultas yang digagas Menristek
dan Dikti. Lalu apa yang harus
dilakukan Menristek dan Dikti agar ide ini bisa terlaksana?
Saya berpendapat, untuk mewujudkan visi ini,
strategi yang harus dilakukan sebaiknya dimulai pada program pascasarjana
level S-3 terlebih dahulu. Karena struktur dekan fakultas relatif sangat
kokoh dan mengakar, sedangkan struktur prodi di level pascasarjana relatif
agak longgar, visi ini agak lebih mudah diperjuangkan di level S-3.
Saya mengusulkan nama prodi di program S-3
atau doktor hendaknya menyesuaikan dengan visi Menristek dan Dikti. Ke depan,
dengan demikian, kita hanya punya empat prodi S-3 yang sesuai penamaan
fakultas seperti pendapat Menristek dan Dikti, yaitu Sains; Agroteknologi;
Ilmu-ilmu Kesehatan; dan Humaniora.
Prodi S-3 sains, misalnya, mencakup
bidang-bidang ilmu keteknikan, matematika, dan IPA (MIPA) serta aplikasinya.
Para profesor dan doktor senior dalam bidang MIPA dan teknik serta
aplikasinya dapat bergabung dalam ”rumah besar” prodi ini.
Kekhawatiran kita terhadap ijazah yang
dikeluarkan secara teknis dapat diselesaikan. Kita bisa menuliskan
konsentrasi dari masing-masing bidang dalam sebuah prodi. Prodi Sains, yang
meluluskan S-3 Kimia, misalnya, dapat kita tuliskan doktor sains dengan
bidang konsentrasi kimia. Demikian juga untuk bidang konsentrasi lainnya.
Langkah awal yang harus dilakukan Menristek
dan Dikti, tentu saja, merevisi terlebih dahulu keputusan Menristek dan Dikti
Nomor 257 tentang Penamaan Prodi di Perguruan Tinggi, khususnya prodi-prodi
S-3. Pada Kepmen No 257 ini, semua
prodi dibuat sangat rigid dan kaku, termasuk pada jenjang S-3. Dengan nama
yang kaku seperti ini, sangat sulit prodi berkembang ke arah multidisiplin,
bahkan di level pascasarjana sekalipun.
Terancam
dibubarkan
Ketika Prof Djoko Santoso
menjadi Dirjen Dikti, sudah mulai diarahkan agar prodi-prodi S-3 melakukan
merger. Seperti di Universitas Syiah Kuala, pihak Ditjen Dikti mengarahkan
agar dibentuk prodi S-3 keteknikan (yang mengakomodasi semua bidang ilmu di
dalam fakultas teknik) dan S-3 matematika dan aplikasi sains (yang
mengakomodasi semua bidang ilmu MIPA dan aplikasinya). Prodi seperti ini
sangat efisien dan sangat ”nyambung” dengan keinginan dan visi Menristek dan
Dikti. Juga akan lebih efisien apabila digabung lagi antara S-3 keteknikan
dan S-3 matematika dan aplikasi sains menjadi prodi S-3 sains.
Apabila semua program
doktor mengikuti nomenklatur atau penamaan prodi dengan model seperti ini,
kita akan dapat mengakomodasi semua profesor produktif di seluruh Indonesia
untuk berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya dalam bidang sains dan
teknologi. Semua justifikasi dan
keuntungannya pernah saya kemukakan pada artikel yang berjudul ”Uji Publik
Penamaan Prodi di PT” (Kompas, 26/5/2017).
Namun, jika Kepmen No 257
diberlakukan, prodi-prodi S-3 yang pro-multidisiplin terancam dibubarkan.
Akibatnya, banyak profesor yang akan menganggur karena tidak akan dapat
membimbing mahasiswa S-3. Padahal, hak dan kewajiban semua profesor di
Indonesia adalah sama.
Dengan demikian, kita berharap agar Kepmen
No 257, utamanya tentang penamaan prodi S-3, segera direvisi demi
kemaslahatan bersama dan demi perwujudan visi Menristek dan Dikti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar