Korporasi,
Koperasi, dan Pencegahan Korupsi
Malik Ruslan ; Penulis Buku “Politik
Antikorupsi di Indonesia:
Gradualitas dan
Ambiguitas” (LP3ES, 2017)
|
DETIKNEWS,
17 Januari
2018
Beberapa waktu lalu
Presiden Jokowi menekankan pentingnya petani berkorporasi. Tulisan ini tidak
hendak mempertentangkan antara korporasi dengan koperasi, melainkan
menegaskan penting dan strategisnya koperasi bagi pembangunan nasional
Indonesia seperti yang dicita-citakan Bung Hatta.
Penyeimbang
Dalam forum KTT G-20 di
Hangzhou, Cina, September 2016 lalu, Presiden Jokowi menegaskan tekad
Indonesia untuk menjaga perekonomian lebih terbuka. Fakta menunjukkan bahwa
konsekuensi ekonomi terbuka ialah persaingan terbuka. Perusahaan bisa timbul
lalu tenggelam dalam waktu singkat karena kalah bersaing. Persaingan yang
cenderung berkarakter laisser faire itu membuat yang lemah manjadi mangsa
dari yang kuat.
Ekonomi terbuka tampaknya
sudah menjadi keniscayaan. Itu sebabnya, Zigmunt Bauman—sosiolog, filosof,
dan kritikus sosial berkebangsaan Polandia—jauh-jauh hari sudah mengingatkan
negara-negara berkembang agar memberikan perhatian serius pada penguatan
potensi lokal. Dalam artikelnya berjudul On Glocalization: Or Globalization
for Some, Localization for Some Others (Theses Eleven, Number 54, August
1998), Bauman sebetulnya mengingatkan negara berkembang agar memperkuat
potensi lokal melalui apa yang disebutnya localization.
Bauman sendiri tidak
menolak globalisasi. Ia lalu menubuatkan sebuah gagasan yang disebutnya
"glocalization", suatu kombinasi antara globalisasi dan lokalisasi.
Saya tidak menampik
korporasi. Korporasi dan koperasi dapat berjalan simultan dengan ciri khas,
karakter, dan kelebihannya masing-masing. Bung Hatta juga selalu mengingatkan
bahwa bentuk usaha yang dimaksud oleh UUD 1945 Pasal 33 ayat (1) ialah
koperasi. Koperasi itu sendiri tidak identik dengan skala ekonomi
serba-kecil. Ini harus dipahami agar penilaian terhadap koperasi tidak bias.
Dalam pidato tahun 1954,
Bung Hatta antara lain memberikan ilustrasi perkembangan koperasi di Denmark,
Swedia dan beberapa negara Eropa, di mana koperasi berkembang menjadi
industri besar. Mengutip penelitian Back dan Draheim, Bung Hatta menyatakan
bahwa perkembangan koperasi di negara-negara tersebut menjadi industri
raksasa tidak melenyapkan etos dan etik persaudaraan yang ada di dalam
koperasi; Koperasi berkembang dari kecil menjadi besar, menyamai korporasi,
namun tidak kehilangan karakter aslinya.
Koperasi dengan
nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan, dan gotong-royong dapat menjadi
penyeimbang kapitalisme dan ekonomi terbuka dengan karakter laisser faire
tadi. Kebersamaan seluruh warga negara (citizen) merupakan modal utama
negara-negara Eropa untuk bangkit setelah luluh-lantak akibat Perang Dunia
II. Ini dilukiskan oleh Mabbott (1967) dengan kalimat yang sangat indah
sekaligus menggugah: the state as a centre of sympathy and cooperation.
Pengembangan koperasi agar
menjadi sokoguru perekonomian nasional juga memiliki kaitan strategis dengan
ekonomi terbuka. Simaklah, umpama, tulisan Deok-Young Kim berjudul National
Security in the Economic-War Era (Korean National Defense University, Vol.1,
1996). Menurut dia, negara-negara berkembang perlu merumuskan kembali
strategi nasional mereka, a new national security strategy, guna merespons
tantangan dan konsekuensi tak terhindarkan dari perdagangan bebas setelah WTO
berjalan.
Antikorupsi
Hal menarik lainnya dari
koperasi ialah bahwa apabila dicermati lebih dalam, desain koperasi yang
digagas Bung Hatta rupanya bukan sekadar sebagai institusi ekonomi, tetapi
juga sebagai institusi pencegahan korupsi melalui penanam nilai kejujuran,
selain kebersamaan, kekeluargaan, dan gotong-royong. Pada hemat saya, inilah
kunci kekuatan dan kekhasan koperasi yang membedakannya dengan korporasi.
Dengan kata lain, koperasi
Indonesia sesungguhnya dirancang untuk menjadi institusi yang dapat memainkan
peran langsung atau tidak langsung dalam pencegahan korupsi. Ini terlihat
dari penekanan nilai-nilai kejujuran bagi tiap anggotanya. Seperti selalu
ditekankan Bung Hatta, anggota koperasi dilarang berbohong—umpama terkait
kualitas barang dan timbangan. Pendek kata, koperasi mengajarkan nilai-nilai
kejujuran kepada anggotanya. Juga, sebagaimana ditegaskan Bung Hatta,
koperasi adalah anasir pendidikan yang baik untuk memperkuat ekonomi dan
moril sekaligus. Dan semua nilai tadi dapat mencegah seseorang melakukan
korupsi.
Korupsi itu sendiri adalah
akibat dari ketidakjujuran. Dengan begitu, ada korelasi positif antara
gerakan pencegahan korupsi dengan koperasi. Selain itu, di dalam koperasi,
anggota dikondisikan untuk menjalankan transaksi yang sifatnya kontan.
Tujuannya, mencegah anggota terperangkap dalam budaya utang. Seperti
diketahui, beberapa kasus korupsi dipicu oleh masalah utang, di mana pejabat
negara yang menjadi tersangka menerima gratifikasi atau sogokan dari
pengusaha untuk melunasi properti atau kendaraan yang dibeli dengan cara
menyicil.
Kejujuran
Putusan Mahkamah
Konstitusi yang membatalkan UU No.17/2012 tentang Perkoperasian karena
dinilai berjiwa korporasi, disambut positif berbagai pihak. Walaupun
demikian, apabila dicermati, ada satu ketentuan yang menarik disimak dari UU
tersebut. Berbeda dengan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian yang kini
berlaku, UU No.17/2012 memerinci nilai-nilai yang mendasari dan diyakini
anggota koperasi, antara lain kekeluargaan dan kejujuran (Pasal 5).
Seperti telah dikemukakan
di muka, kejujuran adalah salah satu nilai yang selalu ditekankan Bung Hatta
setiap bicara koperasi. Maka, sebaiknya nilai itu diakomodasi di dalam UU No.
25/1992 karena itulah yang membedakan koperasi dengan institusi ekonomi yang
lain. Dan, itu pulalah yang memungkinkan koperasi bekerja sebagai institusi
dengan fungsi ekonomi dan pencegahan korupsi sekaligus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar