Jumat, 19 Januari 2018

Hukum Mahar Pilkada

Hukum Mahar Pilkada
Agus Riewanto  ;  Pengajar Fakultas Hukum dan
Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS
                                              KORAN JAKARTA, 18 Januari 2018



                                                           
Setiap menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) isu uang pelicin atau mahar selalu muncul. Kali ini yang menjadi sorotan tajam masyarakat adalah Partai Gerindra. Masyarakat mengikuti dengan penuh saksama “kicauan” La Nyalla Mahmud Mattalitti. La Nyalla sempat digadang-gadang bakal maju menjadi calon gubernur Jawa Timur, namun gagal.

La Nyalla diminta dana 40 miliar rupiah untuk menyiapkan kelengkapan pemenangan. Alasannya, untuk honor saksi di seluruh Indonesia. Namun seperti biasa, semua itu dibantah Partai Gerindra.

Mahar dalam pilkada biasanya untuk memuluskan rekomendasi dari Dewan Pengurus Pusat (DPP) partai politik (parpol) sebagai bentuk loyalitas dan ikatan politik. Tradisi mahar bukan isu baru karena telah lahir sejak pilkada langsung pertama tahun 2005 sesuai perintah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Namun, dulu hanya samar-samar. Dalam pilkada serentak 2015 lalu tradisi mahar kian kentara, bahkan terang-terangan diungkap melalui media. Sayang, pengungkapan adanya mahar untuk mendapat restu DPP parpol selalu disuarakan mereka yang gagal memperoleh tiket pencalonan, seperti La Nyalla Mahmud Mattaliti. Sedangkan calon yang berhasil mendapat tiket pencalonan selalu mengatakan tidak ada mahar.

Akar utama tradisi mahar karena mahalnya biaya politik dalam pilkada langsung, Data Litbang Kementerian Dalam Negeri atas pendanaan pilkada serentak 2015 dan 2017 perlu biaya tiap pasangan calon tingkat kota/kabupaten bisa mencapai 30 miliar. Sementara itu, uang untuk pemilihan gubernur berkisar 20 miliar–100 miliar. Biaya ini rata-rata dikeluarkan pasangan calon untuk tim sukses, lembaga survei, konsultan politik, kampanye, saksi-saksi di TPS dan operasional parpol. Ada juga bantuan langsung dan tak langsung dalam berbagai kegiatan konstituen.

Padahal gaji kepala daerah tak sebanding pengeluarannya. Gaji pokok bupati/wali kota 2,1 juta per bulan, sedangkan gubernur 3 juta setiap bulan. Jika ditambah tunjangan istri dan anak, gaji yang dibawa pulang 5,6 juta–8,7 juta. Berdasarkan Hasil Kajian KPK atas pendanaan Pilkada 2015 menunjukkan, 51,4 persen responden merupakan bekas calon kepala daerah yang mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kas (uang tunai, tabungan, dan deposito).

Bahkan, 16,1 persen mengeluarkan dana kampanye melebihi total harta yang mereka laporkan ke penyelenggara negara. Selain itu, 56,3 persen responden mengatakan, tahu bahwa donatur kampanye mengharap balasan andai terpilih. Sebanyak 75,8 persen responden akan mengabulkan harapan donatur. Sebanyak 65,7 persen donatur menghendaki kemudahan perizinan usaha dari calon kepala daerah ataupun anggaran.

Akar berikutnya mahar mentradisi dari aspek hukum menurut Saldi Isra (2016) karena tidak ada ketentuan yang dapat menjamin proses pengajuan pasangan calon dilakukan secara demokratis dan partisipatif. Padahal UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah memberiisyarat pencalonan dilakukan secara demokratis. Bahkan UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik secara eksplisit menyaratkan bakal pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah dilakukan secara demokratis dan terbuka.

Namun amanat demikian kehilangan makna substansial karena syarat tersebut dilaksanakan sesuai dengan anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) parpol. Artinya, jika AD dan ART tidak menyediakan ruang untuk sebuah proses demokratis dan terbuka, parpol tidak akan mendapat sanksi apa pun dalam pengajuan pasangan calon. Bahkan, kalaupun sejumlah daerah melakukan proses demokratis dan terbuka, langkah tersebut tidak menentukan bila nama pasangan calon yang dihasilkan tidak disetujui DPP.

Kuatnya kendali DPP dalam menentukan pasangan calon karena ketentuan Pasal 42 UU No 10 Tahun 2016 yang menyatakan pengajuan calon harus disertai surat keputusan DPP. Dengan adanya ketentuan ini, mayoritas yang berminat menjadi calon cukup berupaya mencari “jalan pintas” mendapat surat keputusan DPP.
DPD

Maka, jika hendak menghilangkan tradisi mahar parpol haraus menyeleksi calon secara terbuka dan demokratis. Hilangkan juga peran DPP. Jadi, diperlukan desentralisasi agar daerah (DPD) yang dapat merekomendasi calon dalam pilkada. KPU sebagai penyelenggara harus diberi kekuasaan untuk menilai demokratis dan partisipatifnya proses pencalonan. Bila tak terpenuhi, KPU dapat menolak pasangan calon tersebut.

Jika dicermati sebenarnya dalam UU No 10 Tahun 2010 telah diatur larangan mahar Pasal 187 B menegaskan, anggota parpol atau gabungan parpol yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan gubernur dan wakil, bupati dan wakil, serta wali kota dan wakil dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan. Denda paling sedikit 300 jutadan paling banyak 1 miliar rupiah.

Sedang Pasal 187 C juga ditegaskan, setiap orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memberi imbalan pada proses pencalonan dst penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai gubernur, wagub, bupati, wabup, wali kota atau wakil dipidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan. Sedang dendanya sama.

Jika terbukti ada mahar, Pasal 47 Ayat (5) menegaskan, putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menyatakan setiap orang atau lembaga terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan pilkada, penetapannya dibatalkan.

Namun ketentuan Pasal-Pasal tersebut sulit dilaksanakan terutama dalam proses pembuktiannya. Sebab, biasanya dalam proses transaksi mahar dilakukan tanpa alat bukti. Bahkan, acap kali dilakukan dalam aneka bentuk yang samar. Misalnya, untuk biaya kampanye, honor saksi, biaya operasional tim sukses, dst. Para calon kepala daerah juga tak mampu menghadirkan saksi-saksi mahar. Itulah sebabnya sejak pilkada langsung tahun 2005 hingga 2017 belum pernah ada yang dijerat kasus mahar.

Praktik mahar harus dipotong mata rantainya agar tidak terus berlangsung karena akan menganggu demokrasi lokal. Harus diakui, selama menjabat para kepala daerah sibuk mengumpulkan kekayaan dari berbagai sumber dana daerah untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan dalam proses pilkada. Tak heran, banyak yang terjerat korupsi. Bawaslu, Polri dan jaksa harus mampu membuktikan dan menghukum pelaku mahar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar