Kamis, 18 Januari 2018

Korporasi, Koperasi, dan Pencegahan Korupsi

Korporasi, Koperasi, dan Pencegahan Korupsi
Malik Ruslan  ;  Penulis Buku “Politik Antikorupsi di Indonesia:
Gradualitas dan Ambiguitas” (LP3ES, 2017)
                                                   DETIKNEWS, 17 Januari 2018



                                                           
Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi menekankan pentingnya petani berkorporasi. Tulisan ini tidak hendak mempertentangkan antara korporasi dengan koperasi, melainkan menegaskan penting dan strategisnya koperasi bagi pembangunan nasional Indonesia seperti yang dicita-citakan Bung Hatta.

Penyeimbang

Dalam forum KTT G-20 di Hangzhou, Cina, September 2016 lalu, Presiden Jokowi menegaskan tekad Indonesia untuk menjaga perekonomian lebih terbuka. Fakta menunjukkan bahwa konsekuensi ekonomi terbuka ialah persaingan terbuka. Perusahaan bisa timbul lalu tenggelam dalam waktu singkat karena kalah bersaing. Persaingan yang cenderung berkarakter laisser faire itu membuat yang lemah manjadi mangsa dari yang kuat.

Ekonomi terbuka tampaknya sudah menjadi keniscayaan. Itu sebabnya, Zigmunt Bauman—sosiolog, filosof, dan kritikus sosial berkebangsaan Polandia—jauh-jauh hari sudah mengingatkan negara-negara berkembang agar memberikan perhatian serius pada penguatan potensi lokal. Dalam artikelnya berjudul On Glocalization: Or Globalization for Some, Localization for Some Others (Theses Eleven, Number 54, August 1998), Bauman sebetulnya mengingatkan negara berkembang agar memperkuat potensi lokal melalui apa yang disebutnya localization.

Bauman sendiri tidak menolak globalisasi. Ia lalu menubuatkan sebuah gagasan yang disebutnya "glocalization", suatu kombinasi antara globalisasi dan lokalisasi.

Saya tidak menampik korporasi. Korporasi dan koperasi dapat berjalan simultan dengan ciri khas, karakter, dan kelebihannya masing-masing. Bung Hatta juga selalu mengingatkan bahwa bentuk usaha yang dimaksud oleh UUD 1945 Pasal 33 ayat (1) ialah koperasi. Koperasi itu sendiri tidak identik dengan skala ekonomi serba-kecil. Ini harus dipahami agar penilaian terhadap koperasi tidak bias.

Dalam pidato tahun 1954, Bung Hatta antara lain memberikan ilustrasi perkembangan koperasi di Denmark, Swedia dan beberapa negara Eropa, di mana koperasi berkembang menjadi industri besar. Mengutip penelitian Back dan Draheim, Bung Hatta menyatakan bahwa perkembangan koperasi di negara-negara tersebut menjadi industri raksasa tidak melenyapkan etos dan etik persaudaraan yang ada di dalam koperasi; Koperasi berkembang dari kecil menjadi besar, menyamai korporasi, namun tidak kehilangan karakter aslinya.

Koperasi dengan nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan, dan gotong-royong dapat menjadi penyeimbang kapitalisme dan ekonomi terbuka dengan karakter laisser faire tadi. Kebersamaan seluruh warga negara (citizen) merupakan modal utama negara-negara Eropa untuk bangkit setelah luluh-lantak akibat Perang Dunia II. Ini dilukiskan oleh Mabbott (1967) dengan kalimat yang sangat indah sekaligus menggugah: the state as a centre of sympathy and cooperation.

Pengembangan koperasi agar menjadi sokoguru perekonomian nasional juga memiliki kaitan strategis dengan ekonomi terbuka. Simaklah, umpama, tulisan Deok-Young Kim berjudul National Security in the Economic-War Era (Korean National Defense University, Vol.1, 1996). Menurut dia, negara-negara berkembang perlu merumuskan kembali strategi nasional mereka, a new national security strategy, guna merespons tantangan dan konsekuensi tak terhindarkan dari perdagangan bebas setelah WTO berjalan.

Antikorupsi

Hal menarik lainnya dari koperasi ialah bahwa apabila dicermati lebih dalam, desain koperasi yang digagas Bung Hatta rupanya bukan sekadar sebagai institusi ekonomi, tetapi juga sebagai institusi pencegahan korupsi melalui penanam nilai kejujuran, selain kebersamaan, kekeluargaan, dan gotong-royong. Pada hemat saya, inilah kunci kekuatan dan kekhasan koperasi yang membedakannya dengan korporasi.

Dengan kata lain, koperasi Indonesia sesungguhnya dirancang untuk menjadi institusi yang dapat memainkan peran langsung atau tidak langsung dalam pencegahan korupsi. Ini terlihat dari penekanan nilai-nilai kejujuran bagi tiap anggotanya. Seperti selalu ditekankan Bung Hatta, anggota koperasi dilarang berbohong—umpama terkait kualitas barang dan timbangan. Pendek kata, koperasi mengajarkan nilai-nilai kejujuran kepada anggotanya. Juga, sebagaimana ditegaskan Bung Hatta, koperasi adalah anasir pendidikan yang baik untuk memperkuat ekonomi dan moril sekaligus. Dan semua nilai tadi dapat mencegah seseorang melakukan korupsi.

Korupsi itu sendiri adalah akibat dari ketidakjujuran. Dengan begitu, ada korelasi positif antara gerakan pencegahan korupsi dengan koperasi. Selain itu, di dalam koperasi, anggota dikondisikan untuk menjalankan transaksi yang sifatnya kontan. Tujuannya, mencegah anggota terperangkap dalam budaya utang. Seperti diketahui, beberapa kasus korupsi dipicu oleh masalah utang, di mana pejabat negara yang menjadi tersangka menerima gratifikasi atau sogokan dari pengusaha untuk melunasi properti atau kendaraan yang dibeli dengan cara menyicil.

Kejujuran

Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No.17/2012 tentang Perkoperasian karena dinilai berjiwa korporasi, disambut positif berbagai pihak. Walaupun demikian, apabila dicermati, ada satu ketentuan yang menarik disimak dari UU tersebut. Berbeda dengan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian yang kini berlaku, UU No.17/2012 memerinci nilai-nilai yang mendasari dan diyakini anggota koperasi, antara lain kekeluargaan dan kejujuran (Pasal 5).

Seperti telah dikemukakan di muka, kejujuran adalah salah satu nilai yang selalu ditekankan Bung Hatta setiap bicara koperasi. Maka, sebaiknya nilai itu diakomodasi di dalam UU No. 25/1992 karena itulah yang membedakan koperasi dengan institusi ekonomi yang lain. Dan, itu pulalah yang memungkinkan koperasi bekerja sebagai institusi dengan fungsi ekonomi dan pencegahan korupsi sekaligus. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar