Kebijakan
Energi dan Ancaman Stabilitas Ekonomi
Kusfiardi ; Analis Ekonomi Politik
|
KORAN
SINDO, 30 Desember 2017
Pada bulan November 2014
silam, ketika harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dinaikkan maka
inflasi secara umum menjadi 1,5% (mtm), inflasi harga yang diatur pemerintah
(adminis tered prices) mencapai 4,2% (mtm).
Pada 2017 pemerintah mem
berlakukan kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) kapasitas 900 volt
ampere. Dengan tahapan kenaikan TDL per dua bulan, bisa jadi akan berbarengan
dengan kenaikan BBM. Kenaikan harga BBM ini berkaitan dengan harga minyak
dunia yang cenderung terus mengalami peningkatan di atas US$50 per barel.
Kenaikan TDL, apalagi di
barengi kenaikan harga BBM, akan memberi dampak negatif buat rakyat. Dampak
yang paling terasa dialami rakyat adalah menurunnya daya beli. Pada sisi yang
lain, kenaikan tersebut men dorong tingginya laju inflasi. Kenaikan angka
inflasi akan men dorong otoritas moneter menggunakan kenaikan suku bunga.
Instrumen kebijakan ter sebut untuk mengendalikan inf lasi agar tak semakin
membubung tinggi.
Nah, dengan konfigurasi ma
salah kenaikan TDL, BBM, inflasi dan suku bunga, efeknya akan meluas ke
mana-mana. Melemahnya daya beli karena uang yang di kantong rakyat terkuras
untuk konsumsi energi, tak cukup memadai untuk pemenuhan konsumsi lain.
Dari sinilah kemudian
konsumsi jadi menurun. Penurunan konsumsi saja menimbulkan rentetan efek
negatif dalam perekonomian nasional. Penjualan yang menurun akan diikuti
menurunnya ke untungan usaha. Praktis pajak dari penjualan dan penghasilan
juga bisa ikut turun. Dengan demikian, penerimaan pajak juga bisa menurun.
Lalu, meningkatnya inflasi tentu akan membuat harga ikut naik. Instrumen
menaikkan suku bunga, sebagai pengendali inflasi, justru memberi dampak lebih
serius lagi.
Tingkat suku bunga
pinjaman bank juga akan terkerek naik. Akibatnya biaya pinjaman menjadi
mahal. Di tengah melemahnya daya beli, membuat pinjaman bank un tuk
menjalankan usaha menjadi tidak menarik. Praktis pertumbuhan usaha baru dan
pengembangan usaha yang sudah ada tidak berjalan. Bisa jadi stagnan–kalaupun
tidak menurun akibat gulung tikar.
Dengan demikian, sektor
pro duktif nasional mengalami pu kulan. Bagi perusahaan besar, untuk
menyiasati mahalnya pinjaman di perbankan nasional mereka akan melirik
pinjaman luar negeri. Alasannya, pinjaman luar negeri lebih rendah bunganya
sehingga dianggap lebih murah.
Di sisi lain, meningkatnya
pinjaman luar negeri swasta membuat beban utang secara nasional makin
bengkak. Selain itu, kebutuhan akan ketersediaan devisa juga makin besar
untuk memenuhi cicilan dan bunga saat jatuh tempo. Besarnya kebutuhan devisa,
mata uang asing, berpotensi membuat mata uang rupiah nilai tukarnya merosot.
Apalagi jika
diakumulasikan dengan kewajiban utang pemerintah dan kebutuhan impor energi
yang jumlahnya tidak sedikit. Potensi rupiah melemah makin besar. Bila nilai
tukar melemah secara signifikan, dampaknya bisa mengguncang stabilitas
perekonomian.
Kita sudah meng alaminya
pada tahun 1998 lalu. Semoga tahun depan rezim ini cukup punya kemampuan
dalam formulasi kebijakan energi nasional. Kemampuan untuk menelurkan
kebijakan energi yang terintegrasi dan memberi dorongan positif terhadap
perekonomian nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar