Hukum
Mahar Pilkada
Agus Riewanto ; Pengajar Fakultas Hukum
dan
Program Pascasarjana
Ilmu Hukum UNS
|
KORAN
JAKARTA, 18 Januari 2018
Setiap menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada)
isu uang pelicin atau mahar selalu muncul. Kali ini yang menjadi sorotan
tajam masyarakat adalah Partai Gerindra. Masyarakat mengikuti dengan penuh
saksama “kicauan” La Nyalla Mahmud Mattalitti. La Nyalla sempat
digadang-gadang bakal maju menjadi calon gubernur Jawa Timur, namun gagal.
La Nyalla diminta dana 40 miliar rupiah
untuk menyiapkan kelengkapan pemenangan. Alasannya, untuk honor saksi di
seluruh Indonesia. Namun seperti biasa, semua itu dibantah Partai Gerindra.
Mahar dalam pilkada biasanya untuk
memuluskan rekomendasi dari Dewan Pengurus Pusat (DPP) partai politik
(parpol) sebagai bentuk loyalitas dan ikatan politik. Tradisi mahar bukan isu
baru karena telah lahir sejak pilkada langsung pertama tahun 2005 sesuai
perintah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Namun, dulu hanya samar-samar. Dalam
pilkada serentak 2015 lalu tradisi mahar kian kentara, bahkan terang-terangan
diungkap melalui media. Sayang, pengungkapan adanya mahar untuk mendapat
restu DPP parpol selalu disuarakan mereka yang gagal memperoleh tiket
pencalonan, seperti La Nyalla Mahmud Mattaliti. Sedangkan calon yang berhasil
mendapat tiket pencalonan selalu mengatakan tidak ada mahar.
Akar utama tradisi mahar karena mahalnya
biaya politik dalam pilkada langsung, Data Litbang Kementerian Dalam Negeri
atas pendanaan pilkada serentak 2015 dan 2017 perlu biaya tiap pasangan calon
tingkat kota/kabupaten bisa mencapai 30 miliar. Sementara itu, uang untuk
pemilihan gubernur berkisar 20 miliar–100 miliar. Biaya ini rata-rata
dikeluarkan pasangan calon untuk tim sukses, lembaga survei, konsultan
politik, kampanye, saksi-saksi di TPS dan operasional parpol. Ada juga
bantuan langsung dan tak langsung dalam berbagai kegiatan konstituen.
Padahal gaji kepala daerah tak sebanding pengeluarannya.
Gaji pokok bupati/wali kota 2,1 juta per bulan, sedangkan gubernur 3 juta
setiap bulan. Jika ditambah tunjangan istri dan anak, gaji yang dibawa pulang
5,6 juta–8,7 juta. Berdasarkan Hasil Kajian KPK atas pendanaan Pilkada 2015
menunjukkan, 51,4 persen responden merupakan bekas calon kepala daerah yang
mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kas (uang tunai, tabungan, dan
deposito).
Bahkan, 16,1 persen mengeluarkan dana
kampanye melebihi total harta yang mereka laporkan ke penyelenggara negara.
Selain itu, 56,3 persen responden mengatakan, tahu bahwa donatur kampanye
mengharap balasan andai terpilih. Sebanyak 75,8 persen responden akan
mengabulkan harapan donatur. Sebanyak 65,7 persen donatur menghendaki
kemudahan perizinan usaha dari calon kepala daerah ataupun anggaran.
Akar berikutnya mahar mentradisi dari aspek
hukum menurut Saldi Isra (2016) karena tidak ada ketentuan yang dapat
menjamin proses pengajuan pasangan calon dilakukan secara demokratis dan
partisipatif. Padahal UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah
memberiisyarat pencalonan dilakukan secara demokratis. Bahkan UU No 2 Tahun
2011 tentang Partai Politik secara eksplisit menyaratkan bakal pasangan calon
kepala daerah-wakil kepala daerah dilakukan secara demokratis dan terbuka.
Namun amanat demikian kehilangan makna
substansial karena syarat tersebut dilaksanakan sesuai dengan anggaran dasar
(AD) dan anggaran rumah tangga (ART) parpol. Artinya, jika AD dan ART tidak
menyediakan ruang untuk sebuah proses demokratis dan terbuka, parpol tidak
akan mendapat sanksi apa pun dalam pengajuan pasangan calon. Bahkan, kalaupun
sejumlah daerah melakukan proses demokratis dan terbuka, langkah tersebut
tidak menentukan bila nama pasangan calon yang dihasilkan tidak disetujui
DPP.
Kuatnya kendali DPP dalam menentukan
pasangan calon karena ketentuan Pasal 42 UU No 10 Tahun 2016 yang menyatakan
pengajuan calon harus disertai surat keputusan DPP. Dengan adanya ketentuan
ini, mayoritas yang berminat menjadi calon cukup berupaya mencari “jalan
pintas” mendapat surat keputusan DPP.
DPD
Maka, jika hendak menghilangkan tradisi
mahar parpol haraus menyeleksi calon secara terbuka dan demokratis. Hilangkan
juga peran DPP. Jadi, diperlukan desentralisasi agar daerah (DPD) yang dapat
merekomendasi calon dalam pilkada. KPU sebagai penyelenggara harus diberi
kekuasaan untuk menilai demokratis dan partisipatifnya proses pencalonan.
Bila tak terpenuhi, KPU dapat menolak pasangan calon tersebut.
Jika dicermati sebenarnya dalam UU No 10
Tahun 2010 telah diatur larangan mahar Pasal 187 B menegaskan, anggota parpol
atau gabungan parpol yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum
menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan gubernur dan
wakil, bupati dan wakil, serta wali kota dan wakil dipidana penjara paling
singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan. Denda paling sedikit 300 jutadan
paling banyak 1 miliar rupiah.
Sedang Pasal 187 C juga ditegaskan, setiap
orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja melakukan perbuatan melawan
hukum memberi imbalan pada proses pencalonan dst penetapan sebagai calon,
pasangan calon terpilih, atau sebagai gubernur, wagub, bupati, wabup, wali
kota atau wakil dipidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60
bulan. Sedang dendanya sama.
Jika terbukti ada mahar, Pasal 47 Ayat (5)
menegaskan, putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
menyatakan setiap orang atau lembaga terbukti memberi imbalan pada proses
pencalonan pilkada, penetapannya dibatalkan.
Namun ketentuan Pasal-Pasal tersebut sulit
dilaksanakan terutama dalam proses pembuktiannya. Sebab, biasanya dalam
proses transaksi mahar dilakukan tanpa alat bukti. Bahkan, acap kali
dilakukan dalam aneka bentuk yang samar. Misalnya, untuk biaya kampanye,
honor saksi, biaya operasional tim sukses, dst. Para calon kepala daerah juga
tak mampu menghadirkan saksi-saksi mahar. Itulah sebabnya sejak pilkada
langsung tahun 2005 hingga 2017 belum pernah ada yang dijerat kasus mahar.
Praktik mahar harus dipotong mata rantainya
agar tidak terus berlangsung karena akan menganggu demokrasi lokal. Harus
diakui, selama menjabat para kepala daerah sibuk mengumpulkan kekayaan dari
berbagai sumber dana daerah untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan
dalam proses pilkada. Tak heran, banyak yang terjerat korupsi. Bawaslu, Polri
dan jaksa harus mampu membuktikan dan menghukum pelaku mahar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar