Catatan
Kaki atas
Kenaikan
Kemudahan Bisnis dan Investasi
Carunia Mulya Firdausy ; Profesor Riset LIPI;
Guru Besar Ilmu Ekonomi
Universitas Tarumanagara
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Desember 2017
KEBERHASILAN Indonesia
menaikkan peringkat kemudahan berbisnis, atau ease of doing business (EODB),
dari peringkat ke-106 pada 2016 menjadi ke-72 pada 2018 dan kenaikan
peringkat utang dari BBB- menjadi BBB oleh lembaga pemeringkat Fitch Rating minggu
lalu patut diacungi dua jempol. Pasalnya, dengan kenaikan kedua peringkat
tersebut berarti ruang untuk menjadikan bisnis dan investasi sebagai salah
satu sumber pertumbuhan ekonomi 2018 makin besar.
Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati menyatakan kenaikan peringkat tersebut merupakan salah satu
konfirmasi mengenai pengelolaan APBN yang baik. Pernyataan senada juga
diungkapkan Deputi Gubernur Bank Indonesia Rosmaya Hadi, bahwa kenaikan
tersebut menandakan pemerintah berhasil membuat kebijakan moneter yang mampu
meredam aliran gejolak aliran modal.
Khusus untuk kenaikan
peringkat kemudahan berbisnis, Presiden Jokowi kemudian menginginkan
peringkat kemudahan berbisnis pada 2019 dapat diupayakan berada pada rangking
ke-40. Keinginan Presiden tersebut tentu sah-sah saja.
Hal itu disebabkan
berbagai dukungan kebijakan dan program yang disiapkan Presiden Jokowi ke
arah capaian posisi kemudahan berbisnis tersebut baik langsung maupun tidak
langsung telah ada.
Misalnya, pembangunan
infrastruktur, deregulasi, 16 paket kebijakan ekonomi, program antikemiskinan
dan ketimpangan pendapatan, peningkatan kualitas SDM, dan sebagainya dan
seterusnya.
Hal yang sama juga dengan
naiknya peringkat utang menjadi BBB. Kenaikan peringkat utang itu dapat
menstimulasi masuknya modal asing ke Indonesia. Hal itu disebabkan dengan
meningkatnya peringkat utang Indonesia, Indonesia menjadi semakin layak
investasi.
Apalagi, predikat layak
investasi itu tidak hanya diberikan lembaga pemeringkat Fitch, tetapi juga
oleh Moody's Investors Service (per 9 Februari 2017) dan Standard and Poor's
(per 19 Mei 2017).
Perlu
Kehati-hatian
Namun, kehati-hatian untuk
meningkatkan kemudahan berbisnis dan investasi mutlak diperlukan. Untuk
kenaikan peringkat kemudahan berbisnis, paling tidak terdapat dua catatan
kaki yang harus didalami dan dikalkulasi dengan benar.
Pertama, menyangkut
substansi indeks kemudahan berbisnis itu sendiri.
Kedua, menyangkut
implikasi dari indeks kemudahan berbisnis bagi pembangunan nasional
berkelanjutan.
Catatan kaki untuk
perluasan investasi meliputi efek terhadap APBN 2018 di satu pihak dan
kemampuan menyerap lapangan kerja di pihak lain. Menyangkut substansi indeks
kemudahan berbisnis, indeks itu memilik 10 subindeks.
Kesepuluh subindeks
tersebut meliputi subindeks memulai usaha, perizinan pendirian bangunan,
penyambungan listrik, pendaftaran properti, akses perkreditan, perlindungan
terhadap investor minoritas, pembayaran pajak, perdagangan lintas negara,
penegakan kontrak, dan penyelesaian perkara kepailitan.
Aspek yang diukur dari
tiap subindeks secara umum fokus pada aspek prosedur, waktu dan biaya. Untuk
subindeks memulai usaha, misalnya, yang diukur ialah apakah prosedur, biaya
dan waktu memulai usaha sederhana/mudah, murah, dan cepat.
Hal yang sama juga diukur
untuk subindeks perizinan pendirian bangunan, penyambungan listrik,
pendaftaran properti, penegakan kontrak bisnis dan perdagangan lintas negara.
Sisanya, seperti akses perkreditan, mengukur antara lain kekuatan aspek legal
pinjaman dan kedalaman informasi pinjaman.
Sementara itu, subindeks
pembayaran pajak mengukur jumlah pembayaran pajak, jumlah jam per tahun yang
diperlukan dalam pengembalian pajak, dan besarnya pajak yang harus dibayar
dari keuntungan kotor perusahaan.
Setelah mendalami kesepuluh
substansi subindeks itu, jelas bahwa indeks kemudahan berbisnis diperuntukkan
hanya mengukur secara agregat regulasi yang berdampak secara langsung
terhadap kegiatan bisnis dan bukan ditujukan mengukur kondisi ekonomi secara
umum di suatu negara, seperti kondisi makroekonomi, kualitas infrastruktur,
inflasi, daya saing, kemiskinan, tingkat kejahatan, dan lain-lain.
Oleh karena itu, upaya
peningkatan indeks kemudahan berbisnis berada pada posisi 40 pada 2019 dengan
cara memperbaiki tiap subindeks dengan segala aspek yang diukur di dalamnya
perlu hati-hati.
Pasalnya indeks tersebut
tidak mampu mengukur semua aspek lingkungan bisnis yang diperlukan
perusahaan/investor seperti kondisi makroekonomi, tingkat pengangguran,
stabilitas, atau kemiskinan dan apalagi kekuatan dan kelemahan sistem
keuangan global, sistem dan kondisi keuangan negara, peraturan negara dengan
segala persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan yang akan berbisnis di
Indonesia.
Kehati-hatian juga sangat
diperlukan menyikapi implikasi terhadap apa yang akan terjadi dengan
meningkatkan posisi indeks kemudahan berbisnis di masa datang. Kehati-hatian
dimaksud terutama terhadap implikasi dari empat subindeks, yakni subindeks
memulai usaha, perizinan pendirian bangunan, pendaftaran properti dan
perdagangan lintas negara.
Keempat subindeks ini jika
peringkatnya ditingkatkan dikhawatirkan menimbulkan 'matinya' sektor
informal, kesempatan kerja bagi tenaga kerja yang berkualitas rendah,
kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan lain-lain.
Hal itu disebabkan
terbukanya kemudahan memulai usaha, misalnya, akan mendorong masuknya
usaha-usaha besar yang kemudian mematikan usaha di sektor informal dan usaha
kecil dan menengah (UKM) dan selanjutnya menimbulkan pengangguran,
kemiskinan, dan meningkatnya ketimpangan pendapatan.
Implikasi yang sama juga
potensial dapat terjadi akibat naiknya peringkat utang. Selain memengaruhi
kebijakan fiskal sebagai akibat beban pembayaran utang yang meningkat, itu
dapat berimplikasi bagi upaya menekan inflasi dan suku bunga.
Apalagi, jika kita tidak
mampu menekan capital outflow yang potensial terjadi sebagai dampak kebijakan
kenaikan suku bunga di Amerika baru-baru ini dan dinamika perekonomian global
yang masih belum menentu.
Singkatnya, kebanggaan
kita terhadap meningkatnya posisi kemudahan berbisnis dan kenaikan rating
utang Indonesia yang diperoleh saat ini tidak dapat secara sederhana untuk
dimaksimalkan tanpa mengkaji dengan baik kondisi, karakteristik dan struktur
mikro dan makro perekonomian negara dan masyarakat maupun siklus bisnis yang
akan terjadi di masa mendatang.
Apalagi, komitmen untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif telah dijadikan
moto pembangun ekonomi jangka panjang nasional. Tanpa memerhatikan catatan
kaki tersebut, kenaikan peringkat kemudahan berbisnis dan utang di atas
diyakini akan memberikan mudarat daripada manfaat bagi Indonesia. Semoga yang
didapat ialah manfaat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar