La
Nyalla, Puti, dan Tiga Jenderal
Budiarto Shambazy ; Wartawan Kompas
1982-2017
|
KOMPAS,
15 Januari
2018
Ada tiga kejadian menarik
yang mewarnai narasi jelang Pilkada 2018. Pertama, pernyataan La Nyalla
Mattalitti tentang uang mahar pencalonan dia sebagai calon gubernur Jawa
Timur. Tudingan La Nyalla sudah dibantah Partai Gerindra. Tetapi, benar atau
keliru, jumlah uang mahar yang disebut La Nyalla membuat siapa pun terperangah:
antara Rp 28 miliar sampai Rp 300 miliar. Bagaimana akhir drama ini, akan
sulit diduga.
Sejak dulu sering
terdengar partai-partai sering meminta calon-calon kepala daerah menyerahkan
mahar politik, salah satu bentuk praktik politik uang yang jelas melanggar
undang-undang. Namun, sampai detik ini belum ada kasus pada tingkatan
pencalonan gubernur yang pernah diperiksa aparat pemilihan yang berwenang.
Kendati demikian, Gerindra
sebaiknya segera menyelesaikan cerita tidak enak ini. Jika tidak, ia berakibat
negatif terhadap citra partai.
Betapapun, politik memang
mahal. Untuk mengikuti pemilihan DPR pusat, misalnya, setiap partai butuh
minimal Rp 1 miliar untuk membiayai kader yang dianggap mumpuni dan
berpeluang merebut satu kursi. Untuk non-kader tarif itu lebih besar.
Kampanye butuh dana tidak
sedikit, mulai dari merchandising sampai honor saksi di TPS, mulai dari sewa
aneka rupa sampai sangu untuk ”serangan fajar”. Kalau sang calon menang,
modal akan kembali. Kalau kalah, Anda jelas rugi besar sia-sia membuang duit
tak sedikit sambil menyesali sebegitu mahalnya ongkos politik.
Ongkos politik yang mahal
bisa dipelajari dari tempat kelahiran demokrasi, Amerika Serikat (AS). Pada
Pilpres 2012, ketika Barack Obama terpilih kedua kalinya, biaya kampanye semua
capres menembus angka 1 miliar dollar AS. Empat tahun sebelumnya, saat
terpilih pertama kalinya, Obama sendirian mengumpulkan dana kampanye sekitar
670 juta dollar AS.
Tapi hampir 100 persen
dana itu terkumpul dari sumbangan pemilih, mulai dari sekadar puluhan sampai
ribuan dollar AS, sesuai aturan. Dana dari partai ataupun pemerintah tidak
begitu signifikan jumlahnya. Dengan kata lain, partisipasi pemilih, baik
melalui fund raising atau iuran, sebenarnya bisa membiayai kampanye.
Mustahil mengharapkan
proses politik apa pun, termasuk pemilihan, bertarif nol rupiah. Ini tidak
akan pernah terjadi. Paling penting, dana politik terpakai sebagaimana
mestinya dan harus dapat dipertanggungjawabkan. Dan, ironisnya, itu hanya
bisa dilakukan justru oleh partai-partai politik itu sendiri.
Kejadian menarik kedua,
ditunjuknya Puti Guntur Soekarno oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P), sebagai cawagub Jawa Timur mendampingi Saifullah Yusuf dari Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB). Puti, yang berumur 46 tahun, adalah anak tunggal
Guntur Soekarno Putra, anak tertua Presiden Soekarno.
Puti generasi ketiga
Dinasti Soekarno bersama Puan Maharani, kini Menko Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (PMK), serta Muhammad Prananda Prabowo alias Nanan, yang sekarang
salah seorang ketua DPP PDI-P. Puan dan Nanan dua anak Megawati
Soekarnoputri, masing-masing berusia 44 dan 47 tahun.
Puti anggota DPR dua
periode (2009-2014 dan 2014-2019) mewakili Dapil Jawa Barat X. Puan dikenal
publik lebih dulu ketika meniti menjadi anggota DPR, sampai akhirnya melewati
”seleksi” sebagai Menko PMK. Berbeda dengan Puti yang dari DPR mencoba
peruntungan melewati ”eleksi” di Jawa Timur.
Pencalonan Puti patut
dipuji. Telah lama terdengar kabar Puti akan dicalonkan sebagai cagub atau
cawagub di Jawa Barat. Ternyata, Megawati memilih Puti bertarung di ”kampung
halaman” kakeknya, Bung Karno, yang lahir di Surabaya, ibu kota Jawa Timur.
Uji
coba
Puti akan menjadi uji coba
kelangsungan generasi ketiga Dinasti Soekarno. Selain itu ada juga taruhan:
sejauh mana pemilih pemula tertarik pada Soekarnoisme sebagai ideologi kaum
nasionalis, baik yang berada di dalam maupun luar PDIP?
Pemilih pemula pasti tahu
Bung Karno, tetapi belum tentu tahu Soekarnoisme. Dan pada ”zaman now” ini
sukar sekali berkampanye mempidatokan Soekarnoisme. Massa biasanya lebih
tertarik kepada konser dangdut dan berbagai jenis hiburan lainnya.
Kejadian menarik ketiga
adalah pencalonan tiga jenderal TNI AD terkemuka: Edy Rahmayadi (56),
Sudrajat (69), dan TB Hasanuddin (65). Edy yang letnan jenderal nyagub di
Sumatera Utara, sementara Sudrajat dan Hasanuddin sama-sama dua bintang di
Jawa Barat. Ketiganya menjalani karier cukup cemerlang dan tak ternoda selama
mengabdi untuk TNI AD.
Pencalonan ketiga jenderal
ini diharapkan mereduksi upaya mereka yang akan memanfaatkan isu-isu SARA di
Sumatera Utara dan Jawa Barat. TNI AD adalah salah satu tulang punggung
nasionalisme kita. Memang dulu ada istilah ”TNI Hijau”, tetapi dari tahun ke
tahun terbukti ”TNI Merah-Putih” lebih awet bertahan.
Nah, pernyataan
mengejutkan La Nyalla serta kemunculan Puti dan ketiga jenderal ke panggung
nasional tentu menguntungkan publik. Pernyataan La Nyalla menambah kadar
sinisme kita terhadap politik. Harap hati-hati dalam memilih, di depan masih
banyak bahaya menghalangi kelancaran jalan Anda.
Jika sudah mendengar atau
menyaksikan pidatonya, Puti terbukti politisi yang berbakat. Ia ”dilempar”
dari sebuah provinsi ke provinsi lainnya dan mungkin akan terbukti Puti tidak
akan mengecewakan Megawati dan PDI-P. Pelajaran terpenting untuk kita,
kedinastian politik hal yang tak terhindari sehingga kurang perlu dicibir.
Kita tentu saja senang
dengan kehadiran tiga jenderal di ajang pilgub di dua provinsi penting itu,
Jawa Barat dan Sumatera Utara. Sekali lagi, kehadiran mereka kiranya bisa
membuang mitos bahwa apa yang terjadi di pilgub DKI akan viral ke
provinsi-provinsi lain.
Selain itu,
jenderal-jenderal purnawirawan masih menjadi daya tarik besar bagi sebagian
pemilih dalam berbagai proses pemilihan. Jangan lupa juga, TNI AD sebagai
institusi pernah menjadi salah satu dari tiga aktor politik pada masa Orde
Lama, bersama Presiden Soekarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dwifungsi ABRI yang
berlaku selama Orde Baru telah berakhir digantikan Reformasi TNI-Polri 1999. TNI-AD sebagai
institusi tetap netral tidak akan mau lagi dijebloskan ke dalam politik untuk
kepentingan sesaat. Militer pada dasarnya memang tidak kompatibel dengan
demokrasi.
Tahun ini, ada pemilihan
gubernur di 17 provinsi dengan 57 pasangan calon, ditambah 115 pemilihan
bupati dengan 374 pasangan calon, dan 39 wali kota dengan 137 pasangan calon.
Pilkada 2018 akan melibatkan sekitar 78 persen dari total suara pemilih
nasional yang mencapai sekitar 160 juta pemilih.
Pilkada 2018 yang berlangsung
secara serentak akan diselenggarakan 27 Juni mendatang. Mari kita tunggu
kejadian-kejadian yang tidak kalah menarik dibandingkan pernyataan La Nyalla
dan pencalonan Puti serta tiga jenderal purnawirawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar