Berebut
Jalan Lurus
A Murtafi Haris ; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya;
Doktor InterReligious
Studies UGM, licence Universitas Al-Azhar Mesir
|
JAWA
POS, 21 Desember 2017
BELAKANGAN penulis
mendapatkan tulisan Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Natsir yang menanggapi
munculnya aksi sebagian orang yang menyebut dirinya dengan Muhammadiyah Jalan
Lurus (MJL). Sebutan tersebut merepresentasikan kelompok warga Muhammadiyah
yang aktif dalam salah satu lembaga pengajian tafsir-hadis yang oleh Haedar
tidak disebutkan nama lembaganya dan penulis menduganya dengan Majelis Tafsir
Alquran (MTA). Haedar menyebut bahwa lembaga tersebut melalui aktivitas
pengajian yang intens menggiring sebagian warga Muhammadiyah untuk bergabung.
Sebutan MJL menunjukkan
adanya anggapan bahwa Muhammadiyah yang ada telah keluar dari jalan yang
lurus, yaitu jalan yang digariskan oleh sang pendiri, KH Ahmad Dahlan.
Gerakan ’’pelurusan’’ itu adalah kritik terhadap apa yang dilakukan
Muhammadiyah terkait dengan kebijakan organisasi dan paham keagamaan yang
dikembangkan. Biasanya, isu merasuknya anasir liberal ke dalam doktrin
keagamaan Islam menjadi alasan munculnya gerakan pemurnian semacam ini.
Hal yang sama tidak hanya
terjadi pada Muhammadiyah, tapi sebelumnya telah terjadi pada Nahdlatul Ulama
(NU) dengan nama NU Garis Lurus yang dipelesetkan oleh sebagian nahdliyin
dengan sebutan NU garisan/penggaris lurus. Seperti halnya dengan apa yang
terjadi atas Muhammadiyah, NU Garis Lurus juga mengusung isu telah
melencengnya NU kini dari doktrin sang pendiri, KH Hasyim Asy’ari.
Gerakan pengembalian ke
doktrin asal atau gerakan ’’pengaslian’’ adalah gerakan kritis yang lambat
atau cepat akan muncul dalam diskursus pemikiranideologis.Muhammadiyah
sebagai sebuah ideologi lahir sebagai kritik dari ideologi Islam tradisional
yang dianut oleh mayoritas umat Islam yang terepresentasi dalam tradisi dan
amaliah yang semenjak 1926 terlembaga dalam wadah jam’iyyah NU. Sekarang
gerakan kritis itu ’’memangsa’’ Muhammadiyah sendiri yang dahulunya adalah
gerakan kritis serupa. Gerakan kritis yang merespons the existing paradigm
adalah sesuatu yang niscaya dalam sejarah perkembangan ideologi.
Ketika pemikiran apakah
itu sekuler atau agama menjelma sebagai sebuah ideologi, ia secara pasti
masuk ke dalam persaingan gagasan di mana gagasan yang ada akan disaingi
dengan gagasan yang baru regardless tingkat kebenaran argumen yang diusung
oleh ideologi yang baru. Besar kemungkinan argumen yang dipertahankan oleh
kelompok petahana lebih kuat daripada argumen yang diajukan oleh kelompok
yang baru, tapi hal itu tidak mengurungkan munculnya gerakan ’’pembaharu’’
tersebut. Lihat saja berapa banyak ulama di belakang Muhammadiyah yang
kapasitas ilmu agamanya tidak diragukan, tapi hal itu tidak menghalangi
munculnya gerakan yang dimotori oleh kelompok pengajian tafsir yang kadar
keilmuan para ustadnya diragukan.
Betapa tidak diragukan,
tidak satu pun dari ulama yang dimiliki oleh kelompok pengajian tersebut (sebut
saja MTA) yang dikenal oleh publik umat Islam secara nasional. Ini
menunjukkan bahwa kapasitas keilmuan bukanlah syarat dari munculnya gerakan
kritis, tapi semangat perubahanlah yang lebih mengemuka, sehingga mampu
mendorong persaingan dengan ideologi petahana.
Modal utama dari munculnya
ideologi kritis adalah kemampuannya dalam memunculkan argumen rasional yang
dikemas dalam jargonjargon perubahan yang mudah dicerna oleh khalayak awam.
Dengan jargon yang demikian mudah bisa diterima oleh banyak kalangan,
ideologi baru itu dengan cepat bisa mendapat pengikut dan menggeret mereka
yang semula berada pada paradigma lama ke paradigma alternatif baru. Tanpa
kemudahan dicerna, sulit ideologi yang baru bisa mendapat pengikut dan dengan
sendirinya tidak laku di pasaran dan tersingkir dengan sendirinya dari
percaturan pertarungan ideologi. Sifat dari pertarungan ini juga meniscayakan
pembelahan masyarakat menjadi dua kelompok yang benar dan salah. Artinya, di
sana terdapat kepastian posisi bahwa yang baru adalah kelompok yang benar dan
yang petahana adalah yang salah sehingga harus ditinggalkan. Meski hal itu
lebih bersifat klaim dan pembajakan semata, tapi dalam pertarungan ideologi
hal itu jamak terjadi.
Di antara argumen yang
paling mudah diusung dan dicerna secara mudah oleh khalayak awam dalam
diskursus pemikiran keagamaan adalah isu tentang kemurnian ajaran. Kalau
dahulu paradigma Islam tradisional dinilai telah banyak menyimpang dari
ajaran Islam yang asli sehingga muncul gerakan kritis Muhammadiyah dengan jargon
kembali ke Quran-hadis, Muhammadiyah setelah berjalan seabad juga mengalami
hal yang sama yang ingin dimurnikan oleh gerakan yang menamakan dirinya
dengan MJL.
Isu pemurnian agama
merupakan isu yang rasional dan mudah dicerna oleh khalayak awam. Selain
didukung oleh legalitas syari dari dalil Quran-hadis, secara psikologis
penganut agama menolak untuk berada pada arus yang telah melenceng dari
ajaran semula yang dibawa oleh nabi. Jargon pemurnian agama cenderung
tekstualis dan mengabaikan kontekstualisasi ajaran berbasis pertimbangan
perbedaan ruang dan waktu. Apa yang terjadi pada zaman rasul adalah yang
ideal dan karenanya harus diikuti persis seperti itu meski ia terjadi empat
belas abad silam. Upaya kontekstualisasi ajaran yang menghasilkan perubahan
hukum pada hal-hal yang bersifat cabang justru di kemudian hari oleh kelompok
’’kritis’’ dianggap penyimpangan dari yang asli.
Anggapan ini kemudian
menjadi jualan yang laku dan diikuti oleh sebagian orang tanpa menyadari
bahwa hal itu bersifat retorik dan jargonis semata. Demikianlah pertarungan
jargon menjadi jamak dalam kancah pertarungan ideologi dan karenanya
pengusungan jargon yang mudah dicerna oleh khalayak menjadi sesuatu yang
tidak bisa ditinggalkan dalam mempertahankan sebuah ideologi.
Pertanyaannya kemudian
apakah jargon Islam Berkemajuan yang diusung Muhammadiyah kurang mudah
dicerna sehingga sebagian berpaling ke jargon MJL? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar