Papua
yang Ter-"Campak"-kan
Yorrys Raweyai ; Ketua Dewan Adat
Masyarakat Papua
|
DETIKNEWS,
18 Januari
2018
Wabah penyakit campak
disertai gizi buruk yang mendera masyarakat di Kabupaten Asmat, Papua kembali
mengurai realitas kelam di wilayah paling timur Indonesia tersebut. Puluhan
orang meninggal dunia dan ratusan lainnya sedang mengalami perawatan
intensif. Di tengah gencarnya pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menggenjot
sektor fisik (infrastruktur) di Papua dan Papua Barat, kualitas hidup
masyarakat justru menimbulkan tanda tanya.
Kurang lebih Rp 8 triliun
anggaran yang dialokasikan untuk preservasi dan pembangunan jalan dan
jembatan, listrik maupun fasilitas ekonomi lainnya tampaknya belum sepenuhnya
menyentuh substansi persoalan yang sesungguhnya. Padahal, rambu-rambu
penanganan persoalan di Papua telah tertuang dengan jelas dalam UU Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Dalam Papua Road Map yang
diluncurkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tercatat 2 (dua)
hal yang menjadi persoalan utama di Papua yang berlum terselesaikan dan
tereksekusi dengan baik oleh pemerintah pusat sejak dulu hingga saat ini,
yakni: kegagalan pembangunan, dan inkonsistensi penerapan otonomi khusus
Papua. Kegagalan pembangunan di Papua tidak terlepas dari mindset kekuasaan
masa lalu dan saat ini yang lebih mengedepankan aspek fisik. Sementara itu,
aspeks sosial dan budaya cenderung dianaktirikan.
Hal inilah yang membuahkan
inkonsistensi yang tidak berkesudahan dengan pemaknaan sepihak tentang pola
dan cara mengelola Papua. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa
eksistensi ke-Papua-an dalam rangka meng-Indonesiakan Papua adalah dengan
menghargai keseteraan dan keragaman sosial budaya masyarakat Papua. Dengan
demikian, UU Otonomi Khusus mengakui perbedaan eksistensi. Perbedaan itulah
yang hendak diintrodusir dan diintegrasikan dalam NKRI melalui pengakuan
terlebih dahulu bahwa Papua berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya di
Indonesia.
Sebagai wilayah "nun
jauh di sana", isu tentang Papua dengan segala kompleksitasnya memang
tidak setiap hari mengisi ruang baca kita. Terkadang publik maupun rezim
perlu dihentakkan dengan peristiwa-peristiwa yang fenomenal-epidemik untuk
sekedar membuka kembali mata publik. Perhatian pun acap muncul saat sejumlah
kekerasan menyeruak ke permukaan. Meski ironisnya, pemerintah dengan mudah
menyimpulkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai dalang dan pelaku utama.
Perhatian pun akan kembali terkonsentrasi saat wabah penyakit dan gizi buruk
yang mendera ratusan orang, seperti saat ini.
Selebihnya, publik tidak
pernah disuguhkan dengan realitas sesungguhnya tentang pola dan mekanisme
penanganan terhadap Papua yang belum konsisten sebagaimana amanat UU Otonomi
Khusus. Memang diakui, data Badan Pusat Statistik (BPS) Papua 2016 merilis
peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dari 2015 sebesar 57,25%
menjadi 58,05% pada 2016. Angka Harapan Hidup (AHH) pun mengalami peningkatan
dari 65,09% pada 2015 menjadi 65,12 pada 2016. Meski demikian, angka ini
tetap saja masih menempatkan Papua di urutan terakhir secara nasional. Belum
lagi disparitas prosentase antarkabupaten (pedalaman dengan perkotaan) begitu
tinggi. Sebagai contoh, angka IPM Jayapura (78%) dengan Kabupaten Nduga
(26%).
Berkaca pada kebijakan
pemerintah terhadap Papua, penerapan UU Otonomi Khusus belum dilaksanakan
secara konsisten dan komprehensif. Mewabahnya berbagai macam penyakit
(campak, diare, asma/ispa) adalah persoalan yang mengalir di ranah hilir
akibat hulu (tanggung jawab konstitusional) yang belum dijalankan dengan
baik. Demikian pula, realitas pendidikan yang cukup memprihatinkan, khususnya
di daerah-daerah pedalaman, cukup menunjukkan aspek sosial dan budaya masih
memerlukan sentuhan aktif. Di pihak lain, sektor pendidikan dan kesehatan
memiliki tempat utama dalam UU Otonomi Khusus. Secara tegas UU tersebut
mengamanatkan 30% dana perimbangan harus disalurkan pada kedua sektor
tersebut.
Pada saat yang sama,
pemerintah telah mempresentasikan perkembangan pesat di sektor infrastruktur.
Seakan menutupi kegelisahan selama ini, realitas parsial yang tidak
henti-hentinya dirasakan masyarakat Papua, justru belum menemui penawar yang
efektif dan efesien. Suatu hal yang perlu dicamkan, masa pemberlakuan otonomi
khusus telah memasuki masa 17 tahun. Kurang lebih 8 tahun lagi, Papua
menerima pemberlakuan khusus. Sementara itu, kita belum memperoleh data yang
jelas dan tegas tentang sejauh mana efektivitas Otonomi Khusus dalam
mewujudkan cita-cita dan misi utamanya.
Hampir tidak ada
kesimpulan yang seragam tentang sejauh mana keadaban hidup telah menyentuh
ruang publik masyarakat Papua, seperti apa hak asasi manusia dijalankan
dengan saksama, atau sejauh mana nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan
nilai-nilai budaya telah dimaknai dengan baik oleh semua pihak. Hingga,
sejauh mana masyarakat Papua menikmati hasil pembangunan secara wajar
sebagaimana diamatkan oleh UU Otonomi Khusus.
Sebaliknya, publik justru
dijejali dengan realitas kelam yang tidak berkesudahan. Ancaman penyakit yang
datang silih-berganti serta kemiskinan dan kelaparan yang tiada usai. Jangan
sampai, pada titik tertentu kekuasaan menjustifikasi "kegagalan"
Otonomi Khusus sebagai kelemahan masyarakat Papua dalam merespons perubahan
serta mengurus diri mereka sendiri, sehingga lambat-laun kekuasaan justru
semakin mencampakkan jati diri masyarakat Papua.
Memang tidak mudah
mengubah suatu masyarakat sebagaimana dikehendaki oleh kekuasaan. Namun,
sebagaimana yang tertuang dalam rekomendasi LIPI, perubahan masyaraat Papua
ke arah yang lebih baik tidak cukup dengan pembangunan fisik semata, karena
otonomi khusus bagi Papua bukanlah "pemberian" ataupun
"gula-gula", tapi tanggung jawab sebagai bentuk pelurusan sejarah
masa lalu. Pembangunan Papua adalah sekaligus pengakuan atas harkat dan
martabat (dignity) yang sejatinya dijalankan secara komprehensif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar