Jumat, 19 Januari 2018

Menjerat Penghalang Penyidikan Korupsi

Menjerat Penghalang Penyidikan Korupsi
Herie Purwanto  ;  Pamen Bareskim,
Penugasan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
                                             SUARA MERDEKA, 18 Januari 2018



                                                           
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan bekas pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi (FY) dan seorang dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo (BST) sebagai tersangka. Keduanya diduga menghalang-halangi penyidikan KPK dalam kasus megakorupsi e- KTP.

"Penyidik meningkatkan status FY dan BST dari penyelidikan ke penyidikan. FY ini seorang advokat dan BSTseorang dokter," kata pimpinan KPK Basaria Panjaitan, di Gedung KPK Kuningan, Jakarta Selatan.

FYmembantah adanya pemesanan satu lantai di Rumah Sakit (RS) Medika Permata Hijau. "Itu fitnah, mimpi di siang bolong, lantai tersebut ada empat pasien lainnya, emangnya bisa diusir, gila," kata Fredrich seperti yang dimuat beberapa media.

Mereka berdua dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Bunyi Pasal 21 sebagai berikut. "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)".

Membaca konstruksi Pasal 21, maka substansi perbuatan yang bisa dipidana sebagai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi adalah perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan langsung atau tidak langsung proses penegakan hukum kasus korupsi.

Penetapan tersangka pada mantan pengacara Setya Novanto dan dokter yang merawat Setya Novanto tentu "membayar" rasa penasaran atas sepak terjang Setya Novanto yang sempat viral sebelum akhirnya dia "mengalami kecelakaan menabrak tiang listrik" hingga akhirnya ditahan oleh KPK.

Ekspektasi publik terhadap perkara tersebut sangat besar. Harapan tersebut seolah muncul, di samping menyangkut perkara korupsi e-KTP, juga karena berbagai manuver Setya Novanto yang berkesan ingin melepaskan diri dari jeratan kasusnya.

Padahal publik saat itu sudah percaya bahwa KPK mengantongi dua alat bukti meskipun pada tahap awal ketika praperadilan KPK kalah. Begitu praperadilan jilid II menang, keyakinan tersebut semakin bertambah ketika Setya berusaha "kabur" dari penangkapan KPK hingga terjadilah tragedi "tiang listrik".

Terapi Kejut

Seolah antiklimaks atas perjalanan kasusnya, Setya Novanto pada minggu- minggu ini justru mengajukan diri sebagai justice collaborator. Sikap ini justru meneguhkan bahwa sejatinya Setya Novanto sudah mengakui keterlibatannya dalam korupsi e-KTP. Sebab, salah satu syarat utama pemberian status sebagai justice collaborator adalah mengakui kesalahannya.

Langkah penetapan tersangka terhadap mantan pengacara dan dokter oleh KPK pada konteks hukum responsif, seperti yang dikatakan Philippe Nonet dan Philip Selznick merefleksikan nilai-nilai yang dominan, moralisme hukum yang akan menang. Upaya pengelabuan fakta yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran menjadi kontraproduktif bagi penegakan hukum sehingga akan berbanding lurus pada nilai-nilai kebenaran.

Disadari atau tidak, upaya KPK menjerat pengacara dan dokter yang diduga menghalangi proses penyidikan bisa menjadi terapi kejut siapa pun orang atau profesinya bila mencobacoba menghalangi proses penyidikan korupsi. Selaras dengan penerapan pasal tentang menghalangi proses penyidikan, perlu juga adanya terapi kejut bagi para tersangka yang dalam proses penegakan hukum korupsi memberikan keterangan palsu, terutama pada saat persidangan.

Kasus Miryam menjadi contoh bagaimana KPK bersikap tegas dan tidak kompromi terhadap upaya-upaya pengelabuan fakta-fakta korupsi. Alat bukti yang dimiliki KPK hendaknya diuji di persidangan, bukan dengan cara-cara penghalangan ataupun memanipulasi keterangan dalam bentuk keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU Tipikor.

Perbuatan yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar ini dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).

Lembaga praperadilan menjadi cara yang legal apabila pihak tersangka ingin "mengoreksi" apakah langkah KPK dalam menetapkan status tersangka sudah sah atau belum, bukan dengan cara-cara yang justru membuka lubang kubur sendiri dan mengantarkannya pada status tersangka tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar