Teori
Baru Otonomi Indonesia
Irfan Ridwan Maksum ; Guru Besar Tetap FIA UI;
Ketua Cluster Studi dan
Pengembangan Otonomi Daerah
|
KOMPAS,
16 Januari
2018
Tahun 2018 dan 2019 adalah
tahun politik bagi bangsa Indonesia, menyusul pelaksanaan pemilihan kepala
daerah dan pemilihan presiden bahkan pemilihan anggota legislatif yang akan
dihadapi. Imbas tahun politik sangatlah besar terhadap praktik otonomi di
Indonesia. Praktik otonomi dan pemerintahan daerah di Indonesia ini bahkan
mampu menyumbangkan akumulasi teoretis dalam bidang otonomi. Spektrum teori
otonomi yang dihasilkan pun luas, sejalan dengan praktiknya.
Sebetulnya teori tersebut
tumbuh karena adanya anomali praktik otonomi di Indonesia dibandingkan
teori-teori lama yang sudah dipahami baik oleh kalangan akademisi maupun
praktisi.
Teori-teori
lama
Pertama, pemilihan kepala
daerah secara langsung tidak dikenal dalam praktik pemerintahan daerah yang
berkiblat ke Eropa kontinental dengan wajah adanya wakil pemerintah daerah
yang melekat pada kepala daerah (dual function). Di mana pun di dunia ini, di
belahan negara di luar Indonesia yang mengenal sistem wakil pemerintah yang
juga diemban kepala daerah, tidak dilakukan pemilihan kepala daerah secara
langsung oleh masyarakat (Humes IV: 1991).
Sebab-musababnya, wakil
pemerintah dengan pemerintah adalah satu kesatuan bangunan dalam interes yang
sama. Jika pemilihan diserahkan secara mutlak pada kemauan publik lokal, itu
artinya mengakui perbedaan interes. Dengan demikian tidak ada negara penganut
wakil pemerintah yang menggunakan sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung oleh masyarakat lokal secara mutlak. Logikanya, masyarakat secara
nasional telah menyerahkan mandatnya kepada kepala pemerintahan yang dipilih
secara nasional, terlebih dengan pemilihan presiden secara langsung.
Sistemnya adalah biarkan pemerintah menentukan siapa wakil pemerintahnya di
tingkat lokal yang kebetulan juga sebagai kepala daerah.
Jika dilakukan pemungutan
suara di tingkat lokal, baik langsung maupun tidak, itu sifatnya untuk
memastikan derajat penerimaan masyarakatnya saja, tidak menentukan calon
jadi. Penentu tetap pemerintah sebagai pemegang mandat masyarakat secara
nasional. Itu yang terjadi di dalam praktik internasional.
Kedua, dalam praktik
internasional, gubernur sebagai wakil pemerintah diamanati memegang urusan
pemerintahan umum, bukan urusan sektoral yang datangnya dari
kementerian/lembaga. Jika terdapat kekosongan pengampu urusan di tingkat
lokal, maka dapat dengan asas freies-ermessen mengambil alih urusan tersebut.
Namun, tidak diamanati secara eksplisit dalam peraturan perundangan untuk
menerima urusan dari sektor pemerintahan tingkat nasional. Dengan demikian,
dekonsentrasi untuk urusan sektoral dilakukan hanya kepada instansi vertikal
masing-masing sektor, bukan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
Ketiga, dalam manajemen
urusan aparatur sipil negara (ASN) sangat jelas pengelolaan antara hal yang
strategis dan teknis, antara yang menjadi domain pemerintah pusat dan domain
pemerintah daerah. Manajemen urusan ASN di Indonesia diwarnai urusan-urusan
strategis dan teknis yang dilakukan bersama- sama akibat salah pemahaman
tentang urusan ”konkuren”.
Keempat, pendanaan
pemerintahan daerah harus dikembangkan dari kejelasan fungsi-fungsi yang
diemban oleh unit pemerintah dengan mengacu secara konsisten asas-asas
pemerintahan. Sumber keuangan akibat penerapan asas sentralisasi,
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan berasal dari APBN, sedangkan asas
desentralisasi dari APBD. Alokasi pusat ke daerah di luar asas-asas
pemerintahan tersebut dilakukan dengan hibah, pinjaman, dan mekanisme yang
tidak bertentangan dengan asas-asas pemerintahan di atas.
Kelima, intervensi
pemerintah pusat seminimal mungkin dilakukan sejauh manajemen internal
pemerintahan daerah melalui desentralisasi dapat dikembangkan dengan jelas
berdasarkan pembagian urusan yang konsisten. Pemerintah pusat berperan untuk
fasilitator, melakukan bimbingan teknis dan pengawasan terhadap pelaksanaan
otonomi. Kapasitas pemerintah daerah dalam hal ini menjadi kata kunci.
Kelima teori tersebut
berjalan dalam kondisi normal di tingkat internasional. Dalam pemerintahan
negara-negara maju di tingkat internasional, sekalipun kondisi politik
berguncang, teori tersebut berjalan pada tataran empirisnya. Berbeda dengan
di Indonesia yang telah mengalami guncangan politik kemudian normal kembali,
tetapi teori-teori tersebut bergerak menuju anomali. Kelima anomali tersebut
di atas tampak terpelihara sehingga berakibat lahir teori baru otonomi dan
pemerintahan daerah dari praktik Indonesia.
Implikasi
teoretis dan kebijakan
Gegap gempita menyambut
pilkada langsung yang terjadi di Indonesia, yang tidak dikaitkan dengan
sistem pemerintahan daerah, menjadikan teori lama seolah menjadi praktik
konvensional, bahkan dapat dikatakan menjadi paradigma lama. Implikasi
kebijakannya adalah bangsa Indonesia harus mampu mengatasi
keganjilan-keganjilan yang akan dihadapi kelak.
Bangsa Indonesia juga
harus menjawab pertanyaan untuk apa sistem wakil pemerintah diacu dalam
praktik Indonesia. Bangsa Indonesia lebih memilih praktik otonomi dan
pemerintahan daerah yang ingar-bingar yang menyenangkan hati daripada yang
mampu membuat kelembagaan negara semakin kuat dan berkualitas. Mungkin juga
tidak akan dirasakan keganjilan-keganjilan yang terjadi.
Secara internal di setiap
daerah otonom juga akan dihadapi persoalan manajemen urusan pemerintahan
daerah yang bukan ditangani oleh ahlinya. Instansi vertikal enggan dibuka di
daerah, padahal urusan tertentu harus diemban oleh pusat dan menuntut
keseragaman di semua tempat secara nasional di Indonesia.
Berikutnya, harus diatasi
tambal sulam mengurusi ASN Indonesia dengan tidak mengetahui arah yang pasti
ke depan. Celakanya, dalam tata kelola keuangan daerah muncul masalah
akuntabilitas yang terus tergerus. Kerja pemberantasan korupsi ke depan makin
berat jika pemerintah daerah di Indonesia tidak memegang prinsip teguh money
follow function dengan jelas dan tepat.
Dan, akhirnya otonomi
hanya menjadi jargon karena intervensi pemerintah pusat pun sewaktu-waktu
bisa muncul dan sewaktu-waktu dapat berubah. Ia sangat bergantung pada aspek
kepemimpinan, politik, pergeseran rezim, dan lain-lain, tanpa kejelasan
sistem. Hal ini harus dibenahi dengan kebijakan yang lebih berorientasi pada
sistem bukan individu. Semoga dapat diatasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar