Pantaskah
Ahok Memperoleh Remisi?
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik The University of
Melbourne
|
KORAN
SINDO, 30 Desember 2017
Sudah lebih dari tujuh
bulan majelis hakim Pengadil an Jakarta Utara menyatakan terdakwa Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) terbuk ti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana melakukan penodaan agama.
Sejak palu penutupan
sidang diketok Ketua Majelis Hakim, Ahok pun berganti status menjadi
terpidana dan mendekam seharusnya di penjara. Pada perayaan Natal tahun ini
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memberikan potongan
masa hukuman atau remisi kepada Ahok selama 15 hari.
Pertanyaannya, layakkah
dia mendapat remisi? Mengacu pada Peraturan Men teri Hukum dan Hak Asasi Ma
nusia (Permenkumham) Nomor 21/2016, remisi diberikan kepada narapidana yang
berkelakuan baik dan telah men jalani masa pidana lebih dari enam bulan.
“Berkelakuan baik”
bermakna bahwa si narapidana tidak sedang menjalani hukuman disiplin dan mengikuti
program pembinaan yang diselenggarakan oleh lembaga pemasyarakatan dengan
predikat baik. Remisi merupakan kebijakan yang dibuat di atas filosofi reintegrasi.
Berbeda dengan filosofi-filosofi penghukuman lainnya, filosofi reintegrasi
memandang pelaku kejahatan yang telah merugikan masyarakat perlu diberikan
kesempatan untuk menebus kesalahan sekaligus kerugian yang telah
diakibatkannya.
Peluang bagi penjahat
untuk melakukan kebaikan tersebut hanya bisa dilakukan jika dia bisa berada
ditengah masyarakat lagi. Remisi, berdasarkan makna filosofi di maksud,
ditujukan untuk mempercepat pengembalian kerugian oleh pelaku kepada para
korbannya (masyarakat). Masalahnya, makna “berkelakuan baik” yang dirumuskan
da lam Permenkumham ter pu sat hanya pada diri si pen jahat selama menjalani
masa hu kum an di penjara.
Hampanya pemak naan
“berkelakuan baik” terkait risiko yang bisa di hadapi ma sya ra kat setelah
penjahat mengakhi ri masa pemenjaraan, membuat kriteria tersebut se patut nya
didefinisikan ulang. Idealnya, remisi tidak hanya mempertimbangkan kondisi
terpidana, tetapi juga kondisi masyarakat. Masyarakat adalah korban tindak
kejahatan yang dilakukan terpidana (penjahat).
Remisi berkonsekuensi
mempercepat bertemunya kembali masyarakat dengan penjahat. Itu menjadi dasar
pemikiran bahwa remisi bagi penjahat harus juga mempertimbangkan akibatnya
bagi masyarakat. Risiko ter hadap masyarakat itu bisa diramal dengan menakar
isi hati si penjahat selama melalui hariha rinya di balik jeruji besi.
Secara khusus, isi hati
dimaksud ada lah perasaan bersalah si narapidana. Guru besar hukum pidana
dari California State University, Xin Ren, menyebut perasaan ber salah narapidana
akan memungkinkan negara memulihkan kekuasaan dan kewibawaannya yang
sebelumnya telah di rusak oleh si narapidana. Kriminal yang tidak merasa
bersalah sama artinya dengan terusmenerus menantang kedigdayaan negara.
Sehingga, bisa dipahami
negara berke pentingan untuk mengadakan program pemasyarakatan yang dapat me
nerbitkan perasaan bersalah pada batin narapidana. Pada tataran individu, ba
nyak ilmuwan mengatakan, ketika seseorang merasa bersalah atas kelakuannya, dia
akan meng alami ketegangan, perasaan tertekan, dan penyesalan.
Perasaan-perasaan tersebut
men dorong orang yang bersangkutan menampilkan tindak-tanduk tertentu untuk
mem perbaiki keadaan. Mulai dari mengakui kesalahan, meminta maaf, hingga
mencoba melakukan perbaikan atas kerusakan yang kadung ia buat. Perasaan
bersalah adalah permulaan dari sikap jera yang mencegah orang berbuat jahat
kembali.
Sebaliknya, orang yang
tidak memiliki perasaan bersalah cenderung akan mengulangi perbuatannya. Ini
pula yang memberikan penjelasan tentang penyebab tingginya tingkat
residivisme. Rendahnya, apa lagi kosongnya, perasaan bersalah akan
mempertinggi potensi residivisme. Faktanya, perasaan penjahat tidak selalu
sebangun putusan Wakil Tuhan.
Tidak semua terpidana menyadari
kesalahannya betapa pun majelis hakim sudah memvonis mereka bersalah.
Padahal, perasaan bersalah semestinya menjadi prasyarat agar remisi bisa
sungguh-sungguh berfaedah. Sulit dibayangkan, penjahat yang tidak memiliki
perasaan bersalah akan berperilaku konstruktif bagi terciptanya relasi yang
lebih konstruktif antara dirinya dan masyarakat.
Semakin sulit diharapkan,
nara pidana yang tidak merasa bersalah akan mengambil langkah-langkah nyata
dalam rang ka mengembalikan kerugian yang masyarakat derita akibat kelakuan
jahatnya. Nah, bagaimana dengan Ahok? Apakah dia sadar dan merasa bersalah
atas penodaan yang telah dia lakukan terhadap agama tertentu? Entahlah.
Apabila pola perasaan
narapidana yang disimpulkan psikiater Elisabeth Kubler-Ross dipakai sebagai
rujukan, Ahok saat ini barangkali masih berada pada episode pertama, yaitu
pengingkaran. Narapidana dengan suasana hati sedemikian rupa akan protes
terhadap keadaan.
Dia memandang dirinya sendiri
sebagai orang yang dikorbankan atas perbuatan yang dia yakini bukan merupakan
kejahatan. Hal yang saya khawatirkan, berada di tahanan Mako Brimob bisa saja
malah memunculkan setidaknya perasaan eksklusif. Perlakuan eksklusif bagi
terpidana justru bisa membentuk atau bahkan memperkuat pemahaman keliru terpidana
atas dirinya sendiri bahwa, “Saya tidak bersalah.”
Pada sisi itu pula saya
ragu akan manfaat memfungsikan Mako Brimob sebagai penjara bagi penjahat
(narapidana). Pertama, merujuk Permenkumham 21/2016, apakah Mako Brimob
menjalankan program pembinaan seperti yang lembaga pemasyarakatan
selenggarakan? Apakah personel polisi di Mako Brimob mempunyai kompetensi
yang sama dengan petugas lembaga pemasyarakatan dalam urusan membina
narapidana? Jika tidak, persoalan kedua, maka isi Permenkumham 21/2016 sesungguhnya
tidak terealisasi, bahwa narapidana tidak pernah meng ikuti program pembinaan
yang diadakan pihak lembaga pemasyarakatan.
Apalagi keikut ser taan
serius yang membuat si narapidana memperoleh penilaian baik. Pertanyaan puncaknya
adalah seberapa nyata publik bisa berharap bahwa narapidana Ahok akan dapat
ter bina atauterehabilitasi, bukanse mata untuk kepentingan dirinya sendiri,
melainkan–lebih mendasar–bagi kepentingan masyarakat luas? Spesifik, seberapa
besar kemungkinan personel polisi di Mako Brimob mem bangkitkan perasaan
bersalah narapidana yang mereka jaga? Remisi yang diberikan dengan
mengabaikan unsur perasaan bersalah terpidana adalah sama artinya dengan
menjerumuskan masyarakat ke dalam situasi berisiko menjadi korban kembali (revictimized).
Ketika pengurangan masa
hukuman bagi narapidana dipraktikkan sebagai kebijakan yang justru berpotensi
besar menambah kerugian masyarakat, remisi jelas-jelas mengabaikan filosofi
reintegrasi sebagaimana tertulis di atas. Terpidana, tak terkecuali Ahok,
punya hak untuk menerima remisi. Namun hak masyarakat untuk terlindungi dari
kemungkinan penjahat kambuhan jauh lebih penting, bahkan mutlak untuk
dipenuhi. Wallahua’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar